TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ



TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ


Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsi>r Tah}li>liy 2

















Disusun oleh :
MUHAMMAD HUSNAN                                        (E03214012)
NAYLA ITHRIYAH                                                 (E03214014)
FARAH NADHIFA                                                  (E93214089)



Dosen Pengampu:
MOH. YARDHO, M. TH. I


PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2017




TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ


A.    Pendahuluan
Surat al-Alaq merupakan kategori surat makkiyyat. Selain dinamakan al-Alaq, surat ini juga dinamakan dengan surat al-Qalam dan surat Iqra’. Ayatnya berjumlah Sembilan belas ayat, tujuh puluh dua kalimat dan dua ratus tujuh puluh huruf.[1] Sebagaimana diketahui, surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan ayat yang pertama kali turun sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Meskipun, ulama terdapat sedikit kontroversi terkait ayat apa yang pertama kali turun, surat al-Alaq ayat 1-5 adalah pendapat yang terkuat dengan dasarnya yang paling kuat pula.
Al-Alusi lebih merinci lagi kepada perbedaan jumlah ayat di dalam surat al-Alaq. Di dalam Hijaz berjumlah duapuluh ayat. Di dalam mushaf Irak ayatnya berjumlah sembilanbelas. Di Syam ayatnya berjumlah delapanbelas. [2]
Di dalam surat ini tiga pokok pembahasan, yaitu topik permulaan turunnya wahyu kepada penutup para Nabi, yaitu Muhammad SAW. Topik yang kedua adalah ruginya dan durhakanya manusia disebabkan harta. Topik yang ketiga adalah kisah celakanya Abu Jahal dan dia melarang Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan shalat.

B.     Ayat dan Terjemah
إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5) كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10) أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12) أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18) كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)
1.      Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
2.      Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
3.      Bacalah dan (padahal) Tuhamulah yang paling pemura
4.      Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam
5.      Dia mengajarkan manusia apa yang diketahuinya
6.      Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas
7.      Karena dia melihat dirinya serba cukup
8.      Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)
9.      Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang
10.  Seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat
11.  Bagaiamana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran
12.  Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah SWT)
13.  Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
14.  Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWT melihat segala perbuatannya
15.  Ketahuilah sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya kami tarik ubun-ubunnya
16.  (yaitu) ubun-ubunnya orang yang mendustakan lagi berharga
17.  Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)
18.  Kelak kami akan memanggil malaikat Zabariyah
19.  Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya, dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)



C.   Asba>b al-Nuzu>l
Manna>’ al-Qat}t}an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab bisa bermakna dua. Makna pertama adalah terjadinya sebuah peristiwa yang menyebabkan turunnya sebuah ayat yang menjelaskan keadaan tersebut. Makna kedua adalah pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah SAW, kemudian turun suatu ayat sebagai jawaban yang menjelaskan pertanyaan tersebut.[3] Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa definisi asba>b al-nuzu>l adalah sebab-sebab yang menjadi latar belakang turunnya sebuah ayat berupa sebuah kejadian atau sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah SAW.
Tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai asba>b al-nuzu>l. Hanya sebagian kecil saja dari ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai latar belakang penurunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ayat al-Qur’an yang mempunyai latar belakang penurunan harus dijelaskan untuk mengetahui bagaimana situasi dan kondisi ayat tersebut diturunkan. Salah satu ayat al-Qur’an yang mempunyai latar belakang penurunan adalah surat al-Alaq, meskipun tidak satu per satu ayat mempunyai latar belakang tersebut.
Ibn al-Mundzir mengeluarkan Hadis sebagai sebab yang melatar belakangi turunnya surat al-Alaq ayat 6 yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Abu Jahal berkata: ‘Apakah Nabi Muhammad SAW pernah meletakkan mukanya ke tanah di hadapan kalian?’ Maka dikatakan iya. Kemudian Abu Jahal berkata: ‘Demi Lata dan ‘Uzza, niscaya jika aku melihatnya demikian, aku akan menginjak batang lehernya dan akan membenamkan wajahnya ke dalam tanah.” Maka turunlah ayat ini.[4]
Ibnu Jarir mengeluarkan Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat. Kemudian Abu Jahal datang dan melarang Rasulullah SAW. Maka Allah SWT menurunkan ayat أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10) sampai firman-Nya كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16).[5]
Al-Tirmidzi> dan selainnya mengeluarkan Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika Nabi Muhammad SAW sedang bersholat, kemudian Abu Jahal datang, ia berkata: ‘Bukankah aku sudah melarangmu untuk melaksanakan ini?’ Maka Nabi SAW membentaknya. Kemudian Abu Jahal berkata lagi: ‘Sesungguhnya engkau niscaya akan mengetahui bahwa di sini tidak ada yang lebih banyak pengikutnya daripada aku”. Maka Allah menurunkan ayat  فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18).[6]

D.  Muna>saba>t
Di dalam surat al-Alaq ini, terdapat dua munasabat (korelasi), yaitu munasabat antara surat al-Alaq dengan surat sebelumnya dan munasabat antara ayat dengan ayat yang lainnya. Adapun munasabat antara surat al-Alaq dengan surat sebelumnya adalah Allah SWT menyebutkan di dalam surat sebelumnya, yaitu surat al-Tin bahwa Allah SWT menciptakan manusia di dalam paling baiknya bentuk penciptaan. Ini adalah penjelasan penciptaan manusia di dalam bentuknya. Sedangakan di dalam surat al-Alaq Allah SWT menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah, yang kemudian berganti terjemah dengan sesuatu yang menggantung. Ini adalah penjelasan di dalam materinya. Di dalam surat ini, juga dijelaskan tentang keadaan-keadaan akhirat dengan penjelasan yang rinci sebagaiamana dijelaskan pada surat sebelumnya.[7]
Adapun munasabat antara ayat dengan ayat lainnya bahwa setelah Allah SWT menjelaskan bukti-bukti kekuasaan Tuhan di awal surat dan memberinya banyak nikmat serta memeberi anugerah yang besar kepada manusia dengan mengajarkannya membaca, menulis, dan apa yang tidak diketahui, kemudian Allah SWT menuturkan seebab hakiki kafirnya seseorang, kesewenang-wenangannya, dan kedurhakaannya, yaitu lebih mencintai dunia, kekayaan, dan tertipu dengannya, ketimbang merenungi tanda-tanda kekuasaan Tuhan dan mensyukuri nikmatnya.[8] Bentuk lain dari kedurhakaan manusia adalah orang yang melarang sholat dan ibadah. Kemudian menjelaskan siksaannya yang pedih dan menutupnya dengan perintah untuk tidak mematuhi perintah orang yang durhaka tersebut.
Al-Shabuni juga menjelaskan bahwa pembukaan surat menjelaskan membaca dan menulis, dan penutupnya menjelaskan sholat dan ibadah. Hal ini dimaksudkan agar ilmu dan amal berdiri seiringan.

E.   Makna Mufrada>t (Kosa Kata)
Al-‘Alaq bermakna darah yang membeku, yaitu bahwa sesungguhnya manusia, paling mulianya makhluk, seluruhnya diciptakan dari al-Alaq yang sering diartikan dengan segumpal darah.[9] Allah SWT tidak berfirman dengan nut}fat untuk menyesuaikan dengan pokok-pokok beberapa ayat.[10] Akan tetapi, Suhermanto Ja’far memaknai al-Alaq tidak dengan segumpal darah. Menurutnya, seiring kemajuan ilmu pengetahuan serta maraknya penelitian para embriolog lebih cenderung memaknainya dengan sebentuk lintah yang bergantung atau berdempet di dinding rahim. Ia memaknai al-‘Alaq dengan “sesuatu yang bergantung” dengan mengutip perkataan Maurice Bucaille.[11]
Al-Qalam pada ayat keempat, menurut Qata>dat sebagaimana dikutip oleh Nawawi> al-Bantani>, adalah nikmat di mana jika seumpama tidak ada nikmat tersebut, maka agama tidak akan tegak dan kehidupan tidak akan bermaslahat.[12] Secara eksplisit, bentuk konkrit dari al-Qalam itu sendiri tidak dijelaskan seperti apa visualisasinya.
Al-Akram adalah Dzat yang mempunyai kesesmpurnaan di dalam menambah kemuliaan-Nya di atas setiap kemuliaan yang lain yang memberi nikmat-nikmat yang tidak terhingga kepada para hamba-Nya, menyayangi mereka, dan tidak bersegera menyiksa mereka.[13] Al-Na>di> adalah sebuah majlis yang suatu kaum berkumpul di dalamnya, yaitu mereka sedang berkumpul.[14] Al-Zaba>niyat di dalam perkataan orang Arab bermakna syarat. Mufradnya adalah zabaniyat seperti ‘afariyat dari lafaz zaban yang bermakna menolak.[15] Adapun Ibn Hayyan memaknainya dengan malaikat penyiksa.[16]

F.     Penafsiran Surat Al-‘Alaq
Ayat 1-5
إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Penafsiran Mufassir Klasik
Menurut penafsiran Ibn Abbas, lafadz (اقرأ) disini memiliki makna, “bacalah! Wahai Muhammad pada Alquran” dan ini adalah lafadz pertama yang turun kepadanya melalui malaikat Jibril. (باسم ربك) yakni dengan perintah Tuhanmu (الذي خلق) yang Maha Menciptakan. (خلق الانسان) yakni bermakna melahirkan anak Adam (من علق) dari segumpal darah. Maka kemudian Nabi Muhammad berkata “Apa yang harus aku baca, wahai Jibril” maka Jibril membacakan 4 ayat dari awal surah ini. Kemudian Jibril berkata kepada Muhammad (اقرأ) Bacalah Alquran ini Wahai Muhammad! (و ربك الأكرم) dan Tuhanmu yang Maha Melampaui dan Maha Pemurahatas kebodohan para hamba-Nya.[17]
            (الذي علم بالقلم) yakni yang menulis dengan pena (علم الانسان) menulis dengan pena (ما لم يعلم) sebelum itu, yakni dikatakan pengetahuan untuk manusia yakni Adam memberi nama-nama pada segala sesuatu yang belum diketahui sebelumnya.[18]
            Penafsiran Mufassir Pertengahan
Makna إقرأ باسم ربك menurut tafsir al-Qurtubi adalah bacalah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Alquran, diawali dengan nama Tuhan mu. Yakni dengan menyebutkan bacaan basmalah disetiap permulaan surah.
Kedudukan huruf باء dalam lafadz باسم ربك adalah nashab. Dan dikatakan jika huruf باء tersebut memiliki makna على, maka menjadiاقرأ على اسم ربك . Kemudian pada lafadz اقرأ terdapat sesuatu yang dibaca namun dihapus, yakni yang dimaksud adalah اقرأ القرأن, dan pembukaannya adalah dengan menyebut nama Allah. Dan menurut suatu pendapat dari suatu kaum, mengatakan bahwa lafadz اسم ربك adalah Alquran, sehingga dikatakan menjadi “bacalah Alquran” dan kedudukan باء disini adalah sebagai tambahan.[19]
Lafadz انسان disini memiliki makna anak Adam atau manusia, sedangkan lafadz من علق disini memiliki makna dari darah, yang merupakan jama’ dari kata علقة dan lafadz tersebut sendiri memiliki makna segumpal darah. Dan dikatakan من علق dikatakan dengan menggunakan lafadz jama’, karena Allah menghendaki manusia untuk berkumpul. Yang mana semuanya diciptakan dari darah, setelah dari air mani kemudian menjadi segumpal darah.[20]
Manusia di sini dikhususkan dengan menyebutkan keutamaannya: dan dikatakan: aku ingin menunjukkan seberapa banyak nikmat yang diberikan-Nya. Karena manusia diciptakan dari segumpal darah yang hina, hingga menjadi sebentuk manusia yang berakal.[21]
Ayat Alquran pertama yang turun tersebut merupakan ayat yang mulia dan penuh berkah ini. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat pertama yang Allah dengannya menyayangi hamba-hambaNya sekaligus sebagai nikmat pertama yang diberikan kepada mereka. Di dalam ayat-ayat tersebut juga termuat peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahwasannya salah satu bentuk kemurahan Allah adalah dengan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu. Dan itulah yang menjadikan bapak umat manusia ini, Adam mempunyai kelebihan atas malaikat. Terkadang, ilmu berada di dalam akal fikiran dan terkadang juga berada dalam lisan. Juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan, dan tulisan mengharuskan perolehan ilmu dan tidak sebaliknya.[22] Oleh karena itu, Allah berfirman:
)اقرأ وربك الأكرم الذي علم بالقلم علم الانسان ما لم يعلم(
“Bacalah, dan Rabb mu lah yang Paling Pemurah, yang mengajar (Manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Dan dalam tafsir lain juga mengatakan bahwa, lafadz اقرأdisini bermakna ta’kid dan sempurnanya sebuah kalimat yang kemudian diringkas. Dan lafadz و ربك الأكرم atau bermakna yang Maha Mulia. Menurut al-Kalabi, lafadz tersebut memiliki makna yang Maha Penyantun dari kebodohan para hamba-Nya, sehingga tidak menjadikan kebodohan tersebut menjadi hukuman bagi hamba-Nya.[23]
Pendapat yang pertama disamakan dengan makna, bahwa lafadz tersebut ketika disebutkan diawal menunjukkan pada sebuah kenikmatan yang membuktikan pada kemurahan Allah atas kebodohan para hamba-Nya. Dan menurut pendapat lain adalah bacalah wahai Muhammad dan Tuhan mu akan membantumu dan memahamkanmu, meskipun kamu bukan orang yang bisa membaca. Dan lafadz الأكرم memiliki makna yang Maha Menaklukkan dari kebodohan hamba-hamba-Nya.[24]
Di dalam atsar disebutkan قيدوا العلم لاكتابة” Ikatlah ilmu itu dengan tulisan. Selain itu, di dalam atsar juga disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan kepadanya apa yang tidak diketahui sebelumnya”.[25]
Penafsiran Mufassir Modern-Kontemporer
Menurut Tafsir Al-Azhar, dalam suku pertama yakni kata (اقرأ) telah menunjukkan kepentingan pertama yang terdapat pada kepentingan agama Islam. yang kemudian Nabi diutus untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepadanya atas nama Allah yang merupakan Maha Mencipta. Yakni yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Yang mana segumpal darah ini merupakan tahap kedua setelah nuthfah. Nuthfah adalah segumpal air yang telah berpadu dari air mani laki-laki dengan air mani perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma menjadi segumpal darah. Dan dari segumpal darah tersebut kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Menurut Quraish Shihab, iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, seingga tidak selalu harus diartikan membaca teks tulis dengan aksara tertentu. Dari mengimpun lair beraneka ragam makna, seeperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun tidak.[26]
