Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)



MUT{LAQ DAN MUQAYYAD



Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Ushu>l al-Fiqh 2


















Disusun oleh :
MUHAMMAD HUSNAN
NIM: E03214012



Dosen Pengampu:
DR. HJ. IFFAH, M. AG


PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2016
                                            

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam dalam mengungkapkan pesan hukumnya menggunakan berbagai macam cara, adakalanya dengan tegas dan adakalanya tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada juga yang mengedepankan maqasid ahkam (tujuan hukum). Dan dalam suatu kondisi juga terdapat pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang memerlukan penyelesaiannya.
Maka dalam  memahami pesan hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan sunnah, para ulama ushul telah menyusun semantik yang kemudian digunakan untuk praktik penalaran fiqh. Adalah metode istinbat, yang berarti upaya menarik hukum dari Al-Qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad. Salah satunya yaitu dengan melihat dari aspek kebahasaan melalui Mutlaq dan Muqoyyad; serta Mantuq dan Mafhum.
Berikut akan dijelaskan pengertian dari Mutlaq dan Muqoyyad, kaidah-kaidah dan hukum yang berlaku di dalamnya dan juga permasalahannya; serta Mantuq dan Mafhum, kaidah-kaidah dan hukum yang berlaku di dalamnya dan juga permasalahannya.

B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan sebelumnya, pembahasan di makalah ini bisa dibatasi sebagai berikut,
1.      Apa pengertian Mut}laq dan Muqayyad?
2.      Bagaimana hukum Mut}laq dan Muqayyad?
3.      Bagaimana pendapat ulama tentang status perubahan Mut}laq menjadi Muqayyad?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian Mut}laq dan Muqayyad .
2.      Menjelaskan hukum Mut}laq dan Muqayyad.
3.      Menjelaskan pendapat ulama tentang perubahan status Mut}laq menjadi Muqayyad.

D.    Manfaat
1.      Mengetahui pengertian Mut}laq dan Muqayyad.
2.      Mengetahui hukum Mut}laq dan Muqayyad.
3.      Mengetahui pendapat ulama tentang perubahan status Mut}laq menjadi Muqayyad

BAB II

MUT{LAQ DAN MUQAYYAD
A.    Pengertian Mut}laq dan Muqayyad
1.      Pengertian Mut}laq
Mut}laq adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan dan tidak dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat[1], seperti lafaz كتاب  (kitab/buku), رجل  (orang laki-laki), طالب  (pencari ilmu), dan lain sebagainya. Lafaz-lafaz tersebut merupakan lafaz-lafaz mut}laq yang menunjukkan makna keseluruhan dalam jenisnya dengan tanpa memperhatikan keumumannya, karena yang dimaksud adalah hakikat sesuatu tersebut tanpa dibatasi dengan sesuatu lainnya.
Contoh ayat yang mengandung makna mutlaq adalah lafaz تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ dalam surah al-Maidah ayat 89. Budak pada ayat tersebut tidak terbatas apakah dia merupakan budak muslim ataupun budak kafir. Akan tetapi, lafaz tersebut mencakup kepada budak secara umum.
2.      Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan yang dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat[2], seperti lafaz رجل مؤمن (orang mu’min laki-laki), كتاب جديد (kitab/buku baru), رقبة مؤمنة (budak mu’min), dan lain sebagainya. Contoh ayat yang mengandung makna muqayyad adalah صِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَبِعَيْنِ dalam surah al-Mujadalah ayat 4. Lafaz صِيَامُ pada ayat tersebut merupakan lafaz muqayyad dengan dibatasi dengan dua bulan berturut-turut dan sebelum bercampur dan istimta’ dengan istri yang di-d}ihari.
  
B.     Hukum yang Terkandung di Dalam Mut}laq dan Muqayyad
Hukum yang berlaku di dalam lafaz mut}laq adalah hukum ke-mut}laq-kannya selama masih tidak terdapat dalil atau qarinah yang menunjukkan kemuqayyadannya. Apabila dalil yang menunjukkan kemuqayyadannya, maka dalil ini memindahkan hukum mut}laq kepada hukum muqayyad.[3]
Contoh dari lafad mut}laq yang berlaku hukum ke- mut}laq-kannya terdapat dalam surah al-Mujadalah ayat 3,
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ  
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Lafaz raqabat dalam ayat tersebut berlaku hukum mut}laq (terbebas) dari setiap batasan yang mana kemutlakannya harus diberlakukan. Orang yang menz}iha>r istrinya dan ingin kembali kepada istrinya,wajib memerdekakan budak, baik beragama Islam maupun selain Islam.
Contoh mut}laq yang terdapat dalil yang membatasi kemutlakannya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Nisa’ayat 11,
.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3  
Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”
Lafaz was}iyyat merupakan bentuk kata mut}laq, yaitu bolehnya berwasiat dengan ukuran berapapun. Akan tetapi, terdapat dalil yang membatasinya dengan sepertiga, yaitu Hadith Rasulullah SAW yg diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqas, di mana Beliau melarang wasiat lebih dari sepertiga.[4]
Adapun hukum yang berlaku di dalam lafaz muqayyad adalah tetapnya mengamalkan atas kemuqayyadannya selama tidak ada dalil yang membatalkan batasannya.[5] Contoh hukum muqayyad yang batasannya dibatalkan terdapat dalam al-Nisa’ ayat 23,
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ
Artinya: “…anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara…”
Hukum yang diberlakukan adalah batasan yang kedua, yaitu disyaratkannya “bercampur” dengan istri. Batasan yang pertama, yaitu pengasuhan suami, penjagaannya, dan pendidikannya tidak diberlakukan, karena dalam mayoritas kebiasaan manusia, pengasuhan anak lebih banyak diperankan oleh sang ibu. Hal ini diperkuat dengan ayat فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ  .[6]

C.    Peralihan Mut}laq ke Muqayyad
 Di dalam Alquran terdapat banyak lafaz-lafaz yang mempunyai redaksi mirip yang maksud maknanya sama. Dengan adanya hal ini, timbul sebuah pertanyaan, apabila terdapat suatu ayat dengan lafaz mutlaq dan di ayat lain terdpat ayat dengan lafaz muqayyad yang kedua-duanya mempunyai redaksi yang mirip, apakah lafaz mutlaq beralih maknanya kepada muqayyad? Atau lafaz mutlaq tersebut berlaku atau beramal sesuai dengan kemutlakannya? Dan atau lafaz muqayyad beramal sebagaimana pembatasannya di dalam ayat tersebut.
Keadaan ini menimbulkan empat kemungkinan, yaitu sebagai berikut
1.      Apabila hukum dan objek pembahasannya mempunyai makna yang sama, ahli Fikih menyepakati bahwa mutlaq berubah menjadi muqayyad, seperti  contoh firman Allah SWT surah al-Maidah ayat 3,
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …“
Lafaz al-damu merupakan bentuk mutlaq, tetapi berubh menjadi muqayyad dengan adanya firman Allah SWT suran al-An’am ayat 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi …”
Sebab dalam dua ayat tersebut adalah satu, yaitu bahaya darah dan hukumnya pun juga satu, yaitu diharamkannya mengonsumsi darah.[7]
Oleh karena itu, lafaz mutlaq pada ayat tersebut berubah status menjadi muqayyad dengan kesimpulan bahwa yang diharamkan adalah darah yang mengalir bukan yang lainnya.
2.      Apabila hukum dan sabab di dalam lafaz mutlaq berbeda dengan hukum dan sabab di dalam lafaz muqayyad, menurut imam Hanafiy dan para pengikutnya, lafaz mutlaq tidak bisa berubah status menjadi muqayyad.[8] Mutlaq beramal dengan kemutlakannya dan muqayyad beramal dengan kemuqayyadannya pada tempatnya masing-masing. Contohnya adalah firman Allah SWT surah al-Maidah ayat 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
dan surah al-Maidah ayat 6
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafaz aidiyahuma> pada ayat yang pertama merupakan lafaz mut}laq dan lafaz aidiykum merupakan lafaz muqayyad. Sebab dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu pencurian dan akan bersholat setelah berhadas. Hukumnya pun juga berbeda. Hukum pada ayat pertama adalah memotong tangan orang yang mencuri dan pada ayat yang kedua adalah membasuh tangan.[9] Oleh karena itu, mutlaq pada keadaan ini tidak bisa berubah status menjadi muqayyad karena tidak ada korelasi sama sama di dalam kedua ayat itu.
3.      Apabila hukum berbeda tetapi sebabnya sama, maka mutlaq tetap berstatus menjadi mutlaq dan kedua-duanya diberlakukan pada tempatnya masing-masing.[10] Contohnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 6,
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, …”
dan surah al-Maidah ayat 6 pula
öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4
Artinya: “…lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”
Sebab dari dua ayat tersebut adalah satu, yaitu berhadas ketika akan melaksanakan shalat. Hukum dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu membasuh tangan dalam wudhu dan mengusap tangan dalam tayammum. Mutlaq dalam keadaan ini tidak bisa berubah status menjadi muqayyad. Akan tetapi, kedua-duanya diberamalkan pada tempatnya masing-masing.[11]
4.      Apabila hukum dalam mutlaq dan muqayyad satu dan sebab hukumnya berbeda, ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah dan Ja’fariyyah, mutlaq tidak berubah status menjadi muqayyad dan mutlaq beramaldengan kemutlakannya dan muqayyad beramal dengan kemuqayyadannya pada tempatnya masing-masing.[12] Ulama Hanafiyyah beralasan bahwa perbedaan sebab merupakan faktor kemutlakan atau kemuqayyadan. Sedangkan ulama Shafi’iyyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa mutlaq berubah status menjadi muqayyad dengan alasan bahwa selama hukum itu satu beserta dengan adanya lafaz yang mutlaq  di satu sisi dan adanya lafaz yang muqayyad di sisi lain, maka mulaq seharusnya berubah menjadi muqayyad karena menolak pertentangan antara dalil dan menguatkan keselarasan antara beberapa nash.[13]










[1]Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 206. Muhammad Sulaiman al-Ashqar, senada dengan Abdul Wahbah al-Zuhailiy, mendefinisikan mutlaq dengan “sesuatu yang menunjukkan kepada makna menyeluruh yang tidak dibatasi keumumannya dengan suatu lafaz. Lihat Muhammad Sulaiman al-Ashqar, Al-Wa>dhih fi> Ushu>l al-Fiqh li al-mubtadii>n, (Kuwait: al-Da>r al-Salafiyyah, 1983), 161.
[2]Ibid, 206.
[3]Ibid., 206.
[4]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, (Bairut: Maktabah al-Bathair, 1976), 285.
[5]Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 207.
[6]Ibid., 207.
[7]Muhammad Abu Zahrah, Ushu>l al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 171.
[8]Ibid., 171.
[9]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 287.
[10]Ibid., 287.
[11]Ibid., 287.
[12]Ibid., 287. Prof. Dr. Abdul Wahbah al-Zuhailiy menjelaskan bahwa yang berpendapat tidak berubahnya status mutlaq kepada muqayyad dalam keadaan ini adalah ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Lihat Abdul Wahbah al-Zauhailiy, Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 209.
[13]Abdul Karim Zaidan,  Al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh, 288.
 

BAB III

PENUTUP

A.      Simpulan
Dari penjelasan yang singkat dan padat di makalah ini, bisa diambil beberapa benang merah sebagai berikut,
1.      Mut}laq adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan dan tidak dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat. Muqayyad adalah lafaz khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan yang dibatasi dengan suatu sifat dari beberapa sifat.
2.      Hukum yang berlaku di dalam lafaz mut.laq adalah hukum kemutlakannya selama masih tidak terdapat dalil atau qarinah yang menunjukkan kemuqayyadannya. Hukum yang berlaku di dalam lafaz muqayyad adalah tetapnya mengamalkan atas kemuqayyadannya selama tidak ada dalil yang membatalkan batasannya.
3.      Apabila Hukum dan sebab di dalam mutlaq dan muqayyad satu, maka mutlaq berubah status menjadi muqayyad. Apabila sebab dan hukum berbeda dalam keduanya, maka mutlaq tidak berubah status menjadi muqayyad. Apabila sebabnya satu dan hukumnya berbeda dalam keduanya, maka mutlaq tidak berubah status menjadi muqayyad dan kedua-duanya diberamalkan. Apabila hukumnya satu dan sebabnya berbeda, ulama berbeda pendapat.
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan para membaca memahami pengertian mutlaq dan muqayyad dan mengerti bagaimana hukum dan status perubahan mutlak dan muqayyad.
 

 
DAFTAR PUSTAKA


Al-Ashqar, Muhammad Sulaiman. Al-Wa>dhih fi> Ushu>l al-Fiqh li al-Mubtadii>n. Kuwait: al-Da>r al-Salafiyyah. 1983.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Bairut: Dar al-Fikr al-Arabiy. 1958.
Al-Zuhailiy, Abdul Wahbah. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr: 1999.
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Bairut: Maktabah al-Bathair. 1976.

Comments

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB