TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ
TAFSIR
SURAT AL-‘ALAQ
Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsi>r Tah}li>liy 2
Disusun oleh :
MUHAMMAD
HUSNAN (E03214012)
NAYLA ITHRIYAH (E03214014)
FARAH NADHIFA (E93214089)
Dosen Pengampu:
MOH. YARDHO, M. TH. I
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
TAFSIR SURAT AL-‘ALAQ
A. Pendahuluan
Surat al-Alaq
merupakan kategori surat makkiyyat. Selain dinamakan al-Alaq, surat ini
juga dinamakan dengan surat al-Qalam dan surat Iqra’. Ayatnya berjumlah
Sembilan belas ayat, tujuh puluh dua kalimat dan dua ratus tujuh puluh huruf.[1]
Sebagaimana diketahui, surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan ayat yang pertama kali
turun sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Meskipun, ulama terdapat sedikit
kontroversi terkait ayat apa yang pertama kali turun, surat al-Alaq ayat 1-5 adalah
pendapat yang terkuat dengan dasarnya yang paling kuat pula.
Al-Alusi lebih merinci
lagi kepada perbedaan jumlah ayat di dalam surat al-Alaq. Di dalam Hijaz
berjumlah duapuluh ayat. Di dalam mushaf Irak ayatnya berjumlah sembilanbelas.
Di Syam ayatnya berjumlah delapanbelas. [2]
Di dalam surat ini
tiga pokok pembahasan, yaitu topik permulaan turunnya wahyu kepada penutup para
Nabi, yaitu Muhammad SAW. Topik yang kedua adalah ruginya dan durhakanya
manusia disebabkan harta. Topik yang ketiga adalah kisah celakanya Abu Jahal
dan dia melarang Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan shalat.
B. Ayat dan Terjemah
إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5) كَلَّا إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ
الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10)
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12)
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
(14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ
كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18)
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)
1.
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
2.
Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah
3.
Bacalah dan
(padahal) Tuhamulah yang paling pemura
4.
Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam
5.
Dia
mengajarkan manusia apa yang diketahuinya
6.
Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas
7.
Karena dia
melihat dirinya serba cukup
8.
Sesungguhnya
hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)
9.
Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang melarang
10. Seorang hamba ketika dia mengerjakan
shalat
11. Bagaiamana pendapatmu jika orang yang
melarang itu berada di atas kebenaran
12. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah
SWT)
13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang
melarang itu mendustakan dan berpaling?
14. Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah SWT melihat segala perbuatannya
15. Ketahuilah sungguh jika dia tidak berhenti
(berbuat demikian), niscaya kami tarik ubun-ubunnya
16. (yaitu) ubun-ubunnya orang yang
mendustakan lagi berharga
17. Maka biarlah dia memanggil golongannya
(untuk menolongnya)
18. Kelak kami akan memanggil malaikat
Zabariyah
19. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh
kepadanya, dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)
C.
Asba>b
al-Nuzu>l
Manna>’ al-Qat}t}an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
sebab bisa bermakna dua. Makna pertama adalah terjadinya sebuah peristiwa yang
menyebabkan turunnya sebuah ayat yang menjelaskan keadaan tersebut. Makna kedua
adalah pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah SAW, kemudian turun suatu
ayat sebagai jawaban yang menjelaskan pertanyaan tersebut.[3]
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa definisi asba>b al-nuzu>l adalah sebab-sebab yang menjadi latar
belakang turunnya sebuah ayat berupa sebuah kejadian atau sebuah pertanyaan
yang dilontarkan kepada Rasulullah SAW.
Tidak semua
ayat al-Qur’an mempunyai asba>b al-nuzu>l. Hanya
sebagian kecil saja dari ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai latar belakang
penurunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ayat al-Qur’an yang mempunyai
latar belakang penurunan harus dijelaskan untuk mengetahui bagaimana situasi
dan kondisi ayat tersebut diturunkan. Salah satu ayat al-Qur’an yang mempunyai
latar belakang penurunan adalah surat al-Alaq, meskipun tidak satu per satu
ayat mempunyai latar belakang tersebut.
Ibn
al-Mundzir mengeluarkan Hadis sebagai sebab yang melatar belakangi turunnya
surat al-Alaq ayat 6 yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Abu
Jahal berkata: ‘Apakah Nabi Muhammad SAW pernah meletakkan mukanya ke tanah di
hadapan kalian?’ Maka dikatakan iya. Kemudian Abu Jahal berkata: ‘Demi Lata dan
‘Uzza, niscaya jika aku melihatnya demikian, aku akan menginjak batang lehernya
dan akan membenamkan wajahnya ke dalam tanah.” Maka turunlah ayat ini.[4]
Ibnu Jarir
mengeluarkan Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika
Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat. Kemudian Abu Jahal datang dan
melarang Rasulullah SAW. Maka Allah SWT menurunkan ayat أَرَأَيْتَ
الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10) sampai
firman-Nya كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16).[5]
Al-Tirmidzi> dan selainnya mengeluarkan Hadis yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika Nabi Muhammad SAW
sedang bersholat, kemudian Abu Jahal datang, ia berkata: ‘Bukankah aku sudah
melarangmu untuk melaksanakan ini?’ Maka Nabi SAW membentaknya. Kemudian Abu
Jahal berkata lagi: ‘Sesungguhnya engkau niscaya akan mengetahui bahwa di sini
tidak ada yang lebih banyak pengikutnya daripada aku”. Maka Allah menurunkan
ayat فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ
الزَّبَانِيَةَ (18).[6]
D. Muna>saba>t
Di dalam
surat al-Alaq ini, terdapat dua munasabat (korelasi), yaitu munasabat
antara surat al-Alaq dengan surat sebelumnya dan munasabat antara
ayat dengan ayat yang lainnya. Adapun munasabat antara surat al-Alaq
dengan surat sebelumnya adalah Allah SWT menyebutkan di dalam surat sebelumnya,
yaitu surat al-Tin bahwa Allah SWT menciptakan manusia di dalam paling baiknya
bentuk penciptaan. Ini adalah penjelasan penciptaan manusia di dalam bentuknya.
Sedangakan di dalam surat al-Alaq Allah SWT menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari segumpal darah, yang kemudian berganti terjemah dengan sesuatu
yang menggantung. Ini adalah penjelasan di dalam materinya. Di dalam surat ini,
juga dijelaskan tentang keadaan-keadaan akhirat dengan penjelasan yang rinci
sebagaiamana dijelaskan pada surat sebelumnya.[7]
Adapun munasabat
antara ayat dengan ayat lainnya bahwa setelah Allah SWT menjelaskan
bukti-bukti kekuasaan Tuhan di awal surat dan memberinya banyak nikmat serta
memeberi anugerah yang besar kepada manusia dengan mengajarkannya membaca,
menulis, dan apa yang tidak diketahui, kemudian Allah SWT menuturkan seebab
hakiki kafirnya seseorang, kesewenang-wenangannya, dan kedurhakaannya, yaitu
lebih mencintai dunia, kekayaan, dan tertipu dengannya, ketimbang merenungi
tanda-tanda kekuasaan Tuhan dan mensyukuri nikmatnya.[8]
Bentuk lain dari kedurhakaan manusia adalah orang yang melarang sholat dan
ibadah. Kemudian menjelaskan siksaannya yang pedih dan menutupnya dengan
perintah untuk tidak mematuhi perintah orang yang durhaka tersebut.
Al-Shabuni
juga menjelaskan bahwa pembukaan surat menjelaskan membaca dan menulis, dan
penutupnya menjelaskan sholat dan ibadah. Hal ini dimaksudkan agar ilmu dan
amal berdiri seiringan.
E.
Makna Mufrada>t
(Kosa Kata)
Al-‘Alaq bermakna darah yang membeku, yaitu bahwa
sesungguhnya manusia, paling mulianya makhluk, seluruhnya diciptakan dari al-Alaq
yang sering diartikan dengan segumpal darah.[9]
Allah SWT tidak berfirman dengan nut}fat untuk
menyesuaikan dengan pokok-pokok beberapa ayat.[10]
Akan tetapi, Suhermanto Ja’far memaknai al-Alaq tidak dengan segumpal
darah. Menurutnya, seiring kemajuan ilmu pengetahuan serta maraknya penelitian
para embriolog lebih cenderung memaknainya dengan sebentuk lintah yang
bergantung atau berdempet di dinding rahim. Ia memaknai al-‘Alaq dengan
“sesuatu yang bergantung” dengan mengutip perkataan Maurice Bucaille.[11]
Al-Qalam pada ayat
keempat, menurut Qata>dat
sebagaimana
dikutip oleh Nawawi> al-Bantani>,
adalah nikmat di mana jika seumpama tidak ada nikmat
tersebut, maka agama tidak akan tegak dan kehidupan tidak akan bermaslahat.[12]
Secara eksplisit, bentuk konkrit dari al-Qalam itu sendiri tidak
dijelaskan seperti apa visualisasinya.
Al-Akram adalah Dzat yang mempunyai kesesmpurnaan
di dalam menambah kemuliaan-Nya di atas setiap kemuliaan yang lain yang memberi
nikmat-nikmat yang tidak terhingga kepada para hamba-Nya, menyayangi mereka,
dan tidak bersegera menyiksa mereka.[13]
Al-Na>di> adalah
sebuah majlis yang suatu kaum berkumpul di dalamnya, yaitu mereka sedang
berkumpul.[14] Al-Zaba>niyat
di dalam perkataan orang Arab bermakna
syarat. Mufradnya adalah zabaniyat seperti ‘afariyat dari
lafaz zaban yang bermakna menolak.[15]
Adapun Ibn Hayyan memaknainya dengan malaikat penyiksa.[16]
F. Penafsiran
Surat Al-‘Alaq
Ayat 1-5
إقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Penafsiran
Mufassir Klasik
Menurut
penafsiran Ibn Abbas, lafadz (اقرأ) disini
memiliki makna, “bacalah! Wahai Muhammad pada Alquran” dan ini adalah lafadz
pertama yang turun kepadanya melalui malaikat Jibril. (باسم ربك) yakni dengan perintah Tuhanmu (الذي خلق) yang Maha Menciptakan. (خلق الانسان) yakni bermakna melahirkan anak Adam (من علق) dari segumpal darah. Maka kemudian Nabi
Muhammad berkata “Apa yang harus aku baca, wahai Jibril” maka Jibril membacakan
4 ayat dari awal surah ini. Kemudian Jibril berkata kepada Muhammad (اقرأ) Bacalah Alquran ini Wahai Muhammad! (و ربك الأكرم) dan Tuhanmu yang Maha Melampaui dan Maha Pemurahatas
kebodohan para hamba-Nya.[17]
(الذي علم بالقلم)
yakni yang
menulis dengan pena (علم الانسان) menulis
dengan pena (ما لم يعلم) sebelum itu, yakni dikatakan pengetahuan untuk
manusia yakni Adam memberi nama-nama pada segala sesuatu yang belum diketahui
sebelumnya.[18]
Penafsiran
Mufassir Pertengahan
Makna إقرأ باسم ربك menurut
tafsir al-Qurtubi adalah bacalah apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Alquran, diawali dengan nama Tuhan mu. Yakni dengan menyebutkan bacaan basmalah
disetiap permulaan surah.
Kedudukan huruf باء dalam
lafadz باسم ربك adalah nashab. Dan dikatakan jika huruf باء tersebut
memiliki makna على, maka menjadiاقرأ على
اسم ربك . Kemudian pada lafadz اقرأ terdapat sesuatu yang dibaca namun dihapus, yakni yang dimaksud
adalah اقرأ
القرأن, dan pembukaannya adalah
dengan menyebut nama Allah. Dan menurut suatu pendapat dari suatu kaum,
mengatakan bahwa lafadz اسم ربك adalah Alquran, sehingga dikatakan menjadi “bacalah
Alquran” dan kedudukan باء disini adalah sebagai tambahan.[19]
Lafadz انسان disini memiliki makna anak Adam atau manusia, sedangkan lafadz من علق disini
memiliki makna dari darah, yang merupakan jama’ dari kata علقة dan lafadz tersebut sendiri memiliki makna segumpal darah. Dan
dikatakan من علق dikatakan dengan menggunakan lafadz jama’,
karena Allah menghendaki manusia untuk berkumpul. Yang mana semuanya diciptakan
dari darah, setelah dari air mani kemudian menjadi segumpal darah.[20]
Manusia di sini dikhususkan dengan menyebutkan
keutamaannya: dan dikatakan: aku ingin menunjukkan seberapa banyak nikmat yang
diberikan-Nya. Karena manusia diciptakan dari segumpal darah yang hina, hingga
menjadi sebentuk manusia yang berakal.[21]
Ayat
Alquran pertama yang turun tersebut merupakan ayat yang mulia dan penuh berkah
ini. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat pertama yang Allah dengannya
menyayangi hamba-hambaNya sekaligus sebagai nikmat pertama yang diberikan
kepada mereka. Di dalam ayat-ayat tersebut juga termuat peringatan mengenai
permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahwasannya salah satu
bentuk kemurahan Allah adalah dengan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu. Dan itulah
yang menjadikan bapak umat manusia ini, Adam mempunyai kelebihan atas malaikat.
Terkadang, ilmu berada di dalam akal fikiran dan terkadang juga berada dalam
lisan. Juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan, dan tulisan
mengharuskan perolehan ilmu dan tidak sebaliknya.[22] Oleh
karena itu, Allah berfirman:
)اقرأ
وربك الأكرم الذي علم بالقلم علم الانسان ما لم يعلم(
“Bacalah, dan Rabb mu lah yang Paling Pemurah,
yang mengajar (Manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Dan dalam tafsir lain juga mengatakan bahwa, lafadz
اقرأdisini bermakna
ta’kid dan sempurnanya sebuah kalimat yang kemudian diringkas. Dan lafadz و ربك الأكرم atau
bermakna yang Maha Mulia. Menurut al-Kalabi, lafadz tersebut memiliki makna
yang Maha Penyantun dari kebodohan para hamba-Nya, sehingga tidak menjadikan
kebodohan tersebut menjadi hukuman bagi hamba-Nya.[23]
Pendapat yang pertama disamakan dengan makna,
bahwa lafadz tersebut ketika disebutkan diawal menunjukkan pada sebuah
kenikmatan yang membuktikan pada kemurahan Allah atas kebodohan para hamba-Nya.
Dan menurut pendapat lain adalah bacalah wahai Muhammad dan Tuhan mu akan
membantumu dan memahamkanmu, meskipun kamu bukan orang yang bisa membaca. Dan
lafadz الأكرم memiliki makna yang Maha Menaklukkan dari
kebodohan hamba-hamba-Nya.[24]
Di dalam
atsar disebutkan “قيدوا العلم لاكتابة” Ikatlah ilmu itu dengan tulisan. Selain itu, di dalam atsar
juga disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah
akan mewariskan kepadanya apa yang tidak diketahui sebelumnya”.[25]
Penafsiran
Mufassir Modern-Kontemporer
Menurut Tafsir Al-Azhar, dalam suku
pertama yakni kata (اقرأ) telah
menunjukkan kepentingan pertama yang terdapat pada kepentingan agama Islam.
yang kemudian Nabi diutus untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepadanya
atas nama Allah yang merupakan Maha Mencipta. Yakni yang menciptakan manusia
dari segumpal darah. Yang mana segumpal darah ini merupakan tahap kedua setelah
nuthfah. Nuthfah adalah segumpal air yang telah berpadu dari air mani laki-laki
dengan air mani perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma
menjadi segumpal darah. Dan dari segumpal darah tersebut kelak akan menjelma
pula setelah melalui 40 hari menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Menurut Quraish Shihab, iqra’ terambil dari akar kata yang
berarti menghimpun, seingga tidak selalu harus diartikan membaca teks tulis
dengan aksara tertentu. Dari mengimpun lair beraneka ragam makna, seeperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca baik tertulis maupun tidak.[26]
Pada saat ayat tersebut turun, Nabi Muhammad
pada saat itu bukanlah seorang yang pintar membaca. Beliau adalah ummi,
yang boleh diartikan sebagai orang yang buta huruf, tidak pandai membaca dan
tidak pandai menulis. Tetapi Jibril mendesaknya sampai tiga kali supaya Nabi
membaca. Meskipun Nabi tidak pandai
menulis, namun ayat-ayat tersebut dibawakan langsung kepadanya, diajarkan,
sehingga dia dapat membacanya.
Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Juz ‘Amma
menerangkan bahwa Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani,
menjelma menjadi segumpal darah, yang kemudian menjadi manusia penuh, niscaya
kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini
dikenal sebagai ummi, yang tak pandai membaca dan menulis. Maka jika
kita selidiki lagi isi hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuru
membaca, dan tiga kali pula beliau manjawab secara jujur bahwa belaiu tidak
pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, untuk meyakinkan
baginya bahwa sejak saat itu sudah ada kesanggupan membaca sudah ada padanya,
yang mana Nabi merupakan al-insan al-Kamil. Banyak lagi yang akan
dibacanya dikemudian hari. Yang penting haru diketahuinya adalah bahwa dasar
segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain adalah nama Allah.[27]
Setelah pada ayat pertama Nabi diutus membaca
atas Nama Allah yang Maha Menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan
lagi menyuruhnya membaca atas nama Allah yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha
Kasih dan Sayang terhadap makhlukNya. “Dia yang mengajarkan dengan qalam” (ayat
4), itulah yang menjadi keistimewaan Tuhan lagi. Itulah yang menjadi
kemuliaanNya yang tertinggi, yaitu yang diajarkanNya kepada manusia berbagai
ilmu, dibukaNya berbagai rahasia, diserahkanNya berbagai kunci untuk pembuka
perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Denagn pena! Di samping lidah untuk
membaca , Tuhan juga menakdirkan pula bahwa dengan pena, ilmu pengetahuan dapat
dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan pena
tersebut adalah berbagai hal yang dapat
memahamkan manusia.[28]
Allah telah terlebih dahulu mengajarkan manusia
mempergunakan qalam atau pena. Sesudah pandai menggunakan qalam tersebut
kemudian Allah memperbanyak memberikan
ilmu pengetahuan kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu pengetahuan
yang baru didapatnya tersebut dengan qalam yang ada pada tangannya.[29]
Syekh
Muhammad Abduh menjelaskan dalam tafsirnya bahwa tidak didapat kata-kata yang
lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini didalam
menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang
dan bagiannya. Dengan itu pula dibuka segala wahyu yang akan turun setelahnya.
Maka jika kaum muslimin tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak
mereka perhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala sesuatu yang
terselubung dengan pembungkus yang menghalangi pengelihatan mereka selama ini
terhadap ilmu-ilmu pengetahuan, maka tidaklah mereka akan bangun lagi
selamanya.[30]
Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya,
bahwa dua ayat pertama Nabi diperintah untuk membaca atas nama Allah yang telah
Mencipta, adalah mengandung qudrat dan hikmah dan ilmu dan rahmat, semuanya
adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat selanjutnya seketika Tuhan menyatakan
mencapai ilmu dengan qalam dan pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di
antara hukum tersebut yang tertulis, yang tidak dapat difahami apabila tidak
didengarkan dengan seksama. Dalam ayat pertama dan kedua memperlihatkan rahasia
Rububiyyah atau ketuhanan dan ayat ketiga hingga ayat kelima mengandung rahasia
Nubuwwat atau kenabian.[31]
Ayat
6-11
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6)
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي
يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10)
Penafsiran
Mufassir Klasik
(كلا) Sungguh Muhammad! (ان الانسان) sesungguhnya orang-orang kafir (ليطغي) menjadi sewenang-wenang atau sombong, atas apa
yang telah ditinggikan dari tingkatan-tingkatan dalam hal sandang, pangan,
papan, juga kedudukan. (ان رأه استغنى) ketika
dia melihat dirinya telah dikayakan oleh Tuhan atas hartanya. (ان الى ربك) Sesungguhnya wahai Muhammad, (الرجعى) kalian akan kembali kepada Tuhan mu sang Maha
Mencipta di akhirat nanti.[32]
Kemudian
turunlah pada suatu masa dimana Abu Jahal bin Hisyam ingin menginjakkan kakinya
pada leher Rasulullah ketika Nabi sedang shalat, maka Allah berfirman (أرأيت) apakah kamu melihat wahai Muhammad! (الذي ينهى عبدا) Orang-orang yang melarang kaummu untuk shalat (اذا صلى) kepada Allah.[33]
Penafsiran
Mufassir Pertengahan
Allah
memberitahukan tentang manusia, bahwa ia merupakan makhluk yang bisa senang,
jahat, sombong, dan sewenang-wenang jika dia melihat dirinya sudah merasa cukup
dan memiliki banyak harta. Kemudian Allah memberikan peringatan, mengancam
sekaligus menasihatinya, dengan Dia berfirman: ان الى ربك الرجعى)) “Sesungguhnya
hanya kepada Rabb-mulah kembali (mu)”. Yakni, hanya kepada Allah tempat
kembali. Dan Dia akan menghisabmu atas harta yang engkau miliki, darimana
engkau mengumpulkannya dan untuk apa pula engkau membelanjakannya.[34]
Lebih
lanjut, Allah berfirman: (أرءيت الذي ينهى عبدا اذا صلى) “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang
melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat”. Ayat ini turun
berkenaan dengan Abu Jahal, semoga Allah melaknatnya, yang mengancam Nabi jika
akan mengajarkan shalat di Baitullah. Kemudian Allah menasihati beliau dengan
sesuatu yang lebih baik.[35]
Penafsiran
Mufassir Modern-Kontemporer
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6)
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8) أَرَأَيْتَ الَّذِي
يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10)
Kallaa! Di sini arti yang tepat dari kallaa
ialah Sungguh, atau sungguhnian!. Ini merupakan peringatan kepada Nabi Muhammad
yang akan menghadapi tugas yang berat yakni menjadi Rasul. Dia akan berhadapan
dengan manusia, yakni manusia memiliki sifat yang buruk yakni yang dirinya
merasa telah berkecukupan, telah menjadi orang kaya dengan hartanya yang berlimpah
dan berkecukupan karena dihormati orang, disegani, dan dituakan dalam
masyarakat. Sehingga mereka melampaui batas, lantaran manusia tersebut merasa
tidak perlu lagi menerima nasihat dan pengajaran dari orang lain. Maka hiduplah
ia menyendiri, dan segala harta bendanya tidaklagi digunakan untuk pekerjaan
yang bermanfaat.[36]
Apabila
telah datang saat kembali kepada Tuhan, yaitu maut, kekayaan yang disangka
mencukupi itu tidak sedikitpun dapat menolong. Seperti yang dikatakan oleh Abu
Su’ud dalam tafsirnya bahwa karena hidup merasa kaya dan berkecukupan, orang
melampaui batas-batas yang patut di jaga. Akhir kelaknya dia mesti kembali juga
kepada yang Maha Kuasa atas dirinya dan hartanya. Dia mesti mati, dan sesudah
mati dia kelak akan dibangkitkan, berhadapkan dengan Tuhan sendiri, bukan
dengan yang lain. Disitu kelak engkau rasakan akibat dari sikapmu yang tidak
mau tahu, yang merasa cukup dan melampaui itu.[37]
Ayat ini
merupakan ayat yang mana memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan
dakwah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyak dari penduduk Makkah yang
benci dan menolaknya, diantaranya adalah orang-orang yang telah dijelaskan pada
ayat sebelumnya tadi. Yakni orang-orang yang merasa dirinya berkecukupan dan
hidupnya yang melanggar dan melampaui batas. Seorang yang terkemuka yang
menolak dakwah Rasulullah adalah Abu Jahal. Dia benar-benar benci kepada Rasul,
sebab Rasul menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya
menyembah kepada Allah Yang Esa. Dan Nabi dengan tidak perduli kepada siapapun,
pergi sembahyang di Ka’bah menyembah Allah menurut keyakinannya dan cara yang
telah dipimpinkan Tuhan kepadanya.
Menurut
sebuah hadis dari Ibn Abbas yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, setelah Abu
Jahal menjadi sangat murka setelah mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad
telah pernah sembahyang seperti itu di Ka’bah. Sampai dia berkata: “Kalau saya
lihat Muhammad sembahyang di dekat Ka’bah, akan saya injak-injak kuduknya”
seketika ancaman Abu Jahal itu disampaikan kepada Nabi, kemudian Nabi berkata
“Kalau dia berani, malaikatlah yang akan menariknya”.
Maksud
dari ayat ini adalah adakah yang teringat olehmu, wahai Muhammad, atau
menghambat dan menghalang-halangi dan mengancam kepada seorang hamba Allah,
yakni Muhammad. Dalam ayat ini juga dalam ayat-ayat yang lain, beliau
disebutkan seorang hamba Allah sebagai kata penghormatan dan jaminan
perlindungan yang diberikan kepadanya, “apabila dia sembahyang”.[38]
Ayat 11-19
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ
أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12) أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ
يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا
بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
(17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18) كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
(19)
Penafsiran
Mufassir Klasik
Allah SWT
berfirman: “Apakah engkau mengetahui jika Muhammad berada di dalam petunjuk?
Yaitu berada dalam keadaan istiqomah dan dalam keadaan benar di dalam shalatnya
kepada Allah SWT.[39]
Sedangkan Ibnu Abbas memaknainya dengan kenabian dan Islam.[40]
Atau dia memerintahkan untuk bertakwa, yaitu Muhammad memerintahkan kepada
orang yang melarang (shalat) ini untuk bertakwa kepada Allah SWT.[41]
Perintah Nabi Muhammad SAW ini merupakan bentuk implementasi dakwahnya di dalam
menyebarkan Islam ke siapapun.
(Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan) ini merupakan pertanyaan
Allah SWT bahwa Abu Jahal adalah orang yang mendustakan kebenaran dengan
diutusnya Nabi Muhammad. (Dan Berpaling) selain ia mendustakan kenabian
Muhammad SAW, ia juga berpaling, yaitu enggan merenunginya dan tidak mengimani
Nabi Muhammad SAW. Apakah Abu Jahal tidak mengetahui ketika dia melarang Nabi
Muhammad SAW untuk beribadah kepada Tuhan-Nya (Allah SWT) dan shalat
kepada-Nya, Allah SWT melihatnya dan akan menyiksanya?[42]
Hal ini dikarenakan hatinya sudah menutup diri dari kebenaran, sehingga
kebenaran bisa menjadi sebuah kesalahan dalam pandangannya.
Kemudian
Allah SWT mengancam Abu Jahal apabila dia tidak bertaubat dari menyakiti Nabi
Muhammad SAW dalam arti berhenti menyakitinya, maka Allah SWT akan menjadikan
ubun-ubunnya ke dalam neraka. Allah SWT pun membiarkan Abu Jahal untuk meminta
pertolongan kepada kaumnya dan majlisnya, karena pada saat Nabi SAW dilarang
untuk bershalat, Abu Jahal menyombongkan dirinya seraya berkata “Aku adalah
orang yang paling banyak pengikutnya”. Apabila hal itu benar-benar dilakukan
Abu Jahal, maka malaikat Zabaniah akan menjadi sebagai penolong. Ibnu Abbas
berkata: “Andaikan Abu Jahal melakukan hal tersebut, niscaya Malaikat akan
mengambil ajalnya dan manusia akan melihatnya.”[43]
Maka
sekali-kali kamu jangan patuh kepadanya (Abu Jahal), segaimana yang ia
perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk tidak bershalat kepada Tuhan-Nya. Maka
sujudlah dan mendekatlah kepada Allah SWT, karena ia tidak akan mampu
membahayakan Nabi SAW.[44]
Penafsiran Mufassir Pertengahan
Al-Razi
mengomentari khitab ayat ini ditujukan kepada siapa. Pendapat yang pertama
mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan dasar bahwa
ayat أرأيت
الذي ينهي عبدا ditujukan kepada Nabi SAW. Ayat أرأيت إن كذب وتولي juga
ditujukan kepada Nabi SAW. Apabila ayat ini yang berada di tengah-tengah
keduanya tidak ditujukan kepada Nabi SAW, maka pembicaraan di dalam surat ini
tidak berkorelasi. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa ayat ini khitabnya
adalah untuk orang kafir dengan dasar bahwa Allah SWT berposisi sebagai orang
yang menyaksikan antara orang yang dzalim dan didzalimi atau seperti tuan yang
berada di depan dua budaknya. Maka perkiraannya ayatnya adalah أرأيت ياكافر ...[45] Maksud
ayat ini adalah tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Jahal jika Muhammad berada
dalam sifat ini (petunjuk)? Bukankah dengan engkau mencegahnya bertaqwa dan
sholat akan mengkibatkanmu celaka?[46]
Kemudian
Allah SWT menyebutkan bahwa Abu Jahal mendustakan Kitab (Al-Qur’an) Allah SWT
dan berpaling dari beriman.[47]
Ibnu Hayyan sedikit berbeda di dalam memahami khitab أرأيت yang
ketiga. Menurutnya, khitab pada kali yang ketiga adalah untuk orang kafir,
yaitu “Apakah engkau mengetahui wahai orang kafir, jika sholatnya adalah
merupakan petunjuk dan doa kepada Allah SWT serta memerintah untuk bertakwa,
lalu mengapa engkau melarangnya?”[48]
Penjelasan
terkait ayat ini adalah sebagai bentuk ancaman. Artinya Allah SWT maha
Mengetahui kepada segala sesuatu yang diketahui. Ayat ini pula juga mempunyai
kandungan makna bahwa bukan berarti ayat ini adalah turun hanya untuk Abu Jahal
saja. Akan tetapi, orang yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah
SWT, maka dia juga mempunyai sifat seperti Abu Jahal, yaitu syirik kepada Allah
SWT.[49]
Allah
SWT lalu mengancam Abu Jahal untuk bertaubat (berhenti) dari apa yang sudah
dilakukannya, seperti melarang Nabi Muhammad SAW bersholat dan bertakwa
kepada-Nya. Apabila dia masih belum berhenti pula, maka Tuhan mengancamnya akan
menjadikan ubun-ubunnya berada di dalam neraka pada hari kiamat.[50]
Ubun-ubunnya pun disifati dengan ubun-ubunnya yang pendusta dan durhaka, karena
sifat ubun-ubunnya melekat erat dengan sifat pemiliknya. Sifatnya disebutkan
untuk memperkuat statemen dari sifat pemiliknya, yaitu Abu Jahal. Hal ini
menunjukkan kepada sangat berdusta dan durhakanya Abu Jahal.[51]
Al-Razi
menjelaskan terkait makna dari kalla. Kata ini mempunyai beberapa makna,
yaitu sebagai penghalang dan pelarang Abu Jahal untuk melarang Nabi Muhammad
SAW beribadah kepada Allah SWT. Makna kedua adalah bermakna Abu Jahal tidak
sampai kepada apa yang diucapkannya bahwa ia membunuh Nabi Muhammad atau
menyembelih lehernya. Yang ketiga adalah Muqatil berkata: “ketahuilah dia tidak
mengetahui bahwa Allah SWT melihatnya. Dan jika dia mengetahui, tetapi dia
tidak mengambil manfaat dari apa yang dia ketahuinya, maka hakikatnya dia tidak
mengetahui.”[52]
Kemudian
Allah SWT memerintahkan untuk membiarkan Abu Jahal memanggil para pengikutnya.
Dia memanggil pengikutnya untuk meminta tolong kepada mereka. Diriwayatkan Abu
Jahal lewat di hadapan Rasulullah SAW yang sedang dalam keadaan sholat, dia
berkata: “Bukankah aku sudah melarangmu?” Lalu Rasulullah SAW membentaknya. Abu
Jahal berkata lagi: “Apakah engkau melemahkanku? Padahal aku adalah orang yang
paling banyak pengikutnya?”[53]
Ayat ini merupakan bentuk pelemahan kepada orang-orang kafir. Apabila Abu Jahal
tidak bertaubat, maka Allah SWT akan mengutus malaikat Zabaniyah untuk
menggiringnya ke neraka. Sebagaimana diketahui malaikat Zabaniyah adalah malaikat
yang tugasnya adalah menyiksa. [54]
Maka
Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad SAW jangan sekali-kali taat kepada
perintahnya dan teguhkanlah dirimu untuk taat kepadamu. Mengingat yang menjadi
utusan-Nya adalah Nabi Muhammad SAW bukanlah Abu Jahal, sehingga yang patut
untuk ditaati adalah perintah dari utusan-Nya. Lalu Dia memerintahkan untuk
bersujud dan mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam suatu riwayat Hadis
dijelaskan “Paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya adalah di saat dia
bersujud.”[55]
Sebagian ulama mnejelaskan maksudnya
adalah bersujudlah wahai Nabi Muhammad SAW dan mendekatkan dri lah wahai Abu
Jahalsampai engkau melihat apa yang akan mencapaimu berupa malaikat Zabaniah
yang ekan mengambilmu, seakan-akan Allah menyuruhnya bersujud untuk membuat
marah saja.[56]
Penafsiran
Mufassir Modern-Kontemporer
Sebenarnya
penafsiran mufassir modern tidak terlalu banyak ditemukan banyak perbedaan
dengan penafsiran-penafsiran mufassir pada periode sebelumnya. Secara
substantif, penafsirannya sama dengan mufassir-mufassir sebelumnya. Hal ini
dikarenakan mufassir pada masa modern-kontemporer juga tidak bisa serta-merta
meninggalkan penafsiran mufassir-mufassir periode sebelumnya.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan kata araaita yang
kedua di dalam surat ini adalah sebagai penguat dan panjangnya kalam.[57]
Wahai Muhammad kabarkanlah pula kepadaku tentang keadaan orang yang
melarang ini, jika memang dia berada di dalam kebenaran atas apa yang
dilarangnya dari beribadah kepada Allah SWT, atau apakah dia adalah orang yang
memerintahkan untuk bertakwa di dalam apa yang dia perintahkan dari menyembah
berhala, sebagaimana yang dia yakini?[58]
Al-Sabuni
juga sependapat dengan penafsiran al-Zuhaili. Dia menjelaskan “kabarkanlah
kepadaku, jika hamba yang bershalat ini, yakni Nabi Muhammad SAW, yang engkau
melarangnya untuk bersholat adalah orang sholeh yang member petunjuk? Atau dia
memerintahkan untuk berikhlas dan bertauhid mengajak kepada petunjuk yang
benar, maka dengan dasar apa engkau mencegah dan melarangnya?[59]
Dua pendapat tersebut adalah pendapat bahwa ayat tersebut adalah khitab kepada
orang kafir. Akan tetapi, mayortias ulama mengatakan bahwa khitabnya adalah
kepada Nabi Muhammad SAW agar kalimatnya adalah dalam satu susunan.[60]
Allah
SWT kemudian menjelaskan tentang kedustaan dan kedurhakaan Abu Jahal. Ayat araaita
yang ketiga merupakan susunan kata pertanyaan adalah objek kedua dari kata araaita.
Objek yang pertama dibuang dengan bentuk kata ganti yang kembali kepada
kata sambung atau kata tunjuk yang dikembalikan kepada yang ditunjuk, yaitu
apakah engkau mengetahui wahai Muhammad jika orang kafir inimendustakan
tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang jelas dan berpaling untuk berdedikasi kepada
penciptanya? Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah SWT melihat
perbuatan-perbuatan jeleknya ini? Mengapa dia tidak mencegahnya?[61]
Kemudian
Allah SWT mengancam Abu Jahal agar dia mencegah perbuatannya. Maka demi Allah
SWT, niscaya jika dia tidak berhenti menyakiti Rasulullah SAW, dan mencukupkan
kekafiran dan kesesatannya, maka niscaya Allah SWT akan menarik ubun-ubunnya
dan memasukkannya ke dalam neraka dengan siksaan yang pedih. Orang yang
mempunyai ubun-ubun tersebut adalah orang yang pendusta, berpaling, dan banyak
berdosa. Penyebutan kata al-kidzb dan al-khati’ah hanyalah
sebagai bentuk kiasan saja di mana hakikatnya adalah orang yang memiliki dua
sifat tersebut. Adapun orang yang melakukan kesalahan dengan disengaja disebut
dengan al-kha>ti’
dan orang yang melakukan
kesalahan dengan tidak disengaja adalah al-mukht}i’.[62]
Maka biarkanlah orang yang melarang
tersebut memanggil para pengikutnya atau kaumnya agar mereka menolong dan
membantunya. Al-Na>di> adalah istilah untuk majlis yang di
dalamnya berkumpul suatu kaum atau keluarga. Sesungguhnya, jika dia memanggil
mereka untuk meminta pertolongannya, maka mereka berpaling kepada murka
Tuhannya dan siksanya yang pedih, dan kamu akan memanggil malaikat Zabaniah
untuk mengambil ajal mereka dan mempertemukan di neraka.[63]
Oleh karena itu, janganlah sekali-kali
engkau (Muhammad) taat kepada orang yang mengajakmu untuk meninggalkan sholat
dan istiqomahlah di dalam bersujud dan bersholat, sserta mendekatka diri kepada
Tuhanmu, karena di dalam Hadis dijelaskan “Paling dekatnya seorang hamba kepada
Tuhannya adalah di dalam keadaan bersujud.[64]
G. Hikmah
Surat
al-Alaq ini memberikan beberapa pelajaran yang bisa diambil. Allah di awal
mengajarkan kepada manusia akan pentingnya membaca dan menulis. Orang banyak
membaca akan semakin banyak wawasan dan mengenal dunia. Dikatakan “Membaca
adalah jendela dunia”. Semakin banyak orang membaca, semakin dia membuka
jendela-jendela dunia. Di dalam surat ini pada perintah membaca tidak
dijelaskan objek secara spesifik. Hal ini memberikan pemahaman bahwa manusia
tidak hanya diperintahkan untuk membaca sesuatu yang khusus, melainkan segala
hal baik untuk dibaca.
Selain
membaca, di dalam surat ini juga dijelaskan pentingnya menulis. Orang akan
ditemukan jejak kehidupannya, ketika dia mempunyai sebuah karya di dalam bentuk
tulisan. Sekalipun orang yang menulis tersebut sudah meninggal dunia.
Sebagaimana diketahui betapa banyak mufassir yang sampai sekarang tetap
dikenang ketika sudah mempunyai karya. Berbeda dengan mufassir yang karyanya
tidak sampai kepada cendekiawan abad ini. Mereka akan sulit ditemukan jejak
intelektualnya.
H. Kesimpulan
Surat al-Alaq
ini merupakan surat yang pertama kali turun. Dengan penjelasan yang singkat
tersebut, bisa diambil beberapa benang merah yaitu,
1.
Allah SWT
menciptakan manusia dari segumpal darah.
2.
Allah SWT
mengajarkan manusia pentingnya membaca dan menulis.
3.
Cerita
celakanya Abu Jahal disebabkan durhakanya dan dustanya kepada Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Alusi>, Mahmud. Ru>h
al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’
al-Matha>ni>. Vol. 30. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th
al-Arabi>. tt.
Al-Andalusi>, Ibn al-H{ayya>n. Tafsi>r
al-Bah}r al-Muh}i>t}. Vol. 8. Beirut: Da>r Ihya>’
al-Tura>th al-Arabi>. tt.
Al-Durrat, Muh}ammad Ali> T{a>ha.> Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Kari>m wa I’ra>buhu wa Baya>nuhu. Vol. 10. Beirut:
Da>r Ibn Kathi>r. 2009.
Al-Jawi>, Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>. Mara>h}
Labi>d li Kashf Ma’na al-Qur’a>n
al-Maji>d. Vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyat. 1997..
Al-Mara>g}i>, Ah}mad Mus}t}afa.> Tafsi>r
al-Mara>gi>. Vol. 30. tk: tp. 1946.
Al-Ra>zi>. Fakhruddin. Mafa>ti>h
al-G{aib. Vol. 32. tk: Da>r al-Fikr. 1981.
Al-Qat}t}an,
Manna>’. Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabat
Wahbat. tt.
Al-Quroshiy, Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r.
Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8. Riya>dh: Da>r T{aibat.
1997.
Al-Qurt}ubi>,
Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin Abu> Bakr. Al-Ja>mi’ li
Ahka>m al-Qur’an. Vol. 22. Beirut: Muassasat al-Risalat. 2006.
Al-S{abuni>, Muh}ammad Ali>. S{afwat
al-Tafa>si>r. Vol. 3. Beirut: Da>r alQur’a>n al-kari>m, 1981.
Al-Shairazi>, Abdullah bin Umar bin Muhammad.
Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l al-Ma’ru>f bi Tafsi>r
al-Baidhawi>. Vol. 5. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th
al-Isla>mi>, tt.
Al-S{uyu>t}i>, Jala>l al-Di>n
Abi>Abd al-Rahma>n. Asba>b al-Nuzu>l al-Musamma> Luba>b
al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Muassasat al-Kutub
al-Thaqa>fiyyat. 2002.
Al-T{abari>,
Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n ‘an
Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n. Vol. 24. Kairo: Da>r Hijr. 2001.
Al-Zamakhshari>, Abu> Qa>sim
Mahmu>d bin Umar. Tafsi>r al-Kashsha>f. Beirut: Da>r
al-Ma’rifat. 2009.
Al-Zuhaili>, Wahbat. Al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj . Vol. 15.
Damaskus: Da>r al-Fikr. 2009.
HAMKA. Tafsir
Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1983.
Ibn
Abbas. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s. Beirut:
Da>r al-Kutub. 1992.
Ja’far, Suhermanto. “Evolusi Embrionik Manusia
dalam Al-Qur’an”. Jurnal Mutawatir. Vol.3. No. 1. Januari-Juni. 2013.
Shihab. Muhammad
Quraish Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.
[1]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>
al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf
Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyat, 1997), 647.
[2]Mahmud al-Alusi>, Ru>h
al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’
al-Matha>ni>, Vol. 30, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th
al-Arabi>, tt), 178.
[3]Selengkapnya lihat Manna>’
al-Qat}t}an, Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo:
Maktabat Wahbat, tt ), 73.
[4]Jala>l al-Di>n Abi>Abd
al-Rahma>n al-S{uyu>t}i>, Asba>b al-Nuzu>l al-Musamma>
Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, (Beirut: Muassasat
al-Kutub al-Thaqa>fiyyat, 2002), 300. Bahkan di dalam buku Asbabun Nuzul Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa Hadis
tersebut merupakan sebab turunnya surat al-Alaq ayat 6-19.
[5]Ibid.,
300.
[6]Ibid.,
300. Tirmidzi> mengatakan
bahwa Hadis ini adalah Hadis hasan yang shahih. Adapun al-Wahidi> menjelaskan sebab turunnya ayat ini dengan
riwayat yang berbeda. Ia mengeluarkan Hadis yang dikabarkan oleh Abu> Mans}u>r al-Baghdadi> dengan
redaksi yang sedikit berbeda di mana akhirannya terdapat tambahan “Ibnu Abbas
berkata: ‘Demi Allah SWT, seandainya dia (Abu Jahal) memanggil para
pengikutnya, niscaya malaikat Zabaniyah akan dipanggil”. Abu> H{asan Ali> bin Ah}mad
al-Wa>h}idi>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1991), 485.
[7]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15,
(Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009), 699.
[8]Ibid.,
713.
[9]Ah}mad Mus}t}afa>
al-Mara>g}i>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Vol. 30, (tk:
tp, 1946), 199.
[10]Muh}ammad Ali> T{a>ha>
al-Durrat, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m wa I’ra>buhu wa
Baya>nuhu, Vol. 10, (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 2009), 657.
[11]Suhermanto
Ja’far, “Evolusi Embrionik Manusia dalam Al-Qur’an”, Jurnal Mutawatir, Vol.3,
No. 1, Januari-Juni, 2013, 31-32.
[12]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>
al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf
Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, 647.
[13]Selengkapnya lihat Abu>
Qa>sim Mahmu>d bin Umar al-Zamakhshari>, Tafsi>r
al-Kashsha>f, (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, 2009), 1212.
[14]Ibid.,
1214.
[15]Ibid.,
1214.
[16]Ibn al-H{ayya>n
al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Vol. 8, (Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi>, tt), 692
[19]Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin
Abu> Bakr al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an, Vol.
22, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 2006), 376.
[22]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r
al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, (Riya>dh:
Da>r T{aibat, 1997), 437.
[23]Muhammad
bin Ahmad Al-Anshari, Tafsir Al-Qurthubi, 377.
[25]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r
al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, 437.
[26]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.
[27]HAMKA, Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 215.
[33]Ibid.
[34]Isma’i>l bin Umar bin Kathi>r
al-Quroshiy, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, Vol. 8, 438.
[36]HAMKA, Tafsir
Al-Azhar, 217
[39]Abu> Ja’far Muh}ammad bin
Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi
al-Qur’a>n, Vol. 24, (Kairo: Da>r Hijr, 2001), 534.
[41]Abu> Ja’far Muh}ammad bin
Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi
al-Qur’a>n, Vol. 24, 534-535.
[42]Ibid.,
535-536.
[43]Ibid.,
539.
[44]Ibid.,
541.
[45]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h
al-G{aib, Vol. 32, (tk: Da>r al-Fikr, 1981), 22.
[46]Abu> Abdillah Muh}ammad bin Ahmad bin
Abu> Bakr al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an, Vol.
22, 383.
[47]Ibid.,
383.
[48]Ibn al-H{ayya>n
al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Vol. 8, 696.
[49]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h
al-G{aib, Vol. 32, 23.
[50] Mahmud al-Alusi>, Ru>h
al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa al-Sab’
al-Matha>ni>, Vol. 30, 186.
[51]Ibid.,
187.
[52]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h
al-G{aib, Vol. 32, 23.
[53]Abdullah bin Umar bin Muhammad
al-Shairazi>, Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l
al-Ma’ru>f bi Tafsi>r al-Baidhawi>, Vol. 5, (Beirut: Da>r
Ihya>’ al-Tura>th al-Isla>mi>), 326.
[54]Ibid.,
326.
[55]Ibid.,
326. Mahmud
al-Alusi>, Ru>h al-Ma-a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an
al-Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>, Vol. 30, 188.
[56]Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>ti>h
al-G{aib, Vol. 32, 26
[57]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 713.
[58]Ibid.,
715.
[59]Muh}ammad Ali> al-S{abuni>,
S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, (Beirut: Da>r alQur’a>n
al-kari>m, 1981), 583.
[60]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 713.
[61]Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>
al-Jawi>, Mara>h} Labi>d li Kashf
Ma’na al-Qur’a>n al-Maji>d, Vol. 2, 648.
[62]Muh}ammad Ali>
al-S{abuni>, S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, 583.
[63]Wahbat al-Zuhaili>, Al-Tafsi>r
al-Muni>r fi> al-Aqidat wa al-Shari’at wa al-Manhaj , Vol. 15, 716.
[64]Muh}ammad Ali>
al-S{abuni>, S{afwat al-Tafa>si>r, Vol.3, 583.
As stated by Stanford Medical, It is in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh on average 19 KG lighter than us.
ReplyDelete(And realistically, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and EVERYTHING to "how" they eat.)
P.S, I said "HOW", and not "what"...
Click this link to discover if this short test can help you release your real weight loss potential