Pada saat ayat tersebut turun, Nabi Muhammad pada saat itu bukanlah seorang yang pintar membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan sebagai orang yang buta huruf, tidak pandai membaca dan tidak pandai menulis. Tetapi Jibril mendesaknya sampai tiga kali supaya Nabi membaca.  Meskipun Nabi tidak pandai menulis, namun ayat-ayat tersebut dibawakan langsung kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat membacanya.
Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Juz ‘Amma menerangkan bahwa Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma menjadi segumpal darah, yang kemudian menjadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal sebagai ummi, yang tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki lagi isi hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuru membaca, dan tiga kali pula beliau manjawab secara jujur bahwa belaiu tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, untuk meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu sudah ada kesanggupan membaca sudah ada padanya, yang mana Nabi merupakan al-insan al-Kamil. Banyak lagi yang akan dibacanya dikemudian hari. Yang penting haru diketahuinya adalah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain adalah nama Allah.[27]
Setelah pada ayat pertama Nabi diutus membaca atas Nama Allah yang Maha Menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca atas nama Allah yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang terhadap makhlukNya. “Dia yang mengajarkan dengan qalam” (ayat 4), itulah yang menjadi keistimewaan Tuhan lagi. Itulah yang menjadi kemuliaanNya yang tertinggi, yaitu yang diajarkanNya kepada manusia berbagai ilmu, dibukaNya berbagai rahasia, diserahkanNya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Denagn pena! Di samping lidah untuk membaca , Tuhan juga menakdirkan pula bahwa dengan pena, ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan pena tersebut  adalah berbagai hal yang dapat memahamkan manusia.[28]
Allah telah terlebih dahulu mengajarkan manusia mempergunakan qalam atau pena. Sesudah pandai menggunakan qalam tersebut kemudian Allah memperbanyak  memberikan ilmu pengetahuan kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu pengetahuan yang baru didapatnya tersebut dengan qalam yang ada pada tangannya.[29]
            Syekh Muhammad Abduh menjelaskan dalam tafsirnya bahwa tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini didalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bagiannya. Dengan itu pula dibuka segala wahyu yang akan turun setelahnya. Maka jika kaum muslimin tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala sesuatu yang terselubung dengan pembungkus yang menghalangi pengelihatan mereka selama ini terhadap ilmu-ilmu pengetahuan, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selamanya.[30]
            Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa dua ayat pertama Nabi diperintah untuk membaca atas nama Allah yang telah Mencipta, adalah mengandung qudrat dan hikmah dan ilmu dan rahmat, semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat selanjutnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam dan pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum tersebut yang tertulis, yang tidak dapat difahami apabila tidak didengarkan dengan seksama. Dalam ayat pertama dan kedua memperlihatkan rahasia Rububiyyah atau ketuhanan dan ayat ketiga hingga ayat kelima mengandung rahasia Nubuwwat atau kenabian.[31]
Ayat 6-11
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10)
            Penafsiran Mufassir Klasik
(كلا) Sungguh Muhammad! (ان الانسان) sesungguhnya orang-orang kafir (ليطغي) menjadi sewenang-wenang atau sombong, atas apa yang telah ditinggikan dari tingkatan-tingkatan dalam hal sandang, pangan, papan, juga kedudukan. (ان رأه استغنى) ketika dia melihat dirinya telah dikayakan oleh Tuhan atas hartanya. (ان الى ربك) Sesungguhnya wahai Muhammad, (الرجعى) kalian akan kembali kepada Tuhan mu sang Maha Mencipta di akhirat nanti.[32]
            Kemudian turunlah pada suatu masa dimana Abu Jahal bin Hisyam ingin menginjakkan kakinya pada leher Rasulullah ketika Nabi sedang shalat, maka Allah berfirman (أرأيت) apakah kamu melihat wahai Muhammad! (الذي ينهى عبدا) Orang-orang yang melarang kaummu untuk shalat (اذا صلى) kepada Allah.[33]
Penafsiran Mufassir Pertengahan
Allah memberitahukan tentang manusia, bahwa ia merupakan makhluk yang bisa senang, jahat, sombong, dan sewenang-wenang jika dia melihat dirinya sudah merasa cukup dan memiliki banyak harta. Kemudian Allah memberikan peringatan, mengancam sekaligus menasihatinya, dengan Dia berfirman: ان الى ربك الرجعى)) “Sesungguhnya hanya kepada Rabb-mulah kembali (mu)”. Yakni, hanya kepada Allah tempat kembali. Dan Dia akan menghisabmu atas harta yang engkau miliki, darimana engkau mengumpulkannya dan untuk apa pula engkau membelanjakannya.[34]
            Lebih lanjut, Allah berfirman: (أرءيت الذي ينهى عبدا اذا صلى) “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat”. Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal, semoga Allah melaknatnya, yang mengancam Nabi jika akan mengajarkan shalat di Baitullah. Kemudian Allah menasihati beliau dengan sesuatu yang lebih baik.[35]
            Penafsiran Mufassir Modern-Kontemporer
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10)

Kallaa! Di sini arti yang tepat dari kallaa ialah Sungguh, atau sungguhnian!. Ini merupakan peringatan kepada Nabi Muhammad yang akan menghadapi tugas yang berat yakni menjadi Rasul. Dia akan berhadapan dengan manusia, yakni manusia memiliki sifat yang buruk yakni yang dirinya merasa telah berkecukupan, telah menjadi orang kaya dengan hartanya yang berlimpah dan berkecukupan karena dihormati orang, disegani, dan dituakan dalam masyarakat. Sehingga mereka melampaui batas, lantaran manusia tersebut merasa tidak perlu lagi menerima nasihat dan pengajaran dari orang lain. Maka hiduplah ia menyendiri, dan segala harta bendanya tidaklagi digunakan untuk pekerjaan yang bermanfaat.[36]
Apabila telah datang saat kembali kepada Tuhan, yaitu maut, kekayaan yang disangka mencukupi itu tidak sedikitpun dapat menolong. Seperti yang dikatakan oleh Abu Su’ud dalam tafsirnya bahwa karena hidup merasa kaya dan berkecukupan, orang melampaui batas-batas yang patut di jaga. Akhir kelaknya dia mesti kembali juga kepada yang Maha Kuasa atas dirinya dan hartanya. Dia mesti mati, dan sesudah mati dia kelak akan dibangkitkan, berhadapkan dengan Tuhan sendiri, bukan dengan yang lain. Disitu kelak engkau rasakan akibat dari sikapmu yang tidak mau tahu, yang merasa cukup dan melampaui itu.[37]
Ayat ini merupakan ayat yang mana memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan dakwah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyak dari penduduk Makkah yang benci dan menolaknya, diantaranya adalah orang-orang yang telah dijelaskan pada ayat sebelumnya tadi. Yakni orang-orang yang merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya yang melanggar dan melampaui batas. Seorang yang terkemuka yang menolak dakwah Rasulullah adalah Abu Jahal. Dia benar-benar benci kepada Rasul, sebab Rasul menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya menyembah kepada Allah Yang Esa. Dan Nabi dengan tidak perduli kepada siapapun, pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allah menurut keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya.
            Menurut sebuah hadis dari Ibn Abbas yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, setelah Abu Jahal menjadi sangat murka setelah mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad telah pernah sembahyang seperti itu di Ka’bah. Sampai dia berkata: “Kalau saya lihat Muhammad sembahyang di dekat Ka’bah, akan saya injak-injak kuduknya” seketika ancaman Abu Jahal itu disampaikan kepada Nabi, kemudian Nabi berkata “Kalau dia berani, malaikatlah yang akan menariknya”.
Maksud dari ayat ini adalah adakah yang teringat olehmu, wahai Muhammad, atau menghambat dan menghalang-halangi dan mengancam kepada seorang hamba Allah, yakni Muhammad. Dalam ayat ini juga dalam ayat-ayat yang lain, beliau disebutkan seorang hamba Allah sebagai kata penghormatan dan jaminan perlindungan yang diberikan kepadanya, “apabila dia sembahyang”.[38]
Ayat 11-19
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12) أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18) كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)
          Penafsiran Mufassir Klasik
Allah SWT berfirman: “Apakah engkau mengetahui jika Muhammad berada di dalam petunjuk? Yaitu berada dalam keadaan istiqomah dan dalam keadaan benar di dalam shalatnya kepada Allah SWT.[39] Sedangkan Ibnu Abbas memaknainya dengan kenabian dan Islam.[40] Atau dia memerintahkan untuk bertakwa, yaitu Muhammad memerintahkan kepada orang yang melarang (shalat) ini untuk bertakwa kepada Allah SWT.[41] Perintah Nabi Muhammad SAW ini merupakan bentuk implementasi dakwahnya di dalam menyebarkan Islam ke siapapun.
(Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan) ini merupakan pertanyaan Allah SWT bahwa Abu Jahal adalah orang yang mendustakan kebenaran dengan diutusnya Nabi Muhammad. (Dan Berpaling) selain ia mendustakan kenabian Muhammad SAW, ia juga berpaling, yaitu enggan merenunginya dan tidak mengimani Nabi Muhammad SAW. Apakah Abu Jahal tidak mengetahui ketika dia melarang Nabi Muhammad SAW untuk beribadah kepada Tuhan-Nya (Allah SWT) dan shalat kepada-Nya, Allah SWT melihatnya dan akan menyiksanya?[42] Hal ini dikarenakan hatinya sudah menutup diri dari kebenaran, sehingga kebenaran bisa menjadi sebuah kesalahan dalam pandangannya.
Kemudian Allah SWT mengancam Abu Jahal apabila dia tidak bertaubat dari menyakiti Nabi Muhammad SAW dalam arti berhenti menyakitinya, maka Allah SWT akan menjadikan ubun-ubunnya ke dalam neraka. Allah SWT pun membiarkan Abu Jahal untuk meminta pertolongan kepada kaumnya dan majlisnya, karena pada saat Nabi SAW dilarang untuk bershalat, Abu Jahal menyombongkan dirinya seraya berkata “Aku adalah orang yang paling banyak pengikutnya”. Apabila hal itu benar-benar dilakukan Abu Jahal, maka malaikat Zabaniah akan menjadi sebagai penolong. Ibnu Abbas berkata: “Andaikan Abu Jahal melakukan hal tersebut, niscaya Malaikat akan mengambil ajalnya dan manusia akan melihatnya.”[43]
Maka sekali-kali kamu jangan patuh kepadanya (Abu Jahal), segaimana yang ia perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk tidak bershalat kepada Tuhan-Nya. Maka sujudlah dan mendekatlah kepada Allah SWT, karena ia tidak akan mampu membahayakan Nabi SAW.[44]

            Penafsiran Mufassir Pertengahan
Al-Razi mengomentari khitab ayat ini ditujukan kepada siapa. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan dasar bahwa ayat أرأيت الذي ينهي عبدا ditujukan kepada Nabi SAW. Ayat أرأيت إن كذب وتولي juga ditujukan kepada Nabi SAW. Apabila ayat ini yang berada di tengah-tengah keduanya tidak ditujukan kepada Nabi SAW, maka pembicaraan di dalam surat ini tidak berkorelasi. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa ayat ini khitabnya adalah untuk orang kafir dengan dasar bahwa Allah SWT berposisi sebagai orang yang menyaksikan antara orang yang dzalim dan didzalimi atau seperti tuan yang berada di depan dua budaknya. Maka perkiraannya ayatnya adalah أرأيت ياكافر  ...[45]  Maksud ayat ini adalah tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Jahal jika Muhammad berada dalam sifat ini (petunjuk)? Bukankah dengan engkau mencegahnya bertaqwa dan sholat akan mengkibatkanmu celaka?[46]
Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa Abu Jahal mendustakan Kitab (Al-Qur’an) Allah SWT dan berpaling dari beriman.[47] Ibnu Hayyan sedikit berbeda di dalam memahami khitab أرأيت yang ketiga. Menurutnya, khitab pada kali yang ketiga adalah untuk orang kafir, yaitu “Apakah engkau mengetahui wahai orang kafir, jika sholatnya adalah merupakan petunjuk dan doa kepada Allah SWT serta memerintah untuk bertakwa, lalu mengapa engkau melarangnya?”[48]
Penjelasan terkait ayat ini adalah sebagai bentuk ancaman. Artinya Allah SWT maha Mengetahui kepada segala sesuatu yang diketahui. Ayat ini pula juga mempunyai kandungan makna bahwa bukan berarti ayat ini adalah turun hanya untuk Abu Jahal saja. Akan tetapi, orang yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah SWT, maka dia juga mempunyai sifat seperti Abu Jahal, yaitu syirik kepada Allah SWT.[49]
Allah SWT lalu mengancam Abu Jahal untuk bertaubat (berhenti) dari apa yang sudah dilakukannya, seperti melarang Nabi Muhammad SAW bersholat dan bertakwa kepada-Nya. Apabila dia masih belum berhenti pula, maka Tuhan mengancamnya akan menjadikan ubun-ubunnya berada di dalam neraka pada hari kiamat.[50] Ubun-ubunnya pun disifati dengan ubun-ubunnya yang pendusta dan durhaka, karena sifat ubun-ubunnya melekat erat dengan sifat pemiliknya. Sifatnya disebutkan untuk memperkuat statemen dari sifat pemiliknya, yaitu Abu Jahal. Hal ini menunjukkan kepada sangat berdusta dan durhakanya Abu Jahal.[51]
Al-Razi menjelaskan terkait makna dari kalla. Kata ini mempunyai beberapa makna, yaitu sebagai penghalang dan pelarang Abu Jahal untuk melarang Nabi Muhammad SAW beribadah kepada Allah SWT. Makna kedua adalah bermakna Abu Jahal tidak sampai kepada apa yang diucapkannya bahwa ia membunuh Nabi Muhammad atau menyembelih lehernya. Yang ketiga adalah Muqatil berkata: “ketahuilah dia tidak mengetahui bahwa Allah SWT melihatnya. Dan jika dia mengetahui, tetapi dia tidak mengambil manfaat dari apa yang dia ketahuinya, maka hakikatnya dia tidak mengetahui.”[52]
Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk membiarkan Abu Jahal memanggil para pengikutnya. Dia memanggil pengikutnya untuk meminta tolong kepada mereka. Diriwayatkan Abu Jahal lewat di hadapan Rasulullah SAW yang sedang dalam keadaan sholat, dia berkata: “Bukankah aku sudah melarangmu?” Lalu Rasulullah SAW membentaknya. Abu Jahal berkata lagi: “Apakah engkau melemahkanku? Padahal aku adalah orang yang paling banyak pengikutnya?”[53] Ayat ini merupakan bentuk pelemahan kepada orang-orang kafir. Apabila Abu Jahal tidak bertaubat, maka Allah SWT akan mengutus malaikat Zabaniyah untuk menggiringnya ke neraka. Sebagaimana diketahui malaikat Zabaniyah adalah malaikat yang tugasnya adalah menyiksa. [54]
Maka Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad SAW jangan sekali-kali taat kepada perintahnya dan teguhkanlah dirimu untuk taat kepadamu. Mengingat yang menjadi utusan-Nya adalah Nabi Muhammad SAW bukanlah Abu Jahal, sehingga yang patut untuk ditaati adalah perintah dari utusan-Nya. Lalu Dia memerintahkan untuk bersujud dan mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam suatu riwayat Hadis dijelaskan “Paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya adalah di saat dia bersujud.”[55] Sebagian  ulama mnejelaskan maksudnya adalah bersujudlah wahai Nabi Muhammad SAW dan mendekatkan dri lah wahai Abu Jahalsampai engkau melihat apa yang akan mencapaimu berupa malaikat Zabaniah yang ekan mengambilmu, seakan-akan Allah menyuruhnya bersujud untuk membuat marah saja.[56]
            Penafsiran Mufassir Modern-Kontemporer
Sebenarnya penafsiran mufassir modern tidak terlalu banyak ditemukan banyak perbedaan dengan penafsiran-penafsiran mufassir pada periode sebelumnya. Secara substantif, penafsirannya sama dengan mufassir-mufassir sebelumnya. Hal ini dikarenakan mufassir pada masa modern-kontemporer juga tidak bisa serta-merta meninggalkan penafsiran mufassir-mufassir periode sebelumnya.
 Wahbah al-Zuhaili menjelaskan kata araaita yang kedua di dalam surat ini adalah sebagai penguat dan panjangnya kalam.[57] Wahai Muhammad kabarkanlah pula kepadaku tentang keadaan orang yang melarang ini, jika memang dia berada di dalam kebenaran atas apa yang dilarangnya dari beribadah kepada Allah SWT, atau apakah dia adalah orang yang memerintahkan untuk bertakwa di dalam apa yang dia perintahkan dari menyembah berhala, sebagaimana yang dia yakini?[58]
Al-Sabuni juga sependapat dengan penafsiran al-Zuhaili. Dia menjelaskan “kabarkanlah kepadaku, jika hamba yang bershalat ini, yakni Nabi Muhammad SAW, yang engkau melarangnya untuk bersholat adalah orang sholeh yang member petunjuk? Atau dia memerintahkan untuk berikhlas dan bertauhid mengajak kepada petunjuk yang benar, maka dengan dasar apa engkau mencegah dan melarangnya?[59] Dua pendapat tersebut adalah pendapat bahwa ayat tersebut adalah khitab kepada orang kafir. Akan tetapi, mayortias ulama mengatakan bahwa khitabnya adalah kepada Nabi Muhammad SAW agar kalimatnya adalah dalam satu susunan.[60]
Allah SWT kemudian menjelaskan tentang kedustaan dan kedurhakaan Abu Jahal. Ayat araaita yang ketiga merupakan susunan kata pertanyaan adalah objek kedua dari kata araaita. Objek yang pertama dibuang dengan bentuk kata ganti yang kembali kepada kata sambung atau kata tunjuk yang dikembalikan kepada yang ditunjuk, yaitu apakah engkau mengetahui wahai Muhammad jika orang kafir inimendustakan tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang jelas dan berpaling untuk berdedikasi kepada penciptanya? Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah SWT melihat perbuatan-perbuatan jeleknya ini? Mengapa dia tidak mencegahnya?[61]
Kemudian Allah SWT mengancam Abu Jahal agar dia mencegah perbuatannya. Maka demi Allah SWT, niscaya jika dia tidak berhenti menyakiti Rasulullah SAW, dan mencukupkan kekafiran dan kesesatannya, maka niscaya Allah SWT akan menarik ubun-ubunnya dan memasukkannya ke dalam neraka dengan siksaan yang pedih. Orang yang mempunyai ubun-ubun tersebut adalah orang yang pendusta, berpaling, dan banyak berdosa. Penyebutan kata al-kidzb dan al-khati’ah hanyalah sebagai bentuk kiasan saja di mana hakikatnya adalah orang yang memiliki dua sifat tersebut. Adapun orang yang melakukan kesalahan dengan disengaja disebut dengan al-kha>ti’ dan orang yang melakukan kesalahan dengan tidak disengaja adalah al-mukht}i’.[62]
Maka biarkanlah orang yang melarang tersebut memanggil para pengikutnya atau kaumnya agar mereka menolong dan membantunya. Al-Na>di> adalah istilah untuk majlis yang di dalamnya berkumpul suatu kaum atau keluarga. Sesungguhnya, jika dia memanggil mereka untuk meminta pertolongannya, maka mereka berpaling kepada murka Tuhannya dan siksanya yang pedih, dan kamu akan memanggil malaikat Zabaniah untuk mengambil ajal mereka dan mempertemukan di neraka.[63]
Oleh karena itu, janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) taat kepada orang yang mengajakmu untuk meninggalkan sholat dan istiqomahlah di dalam bersujud dan bersholat, sserta mendekatka diri kepada Tuhanmu, karena di dalam Hadis dijelaskan “Paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya adalah di dalam keadaan bersujud.[64]
G.    Hikmah
Surat al-Alaq ini memberikan beberapa pelajaran yang bisa diambil. Allah di awal mengajarkan kepada manusia akan pentingnya membaca dan menulis. Orang banyak membaca akan semakin banyak wawasan dan mengenal dunia. Dikatakan “Membaca adalah jendela dunia”. Semakin banyak orang membaca, semakin dia membuka jendela-jendela dunia. Di dalam surat ini pada perintah membaca tidak dijelaskan objek secara spesifik. Hal ini memberikan pemahaman bahwa manusia tidak hanya diperintahkan untuk membaca sesuatu yang khusus, melainkan segala hal baik untuk dibaca.
Selain membaca, di dalam surat ini juga dijelaskan pentingnya menulis. Orang akan ditemukan jejak kehidupannya, ketika dia mempunyai sebuah karya di dalam bentuk tulisan. Sekalipun orang yang menulis tersebut sudah meninggal dunia. Sebagaimana diketahui betapa banyak mufassir yang sampai sekarang tetap dikenang ketika sudah mempunyai karya. Berbeda dengan mufassir yang karyanya tidak sampai kepada cendekiawan abad ini. Mereka akan sulit ditemukan jejak intelektualnya.

H.    Kesimpulan
Surat al-Alaq ini merupakan surat yang pertama kali turun. Dengan penjelasan yang singkat tersebut, bisa diambil beberapa benang merah yaitu,
1.      Allah SWT menciptakan manusia dari segumpal darah.
2.      Allah SWT mengajarkan manusia pentingnya membaca dan menulis.
3.      Cerita celakanya Abu Jahal disebabkan durhakanya dan dustanya kepada Allah SWT.
















DAFTAR PUSTAKA

Al-Alusi>, Mahmud. Ru>h al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>. Vol. 30. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi>. tt.
Al-Andalusi>, Ibn al-H{ayya>n. Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}. Vol. 8. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi>. tt.
Al-Durrat, Muh}ammad Ali> T{a>ha.> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m wa I’ra>buhu wa Baya>nuhu. Vol. 10. Beirut: Da>r Ibn Kathi>r. 2009.
Al-Jawi>, Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>. Mara>h} Labi>d li Kashf  Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d. Vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyat. 1997..
Al-Mara>g}i>, Ah}mad Mus}t}afa.> Tafsi>r al-Mara>gi>. Vol. 30. tk: tp. 1946.
Al-Ra>zi>. Fakhruddin. Mafa>ti>h al-G{aib. Vol. 32. tk: Da>r al-Fikr. 1981.
Al-Qat}t}an, Manna>’. Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabat Wahbat. tt.
Al-Quroshiy, Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r. Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8. Riya>dh: Da>r T{aibat. 1997.
Al-Qurt}ubi>, Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin Abu> Bakr. Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an. Vol. 22. Beirut: Muassasat al-Risalat. 2006.
Al-S{abuni>, Muh}ammad Ali>. S{afwat al-Tafa>si>r. Vol. 3. Beirut: Da>r alQur’a>n al-kari>m, 1981.
Al-Shairazi>, Abdullah bin Umar bin Muhammad. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l al-Ma’ru>f bi Tafsi>r al-Baidhawi>. Vol. 5. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Isla>mi>, tt.
Al-S{uyu>t}i>, Jala>l al-Di>n Abi>Abd al-Rahma>n. Asba>b al-Nuzu>l al-Musamma> Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Muassasat al-Kutub al-Thaqa>fiyyat. 2002.
Al-T{abari>, Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n. Vol. 24. Kairo: Da>r Hijr. 2001.
Al-Zamakhshari>, Abu> Qa>sim Mahmu>d bin Umar. Tafsi>r al-Kashsha>f. Beirut: Da>r al-Ma’rifat. 2009.
Al-Zuhaili>, Wahbat. Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj . Vol. 15. Damaskus: Da>r al-Fikr.  2009.
HAMKA. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983.
Ibn Abbas. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s. Beirut: Da>r al-Kutub. 1992.
Ja’far, Suhermanto. “Evolusi Embrionik Manusia dalam Al-Qur’an”. Jurnal Mutawatir. Vol.3. No. 1. Januari-Juni. 2013.
Shihab. Muhammad Quraish Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.







[1]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi> al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf  Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1997), 647.
[2]Mahmud al-Alusi>, Ru>h al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>, Vol. 30, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi>, tt), 178.
[3]Selengkapnya lihat Manna>’ al-Qat}t}an, Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabat Wahbat, tt ), 73.
[4]Jala>l al-Di>n Abi>Abd al-Rahma>n al-S{uyu>t}i>, Asba>b al-Nuzu>l al-Musamma> Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, (Beirut: Muassasat al-Kutub al-Thaqa>fiyyat, 2002), 300. Bahkan di dalam buku Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa Hadis tersebut merupakan sebab turunnya surat al-Alaq ayat 6-19.
[5]Ibid., 300.
[6]Ibid., 300. Tirmidzi> mengatakan bahwa Hadis ini adalah Hadis hasan yang shahih. Adapun al-Wahidi> menjelaskan sebab turunnya ayat ini dengan riwayat yang berbeda. Ia mengeluarkan Hadis yang dikabarkan oleh Abu> Mans}u>r al-Baghdadi> dengan redaksi yang sedikit berbeda di mana akhirannya terdapat tambahan “Ibnu Abbas berkata: ‘Demi Allah SWT, seandainya dia (Abu Jahal) memanggil para pengikutnya, niscaya malaikat Zabaniyah akan dipanggil”. Abu> H{asan Ali> bin Ah}mad al-Wa>h}idi>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1991), 485.
[7]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009), 699.
[8]Ibid., 713.
[9]Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>g}i>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Vol. 30, (tk: tp, 1946), 199.
[10]Muh}ammad Ali> T{a>ha> al-Durrat, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m wa I’ra>buhu wa Baya>nuhu, Vol. 10, (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 2009), 657.
[11]Suhermanto Ja’far, “Evolusi Embrionik Manusia dalam Al-Qur’an”, Jurnal Mutawatir, Vol.3, No. 1, Januari-Juni, 2013, 31-32.
[12]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi> al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf  Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, 647.
[13]Selengkapnya lihat Abu> Qa>sim Mahmu>d bin Umar al-Zamakhshari>, Tafsi>r al-Kashsha>f, (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, 2009), 1212.
[14]Ibid., 1214.
[15]Ibid., 1214.
[16]Ibn al-H{ayya>n al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Vol. 8, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi>, tt), 692
[17]Ibn Abbas, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s, (Beirut: Da>r al-Kutub, 1992)  653.
[18]Ibid.,  653.
[19]Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin Abu> Bakr al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an, Vol. 22, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 2006), 376.
[20]Ibid., 376-377.
[21]Ibid., 377.
[22]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, (Riya>dh: Da>r T{aibat, 1997), 437.
[23]Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Tafsir Al-Qurthubi, 377.
[24]Ibid., 377
[25]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, 437.
[26]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.
[27]HAMKA, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 215.
[28]Ibid., 215.
[29]Ibid., 216.
[30]Ibid., 216.
[31]Ibid., 217.
[32]Ibn Abbas, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s, 653.
[33]Ibid.
[34]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, 438.
[35]Ibid., 438.
[36]HAMKA, Tafsir Al-Azhar, 217
[37]Ibid., 217-218.
[38]Ibid., 219
[39]Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n, Vol. 24, (Kairo: Da>r Hijr, 2001), 534.
[40]Ibn Abbas, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s, 653.
[41]Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n, Vol. 24, 534-535.
[42]Ibid., 535-536.
[43]Ibid., 539.
[44]Ibid., 541.
[45]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h al-G{aib, Vol. 32, (tk: Da>r al-Fikr, 1981), 22.
[46]Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin Abu> Bakr al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an, Vol. 22, 383.
[47]Ibid., 383.
[48]Ibn al-H{ayya>n al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Vol. 8, 696.
[49]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h al-G{aib, Vol. 32, 23.
[50] Mahmud al-Alusi>, Ru>h al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>, Vol. 30, 186.
[51]Ibid., 187.
[52]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h al-G{aib, Vol. 32, 23.
[53]Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Shairazi>, Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l al-Ma’ru>f bi Tafsi>r al-Baidhawi>, Vol. 5, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Isla>mi>), 326.
[54]Ibid., 326.
[55]Ibid., 326. Mahmud al-Alusi>, Ru>h al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>, Vol. 30, 188.
[56]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h al-G{aib, Vol. 32, 26
[57]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 713.
[58]Ibid., 715.
[59]Muh}ammad Ali> al-S{abuni>, S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, (Beirut: Da>r alQur’a>n al-kari>m, 1981), 583.
[60]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 713.
[61]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi> al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf  Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, 648.
[62]Muh}ammad Ali> al-S{abuni>, S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, 583.
[63]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 716.
[64]Muh}ammad Ali> al-S{abuni>, S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, 583.
 

Comments

  1. As stated by Stanford Medical, It is in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh on average 19 KG lighter than us.

    (And realistically, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and EVERYTHING to "how" they eat.)

    P.S, I said "HOW", and not "what"...

    Click this link to discover if this short test can help you release your real weight loss potential

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB