TAFSIR MUQORON AL-BAHR AL-MUHIT DENGAN MAFATIH AL-GHAIB
KOMPARASI TAFSIR AL-BAH{R AL-MUH{I<T}
KARYA ABU HAYYAN AL-ANDALUSY DENGAN
TAFSIR MAFA<TIH AL-GHAIB KARYA FAKHRUDIN AL-RAZI
Makalah:
Disusun
untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsir Muqaran II
Oleh:
BADI’ATUL HIKMAH NIM: E73214049
FARAH NADHIFA
K. NIM: E93214089
MUHAMMAD HUSNAN
NIM: E03214012
ILHAM NIM
Dosen Pengampu:
MOHAMAD ANAS,
ST., M.Th.I
PRODI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap
mufassir memiliki karasteristik tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al
Qur'an, karasteristik ini juga nampak jelas ketika dicoba memilah-milah
fase-fase dan kurun waktu antara para mufassir karena mereka dalam menafsirkan
al-Qur'an tidak terlepas dari kondisi permasalahan yang mereka hadapi.
Tafsir
pada abad-abad pertama kemunculan Islam berbeda dengan gaya penafsiran mufassir
yang hidup pada masa modern. Juga dapat dilihat perbedaan tersebut ketika
ditelusuri kota tempat tinggal mufassir tersebut sehingga penafsiran yang dihasilkan
oleh ulama-ulama yang hidup di Bagdad berbeda coraknya dengan penafsiran yang
dilakukan oleh ulama yang hidup di Mesir.
Namun,
dalam menentukan arah yang dilalui oleh seorang mufassir dalam memberikan
interpretasi masing-masing memiliki metodologi yang mereka konsisten
terhadapnya. Tanpa metodologi tersebut niscaya akan menimbulkan kerancuan sikap
serta cara dalam menafsirkan al Qur'an.
Dalam
makalah ini penulis berusaha mengoamparasikan antara kitab tafsirnya Abu H{ayya>n
al-Andalusi dalam menulis tafsirnya al-Bah}r Muh}i>t dengan Fakhrudin
al-Razi dalam tafsirnya mafa>tih} al-Ghaib.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
riwayat hidup Abu H{ayya>n al-Andalusi dengan Fakhrudin al-Razi?
2.
Bagaimana
metodologi tafsir Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi?
3.
Bagaimana
komparasi antara tafsirnya Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan
riwayat hidup Abu Hayyan al-Andalusi dengan Fakhrudin al-Razi.
2.
Menjelaskan
metodologi tafsir Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi.
3.
Menjelaskan
komparasi antara tafsirnya Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi.
BAB II
KAJIAN TOKOH ABU H{AYYA<N AL-ANDALUSI<
(TAFSIR AL-BAH{R AL-MUHI<T) DAN FAKHRUDDIN
AL-RAZI<
(MAFA<TI<H AL-G{AIB)
A. Kajian Tokoh Abu> H{ayya>n al-Andalusi>
1.
Biografi
Nama lengkap Abu> H{ayya>n yaitu Athi>r
al-Di>n Abu> ‘Abdillah Muh}ammad bin Yu>suf bin ‘Ali> bin Yu>suf
bin H{ayya>n al-Andalusi al-Gharnati> al-J{ayyani, yang lebih dikenal
dengan Abu H{ayya>n. [1] Beliau dilahirkan
di Andalusia pada tahun 654 H dan menuntut ilmu di sana sampai ia berpindah ke
Iskandariyah Mesir dan belajar Qiraat dari ulama yang bermukim di sana.[2]
Beliau seorang yang
terkenal sebagai ahli dalam Bahasa Arab, banyak menyusun syair-syair yang
mencerminkan akan kedalaman ilmunya dalam ilmu Nahwu dan sharaf. Dalam hal
qiraat beliau belajar dari ‘Ali> ‘Abd al-Na>s}ir bin ‘Ali al-Maryuti yang
bermukim di Iskandariyah dan ‘Ali Abi T{ahir Isma>’il bin ‘Abdillah
al-Muliji yang tinggal di Mesir.[3]
Abu H{ayya>n adalah seorang
ulama yang memiliki wawasan yang sangat luas bukan hanya di bidang tafsir
tetapi pengetahuan mereka mencakup cabang-cabang ilmu pengetahuan yang ada.
Karena Abu> H{ayya>n adalah seorang pengembara ilmu pengetahuan, ia
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kota ke kota yang
lain untuk belajar pada ulama-ulama yang terkenal. Kemampuan wawasan Abu> H{ayya>n
dapat dilihat dari beragam gurunya, Abu> H{ayya>n belajar dan mengembara di
Andalusia, Afrika, Iskandariyah, Mesir dan Hijaz dari kurang lebih 450 orang
syekh yang menjadi gurunya. Diantara guru-guru Abu Hayyan adalah:
a.
Ahmad bin Ibrahim bin
Zubair bin Hasan bin al Husain al-Tsaqafiy al-ashimiy. Beliau seorang yang ahli
dalam bidang hadis, nahwu, ushul, adab dan fasih dalam membaca al quran. Abu
Hayyan banyak mengutip pendapat Ahmad bin Ibrahim dalam tafsirnya al Bahru al
Muhith.
b.
al Husain bin Abd Aziz bin
Muhammad bin Abd Aziz bin Muhammad al Imam Abu Ali bin Abi al Ahwaz al qarsyi.
Beliau seorang yang faqih, ahli hadis, ahli nahwi dan banyak menyusun buku yang
berkaitan dengan qiraat.
c.
Ali bin Muhammad bin Abd
Rahim al Khasyniy, al Absyiy Abu al-Hasan.
d.
Muhammad bin Ali bin Yusuf
al Allamah RadiyuddinAbu Abdillah al Anshariy al Syatibiy.
e.
Muhammad bin Ibrahim bin
Muhammad bin Abi Nasr.[4]
Dan masih banyak gurunya
yang lain yang tidak sempat disebutkan satu persatu dalam makalah ini. Akan
tetapi dari lima gurunya yang tersebut di atas maka pantaslah apabila Abu
Hayyan banyak menguasai berbagai disiplin ilmu.
2.
Karya-Karya
Kealiman dan keluasan ilmu Abu Hayyan dapat dilihat dari karya tulisnya.
Selain ia punya karya tafsir, ia juga mengarang beberapa kitab. Di antara
kitab-kitabnya berikut ini penulis akan sebutkan beberapa di antaranya:
1.
Al-Bah}r al-Muhi>t}.
2.
Al-Nahr al-Ma>d min al-Bah}r al-Muhi>t} (merupakan ringkasan dari
tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t}).
3.
Ittih}a>f al-Ari>b bi Ma> fi> al-Qur’a>n min
al-Ghari>b.
4.
Al-Tadhyi>l wa al-Takmi>l fi> Sharh} al-Tashi>l.
5.
Ghari>b al-Qur’a>n fi> Majlid Wa>h}id.
6.
Manz}u>mah ‘ala> Wazni al-Sha>t}ibiyyah fi>
al-Qira>’a>t.
7.
Lughgha>t al-Qur’a>n; Taqdi>m wa Tah}qi>q Sami>r
Majdhu>b.[5]
3.
Karakteristik Tafsir al-Bah}r
al-Muhi>t}
Kitab tafsir yang
terkenal dengan tinjauan bahasanya ini memiliki beberapa keunikan. Sehingga
membedakannya dengan karya tafsir yang lain.
a. Tafsir
ini banyak menyebutkan aspek-aspek i’rab, masalah-masalah Nahwu dan
Tas}ri>f, perbedaan antara para ahli nahwu yang dianalisis dan ada juga yang
dibantah oleh Abu Hayyan. Karena banyaknya pembahasan nahwu di dalamnya, kitab
tafsir ini dianggap lebih cocok disebut salah satu kitab nahwu dibandingkan
sebagai kitab tafsir.[6]
b. Abu
Hayyan banyak menukil atau memasukkan pendapat-pendapat mufassir yang lain
dalam tafsirnya. Seperti al-Zamakhshari muallif tafsir al-Kashsha>f,
Ibnu ‘At}iyyah muallif tafsir al-Muh}rir al-Waji>z, kemudian
Makki> ibn Abu> T{a>lib muallif kitab al-Hida>yah ila>
bulu>gh al-Niha>yah yang secara khusus membahas persoalan-persoalan
nahwu dan aspek-aspek i’rab.[7]
c. Tafsir
ini juga bersikap keras terhadap kisah-kisah Isra’iliyya>t yang berisi
kebatilan dan bertentangan dengan akal sehat.[8] Sebagaimana perkataan
Abu Hayyan dalam muqaddimah tafsirnya:
Sesungguhnya cerita-cerita yang tidak sesuai, dan
kisah-kisah Isra’iliyyah itu tidak seharusnya disebutkan dalam ilmu tafsir.[9]
4.
Metode Penafsiran
Dari kitab tafsirnya
al-Bah}r al-Muhi>t}, terlihat bahwasanya Abu Hayyan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an menggunakan metode Tah}lili. Yakni suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.
Penafsir mengikuti runtutan mus}h}af (tartib mus}h}afi), penafsir juga memulai
uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai
arti global ayat, munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan
maksud ayat satu sama lain, mengenai sabab al-nuzul dan dalil-dalil yang
berasal dari Rasul, sahabat, tabi’in.[10]
5.
Kecenderungan dan Corak
Penafsiran
Abu Hayyan dan kitab
tafsirnya menempuh metode yang sama dengan para pendahulunya dari Andalusia
yang tetap berpegang pada tafsir bi al-ma’thu>r bersamaan dengan tafsir bi
al-ra’yi, namun penafsiran secara al-ra’yi lebih dominan daripada penafsiran
secara al-ma’thu>r.
Adapun yang dimaksud
dengan tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama
setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui tentang bahasa Arab, sabab
al-nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya
seorang penafsir.[11]
Hal ini dapat dilihat
dari segi sumber rujukannya, yang mana ia lebih banyak menggunakan al-ra’yi,
khususnya ijtihadnya yang berkaitan dengan masalah bahasa, sastra, nahwu,
i’rab, balaghah, qira’at.
6. Kelebihan dari tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t}
a. Lebih
jelas dan perinci dalam menafsirkan suatu ayat-ayat al-Qur’an.
b. Segi
kebahsaan yang terdapat dalam tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t} sangat detail.
c. Kitab
tafsir ini juga menjadi rujukan pertama ketika ingin mendalami ilmu nahwu.
d. Walaupun
kitab tafsir ini unggul dengan ilmu nahwunya, tetapi juga membahas mengenai
balaghah, fiqih, ilmu qira’at.
e. Tergolong
kitab tafsir yang sangat panjang pembahsannya, sehingga banyak para pengkaji
belum mampu menyelesaikannya.
f.
Tidak memuat kisah-kisah
Israiliyyat.
B.
Kajian Tokoh Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
1. Biografi Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
Nama lengkap Fakhr al-Di>n al-Razi adalah Abu>
‘Abdullah Muh}ammad bin ‘Umar bin H}usein bin Hasan bin ‘Ali al-Tamymi>
al-Bakri>al-T{abarasta>ni> al-Ra>zi>, gelarnya
adalah Fakhr
al-Di>n dan terkenal dengan Ibn al-Khat}i>b al-sha>fi’i.[12] Ayahnya
seorang ulama besar di kotanya, ia bernama D{iya>’
al-Di>n yang
terkenal dengan nama al-Khat}i>b al-Ray, dan merupakan keturunan Khali>fah Abu> Bakar al-S{iddi>q.[13]
Beliau
lahir di kota Ray, Iran pada 25 Ramadhan
tahun 544 H bertepatan dengan 1150 M.[14]
di Ray (sebuah kota besar diwilayah irak yang kini telah hancur dan dapat dilihat bekas-bekasnya dikota
Taheran, Iran). Ray adalah kota yang banyak melahirkan para ulama yang biasanya
diberi julukan al-Ra>zi> setelah nama belakang sebagaimana
lazimnya pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang diberi gelar al-Ra>zi> adalah Abu> Bakr bin Muh}ammad bin
Zakariya, seorang
filsof dan dokter kenamaan abad X M./IV H.[15]
Beberapa
sumber lain mengatakan bahwa al-Ra>zi> dilahirkan pada tahun 543 H./1149 M.[16]
Diantara kedua versi yang paling kuat
adalah al-Ra>zi>
dilahirkan pada tahun 543 H. akan
tetapi pendapat ini lemah jika dibandingkan dengan tulisan al-Ra>zi> sendiri
pada tafsir surat Yusuf, bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan diakhir
surat ia menyebutkan bahwa tafsirnya selesai pada bulan sha’ban tahun 601 H.
jika dikurangi dengan usia saat beliau 57, maka kelahiran al-Ra>zi> adalah
tahun 544 H./1150 M.
Al-Ra>zi
menikah di Ray dengan salah satu anak
seseorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah. Sejak pernikahannya
terjadi, al-Ra>zi
menjadi orang yang berkecukupan dalam
hal ekonomi. Dari pernikahannya ini al-Ra>zi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua
anak perempuan. Ketiga anak laki-lakinya bernama Dhiya’ al-Di>n, Shams al-Di>n dan
Muh}ammad meninggal pada saat al-Ra>zi masih
hidup dan membuatnya sangat bersedih. Bahkan al-Ra>zi> mengungkapka
kesedihannya dengan menyebut nama Muh}ammad berkali-kali dalam tafsir surat
Yunus, Hud, al-Ra’d, dan Ibrahim.[17]
Salah
satu anak perempuan al-Ra>zi> dinikahkan dengan Ala’ al-Mulk, seorang
wazi>r (menteri)
sultan Khawarazmshah Jalal al-Di>n Taksh bin Muah}ammad bin Taksh yang terkenal dengan julukan Minkabari>. Sedangkan anak perempuan lainya hanya
disebut dalam riwayat pada saat pasukan mongol menyerang kediaman al-Ra>zi>. ‘Ala’
al-Mulk meminta suatu permohonan kepada pasukan mongol yang dipimpin oleh
Jengis Khan dan kemudian dikabulkan. Dan ketika permohonan tersebut dibacakan,
anak perempuan terakhir ini termasuk didalamnya.[18]
Al-Ra>zi> meninggal di Herat pada hari senin
tanggal 1 shawal 606 H./1209 M. bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.
Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok al-Kara>miyah tentang
urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhruddin al-Razi,
kemudian dengan kelicikan dan tipu
muslihat, mereka meracuni al-Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap
pada Rabb-Nya.
Al-Ra>zi> dimakamkan di gunung mus}a>qi>b desa Muzdakha>n tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal al-Ra>zi>
meninggalkan wasiat yang dicatat oleh
muridnya Ibra>hi>m
al-Asfaha>ni>. Wasiatnya
berisi tentang pengakuannya bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang
ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana yang tidak. Dalam
wasiatnya, al-Ra>zi> juga menyatakan ketidak puasannya
terhadap filsafat dan ilmu kalam (teologi), ia lebih menyukai metode al-Quran
dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihai untuk tidak melakukan
perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang tak terpecahkan.
Imam Fakhruddin al-Razi tidak ada yang
menyamai keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia
ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin
ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri,
untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Ia juga seorang ahli bahasa
asing, maka tidak heran jika para ilmuan dari luar banyak yang datang untuk
berguru dengannya karena bahasanya yang fasih dalam menerangkan beberapa
disiplin ilmu baik bahasa Arab maupun bahasa non Arab.
Al-Razi dalam menguasai beberapa
disiplin ilmu pengetahuan pertama kali belajar pada ayahnya D{iya>’ al-Di>n yang terkenal dengan nama al-Khat}i>b al-Ray sampai
menjelang meninggalnya sang ayah. D{iya>’ al-Di>n merupakan seorang ulama’ besar di Ray,
khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Setelah ayahnya meninggal pada
tahun 559 H. saat al-Ra>zi> berusia 15 tahun, ia
memulai pengembaraannya menimba ilmu.
Perjalanan pertamanya menuju Simnan.
Disana beliau belajar fiqih dengan ahli fiqih dan teolog bernama al-Kama>l al-Simna>ni>. Setelah
beberapa saat al-Ra>zi>
kembali ke Ray dan belajar kepada Majd al-Di>n al-Jali>li yang
merupakan murid Imam Al-Ghazali>, al-Ra>zi> belajar
teolog dan filsafat. Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, al-Ra>zi> melanjutkan
perjalanan ke Khawarizm. Akan tetapi, di Khawarizm banyak berdebat dengan kaum
Mu’tazilah dan akhirnya ia kembali ke Ray.
Selain itu, al-Ra>zi> banyak
belajar ilmu kepada ulama-ulama besar pada masanya, diantaranya adalah Abi> Muh}ammad al-Baghawi>,
kepada al-Baghawi al-Ra>zi> belajar ilmu kalam dan tasawuf dalam
kitab al-Majjad
al-Jali>li>,., kepada Yah}ya> al-Suhra>wardi ia
belajar filsafat dan ushul fiqh. Ia juga belajar ilmu ushul fiqh dari
karangannya al-Ghazali dalam kitab al-Must}afa dan kitab al-Mu’tamad karya Abi al-H{usain
al-Bis}ri>, sehingga tidaklah diragukan ia menjadi
seorang yang ahli dalam masalah Ushul.[19]
Di
antara gurunya yang mengajarkan ilmu fikih kepadanya adalah ayahnya sendiri,
dimana ayahnya juga belajar kepada Abi>
Muh}ammad al-Husain Ibn Mas’ud al-Fara>q al-Baghawi> yang jika ditelusuri kepada guru-guru
yang lain sampai kepada Imam Shafi’i>. al-Ra>zi> juga belajar teologi (ilmu kalam)
kepada ayanha yang menganut paham Ash’ariyyah yang jika ditelusuri para
guru-gurunya sampai kepada Ima>m Abu> al-H{asan
al-Ash’ar>. Hal ini memberikan kejelasan bahwa al-Razi adalah salah satu mufasir yang
bermadzhab Shafi’i>. dalam masalah fikih dan
penganut madzhab Ash’ariyyah dalam masalah kalam.
FAKHR AL-DIN AL-RAZI
|
Bidang Keilmuan
|
Nama Guru
|
Fikih dan Ushul
|
Diya’ al-Din
|
|
Al-Kamal
Al-Simnani
|
||
Yahya
al-Suhrawardi
|
||
Teolog dan Filsafat
|
Majd al-Din
al-Jalili
|
|
Ilmu Kalam dan Tasawwuf
|
Abu Muhammad
al-Baghawi
|
2. Karya-karya
Dalam dunia islam al-Ra>zi>
merupakan salah satu penulis produktif
dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari bererbagai cabang keilmuan mulai dari
tafsir, teologi filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah,
astrologi fisiognomi (firasat) dan masih banyak lagi. Konon karangan al-Ra>zi> lebih
dari 200 buah karangan, baik beberupa risalah, syarah, maupun kitab yang
berjilid-jilid. Al-Baghda>di> mengklasifikasikan karangan al-Ra>zi> menjadi
sepuluh, dengan rincian sebagai berikut:[20]
a.
Dalam bidang studi al-Quran
1.
Al-tafsir al-kabi>r
(Mafa>ti>h} al-Ghayb) adalah kitab yang dibahas di dalam
makalah ini.
2.
Asra>r al-Tanzi>l wa Asra>r
al-Tafsi>r (Tafsi>r al-Qur’an al-S{aghi>r)
3.
Tasir Surat al-Fa>tih}ah,
4.
Tafsir surat al-Baqarah
5.
Tafsir surat al-Ih}las, dan
6.
Risa>lah fi> Tanbi>h ‘ala>
Ba’d al-Asra>r al-Mudi’ah fi> Ba’d A<yat al-Qur’an al-Kari>m.
b.
Dalam bidang Ilmu Kalam (teolog)
1.
Al-Arba’i>n fi> Us}u>l
al-Di>n
2.
Asa>s al-Taqdi>s
3.
Tahsi>l al-H{aqq
4.
Al-Qad{a> wa al-Qada>r
5.
Sharh} al-Asma> Alla>h al-H{usna
6.
‘Ismah al-Anbiya>’
7.
Al-Mahs}u>l (fi> ‘Ilm Kalam)
8.
Al-Ma’a>li>m fi> Us}u>l
al-Di>n
9.
Niha>yah al-’Uqu>l fi>
Dira>yah al-Us}u>l
10. Ajwiba>t
al-Masa>’il al-Najja>riyyah
c.
Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat, dan
Etika.
1.
Al-A>yat al-Bayyina>t fi>
al-Manti>q,
2.
Al-Manti>q al-Kabi>r
3.
Ta’ji>z al-Falsifah
4.
Sharh} al-Isha>rah wa al-Tanbihat
(li> Ibn Sina>)
5.
Sharh} ‘Uyu>n al-H{ikmah (li> Ibn
Sina>)
6.
Al-Maba>h}ith fi> al-Mashriqiyyah
7.
Muhassah Afka>r al-Mutaqadimi>n
wa al-Muta’akhiri>n min ‘Ulama> wa al-H{ukama>’ wa al-Mutakalimi>n.
8.
Al-Mat}ali>b al-‘A<liyyah
9.
Al-Akhla>q
d.
Dalam permasalahan Hukum
1.
Ibt}a>l al-Qiya>s
2.
Ih}kam al-Ah}ka>m
3.
Al-Ma’a>lim fi> Us}u>l Fiqh
4.
Muntakha>b al-Mah}su>l fi>
Us}u>l Fiqh
5.
Al-Barahi>m wa al-Bara>hiyah
6.
Niha>yah al-Bahaiyyah fi>
al-Maba>h}ith al-Qiya>siyyah.
e.
Dalam Ilmu Bahasa
1.
Sharh} Nahj al-Bala>ghah
2.
Al-Muh}arrir fi> H{aqa>’iq (atau
Daqa>’iq) al-Nahw
f.
Dalam bidang Sejarah
1.
Fad}a>’il al-S}ah}a>bah
al-Rashidi>n
2.
Manaqib Ima>m al-shafi’i>
g.
Dalam bidang Matematika dan Astronomi
1.
Al-H{andasah
2.
Al-Risa>lah fi> ‘Ilm H{ay’ar
h.
Dalam bidang kedokteran
1.
Al-T{i>b al-Kaba>’ir
2.
Al-Ashri>bah
3.
Al-Tashyi>r
4.
Sharh} al-Qanu>n li> Ibn Sina>
5.
Masa>’il fi> al-T{i>b
i.
Dalam bidang Perbintangan dan Astrologi
1.
Al-Ah}kam al-‘Ala’iyyah fi>
A’la>n al-Samawiyyah
2.
Kitab fi> Raml
3. Latar
belakang Kepenulisan
Fakhruddin
al-Razi secara eksplisit tidak menjelaskan latar belakang dia menulis kitab
ini. Dia juga tidak mencantumkan penjelasan ini di dalam muqaddimat. Bahkan
Abu Hayyan berkomentar bahwa tafsirnya al-Razi ini mengandung semua hal kecuali
tafsir itu sendiri,[21]
karena dia tidak mempunyai kebutuhan tertentu di dalam menafsirkan al-Qur’an.
Akan tetapi, latar belakang dia menulis bisa diketahui secara implicit sebagai
berikut[22],
a.
Memprotek al-Qur’an al-Karim,
mengabsahkan segala hal yang terdapat di dalam yang dibangun atas asas-asas
akal, menguatkan pendalilan di dalam meyakininya, dan menjawab
argumentasi-argumentas orang yang melampaui batas dan menolak mereka, sehingga
satu orang pun tidak meragukan orisinalitasnya bahwa ia berasal dari Allah SWT.
b.
Al-Razi meyakini bahwa Allah SWT
mempunyai dua eksistensi, satu eksistensi yang bisa dilihat, yaitu wujud yang
terdapat di dalamnya berupa pemandangan-pemandangan alam yang beku dan
kehidupan. Eksistensi lainnya adalah eksistensi yang bisa dibaca, yaitu
al-Qur’an al-Karim. Konstruk pemikiran inilah yang dibangun al-Razi di dalam
menafsirkan al-Qur’an, bahwa antara keduanya merupakan dua hal yang saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
c.
Al-Razi memahami dan menyadari bahwa
sisi kebalaghahan dan rasionalitas yang dibangun atas dasar menafsirkan
al-Quran dan menggunakannya untuk mena’wilkan al-Qur’an harus pada koridor
madzhab tertentu. Ketika ditemukan pemikiran yang dibangun atas koridor madzhab
yang lainnya hanyalah monopoli saja. Oleh karena itu, dia mencoba mematahkan
batasan tersebut dan menggiring konstruk pemikiran pembacanya pada koridor
madzhabnya, yaitu Ahl al-Sunnat wa al-Jama’at.
Itulah beberapa
motivasi al-Razi di dalam memproduksi karya tafsir Mafatih al-Ghaib atau
yang sering dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir.
4.
Karakateristik Tafssir
Sudah menjadi sebuah hal yang pasti apabila sebuah
karya seseorang akan mempunyai karakter khas yang dibangun oleh pengarangnya.
Tentunya hal ini akan terjadi apabila karya tersebut merupakan buah asli dari
karya tangannya sendiri. Hasilnya akan berbeda pada kasus karya yang hanya
merupakan jiplakan atau dikenal dengan istilah copy paste. Karakter
kekhasan tidak akan tampak di dalamnya.
Al-Razi pun juga mempunyai karakter di dalam mengarang
tafsirnya ini. Dia mempunyai metode tertentu di dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dia juga mempunyai ciri khas tertentu di dalam menyajikan data-data
penafsirannya. Adapun beberapa karakteristik yang terdapat di dalam
penafsirannya adalah sebagai berikut,
a.
Memisahkan pembahasan munasabat yang terkandung antara satu ayat
dengan ayat yang lainnya dan satu surat dengan surat yang lainnya.
Pembahasannya pula tidak mencukupkan pada satu korelasi saja, tetapi lebih dari
satu korelasi.[23]
b.
Seringkali mengarahkan pembahasan pada ilmu kesehatan, filsafat, ilmu
alam, dan lain sebagainya.[24]
c.
Menentang pendapat para filsuf dan ahli kalam yang tidak sejalan dengan
akidahnya, yaitu ahl al-sunnat al-nabawiyyat al-ashairat.
d.
Menyebutkan pendapat-pendapat madzhab fiqh ketika menjelaskan tentang
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Selain itu, dia juga “mempromosikan”
madzhab Shafi’iy.
e.
Hampir tidak sama sekali menyebutkan riwayat israiliyyat.
Menyebutkan israiliyyat bukan sebagai konfirmasi atas kebenarannya,
melainkan sebagai ketidaksepakatannya atas riwayat tersebut.[25]
5.
Metode Penafsiran
Metode
menafsirkan al-Quran yang ditawarkan oleh al-Razi adalah dengan memulai
menyebutkan nama surat, kedudukan turunnya, jumlah ayatnya dan
pendapat-pendapat yang berkaitan dengannya. Kemudian dia menyebutkan satu ayat,
dua ayat, atau sekumpulan ayat yang dimulai dengan menjelaskan dengan ringkas
untuk mengungkap hubungan antara ayat satu dengan penjelasan ayat yang telah
lalu. Pengungkapan ini dimaksudkan untuk menunjukkan pembaca kepada satu
kesatuan tema yang terkandung di dalam beberapa ayat. Kemudian dia membeberkan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Sebelum
menjelaskan ayat dengan penafsirannya, atau per kalimatnya, dia menggiring
untuk memaparkan penafsiran secara naqliy, baik berupa Hadis Nabi
Muhammad SAW, perkataan Sahabat, Tabi’in, atau menunjukkan kepada permasalahan nasikh
mansukh, istilah-istilah hadis seperti mutawatir atau ahad. Baru
kemudian dia memaparkanpenafsirannya akan sebuah ayat dan menyebutkan
pembahasan-pembahasan, teori-teori, dan pemikiran-pemikiran.[26]
Dia juga
memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran satu ayat sebagai data
pendukung di dalam penafsirannya. Jika ayat itu mempunyai sebab yang melatar
belakangi turunnya, maka sebab tersebut akan disebutkan olehnya. Begitupun juga
sisi historisnya, bahasanya, dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan penafsirannya
sangat luas sekali.[27]
6.
Corak Penafsiran
Membahas sebuah
Tafsir, maka tidak akan terlepas dari pembahasan tendensi atau kecenderungan.
Setiap tafsir mempunyai kecenderungan pada sebuah keilmuan atau memang tidak
cenderung sama sekali pada sebuah keilmuan. Tidak terkecuali ketika membahas
al-Razi dengan karya tafsirnya ini.
Sebelumnya
sudah disebutkan secara rinci karya-karya yang diproduksi oleh al-Razi. Dia
mempunyai karya di dalam bidang Tafsir. Dia juga mempunyai karya di dalam
bidang ilmu kalam. Dia juga mempunyai karya di dalam bidang hukum, dan lain
sebagainya. Kary-karya tersebut membuktikan bahwa dia tidak hanya ahli pada
suatu keilmuan saja, tetapi dia kompeten di dalam beberapa bidang keilmuan.
Berangkat dari
statemen tersebut dan dari beberapa informasi yang telah didapatkan, maka
al-Razi tidak mempunyai kecenderungan pada satu bidang ilmu tertentu. Artinya,
corak penafsirannya adalah corak umum. Memang terdapat beberapa pengkaji atau
bahkan pengkritik mengklasifikasikan tafsirnya cenderung kepada teologi, karena
dia mengarang kitab untuk meluruskan akidah menuju akidah yang diusung oleh asyari.
Namun, dia juga menyebutkan penafsiran-penafsiran yang sifatnya adalah
berkaitan dengan aspek kebahasaan. Tidak terkecuali pula, di dalam pembahasan
hukum dia menjelaskan perbedaan madzhab sekalipun dia lebih condong kepada
syafi’i.
Oleh karena
itu, tidak bisa disimpulkan secara pasti tendensi yang dibangun oleh al-Razi di
dalam menafsirkan al-Qur’an. Argumentasi sementara yang paling cocok untuk
mendeskripsikan tendensinya adalah bercorak umum.
7.
Kelebihan Tafsir
Tafsir yang lengkap mencakup semua ayat al-Qur’an yang disempurnakan
oleh al-Razi. Kitab ini merupakan kitab tafsir yang paling populer dan paling
banyak pengaruhnya di dalam penafsiran yang berbentuk penafsiran dengan akal,
yaitu al-tafsir bi al-ra’y. Sehingga, tidak ada seorang mufassir setelah
al-Razi menjadikan pegangan dan sumber penafsiran yang urgen, kecuali kepada
tafsir karya al-Razi ini. Di sisi lain, kitab tafsir tersebut adalah kitab
tafsir yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir lainnya, di mana kitab tafsir
tersebut mencakup dan berisi berbagai macam pembahasan dan ilmu pengetahuan
yang berbeda-beda.[28]
Doktor Muh}sin
Abd al-Hami>d berkata
tentang hakikat tafsir dan mufassir,
“Tidak diragukan jika al-Qur’an adalah
kitab petunjuk yang menjelaskan kita akan mutiara ketuhanan. Ia memaparkan
kepada kita akan hakikat alam dan kehidupan yang sempurna. Al-Razi berusaha
menawarkan kepada kita di dalam menafsirkan al-Qur’an kepada makna-maka ini.
Dia menyingkapkan rahasia-rahasia tersebut kepada kita dengan bukti-bukti yang
logis dan dalil-dalil yang rasional dan menyimpulkan penciptaan langit dan bumi
dan apa saja yang terdapat di dalamnya.
Dia di
dalam tafsirnya menggunakan pengetahuan-pengetahuan manusia untuk
merealisasikan tujuannya, yaitu membuktikan kemukjizatan akal dan pengetahuan
bagi al-Qur’an, menampakkan jalan-jalan menyelesaikan pertentangan pemikiran
dan akal, dan membuktikan hakikat-hakikat kutipan dengan sedetail-detailnya
akal.”[29]
C. Analisis
Pemikiran Abu> H{ayya>n Al-Andalusi Dan Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
Dari beberapa ulasan
tentang Abu Hayyan dan Fakhr al-Din al-Razin beserta kedua kitab
tafsirnya masing-masing,
dirasa perlu adanya beberapa bukti riil yang diambil langsung dalam tafsir al-Bah}r
al-Muh}i>t} dan mafa>ti>h} al-ghaib. Oleh karenanya, penyusun akan menjelaskan
beberapa poin penting yang akan menggambarkan isi dari kitab Tafsir tersebut.
Di sini, penulis memasukkan penafsiran Abu Hayyan dari segi corak
kebahasaannya, penafsirannya terhadap ayat-ayat hukum, ragam qira’at.
a. Corak
Bahasa
Tafsir surah al-Fatihah ayat 2:
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.
Penafsiran Abu Hayyan:
Abu Hayyan ketika menafsirkan surah al-Fatihah ayat
2, membagi ayat tersebut pada tiga bagian lafadh, yaitu (al-h}amdu,
lilla>hi, rabb al-‘a>lami>n)
Ia menafsirkan lafadh al-h}amdu dengan
pujian atas segala yang indah berupa nikmat dan selainnya melalui lisan semata.
Lawan kata dari al-h}amdu adalah al-dhammu yang berarti celaan.
Bentuk fi’il (kata kerja) dari al-hamdu sendiri adalah terbentuk dari
lafadh hamida, bukan adopsi dari lafadh madaha. Berbeda dengan
Ibn al-Anbari, yang berpendapat bahwa lafadh hamida dan madaha,
tas}rifnya sama. Menurut Abu Hayyan sendiri, dalam penggunaannya, madaha dapat
dipakai untuk benda mati. Seperti tamdahu jauharah (kamu memuji
permata), tidak bisa dikatakan tahmadu jauharah. al-h}amd searti dengan al-shukr, atau al-h}amd lebih umum maknanya. al-shukr, pujian pada Allah atas
perbuatan-perbuatanNya. Sedangkan al-h}amd pujian padanya atas
sifat-sifatNya. Yang paling benar adalah al-h}amd maknanya lebih umum.
Al-h}a>mid (orang yang memuji), ada dua macam yaitu sebagai sha>kir (yang
mensyukuri), dan sebagai orang yang memuji sifat-sifatnya.
Lafadh lillahi
ia menafsirkan bahwa huruf jarr li menurut ilmu nahwu
mengandung sejumlah arti, yaitu li al-milk wa shibh (kepemilikan dan
yang serupa), li al-istih}qa>q (hak milik), al-nasab, ta’lil,
ta’ajjub, tabyi>n, shahu>ra>t (berubah menjadi), al-z}arfiyah
dalam arti fi> dan ‘inda, li al-intiha>’ (terakhir) dan li al-isti’la>’.
Sedangkan lafadh rabb al-‘alami>n ditafsirkan
bahwa lafadh rabb memiliki arti tuan, raja, yang tetap, yang disembah, yang
memperbaiki dan pemilik.[30]
Dari penafsiran surah al-Fatihah ayat 2 itulah,
maka sangat jelas bahwa Abu Hayyan dalam menafsirkan suatu ayat lebih cenderung
pada corak bahasa (lughawi). Dapat dilihat dari pemaknaan secara
leksikal (balaghah), sintaksis (nahwu), dan morfologinya (ilmu s}orof) dalam
memahami suatu ayat atau lafadh.
Penafsiran Al-Razi
Di dalam menafsirkan kata al-hamd,
al-Razi tidak terlalu jauh berbeda dengan penafsiran Abu Hayyan. Hanya saja,
al-Razi di dalam menafsrirkan kata al-hamd tersebut lebih merinci
perbedaan antara kata al-hamd dengan al-madhu atau al-syukru.
Ia menjelaskan perbedaan antara kata al-hamd dengan al-madh dengan
empat penafsiran, yaitu sebagai berikut,[31]
1.
Al-Madh bisa
diaplikasikan kepada makhluk hidup ataupun tidak, sedangkan al-hamd
hanya berlaku untuk makhluk yang hidup saja.
2.
Al-Madh terkadang
diucapkan sebelum berbuat baik atau sesudahnya, sedangkan al-hamd hanya
diucapkan setelah berbuat baik saja.
3.
Al-Madh terkadang
bisa digunakan di dalam sesuatu yang terlarang, sedangkan al-hamd hanya
bisa digunakan di dalam perkara yang diperintah saja.
4.
Al-Madh adalah
ungkapan tentang perkataan yang tidak khusus untuk satu macam keutamaan saja,
sedangkan al-hamd adalah ungkapan tentang perkataan yang menunjukkan
kepada satu keutamaan khusus.
Dari
empat penafsiran tersebut, maka bisa
diketahui bahwa al-madh sifatnyya lebih umum daripada al-hamd.
Hal ini akan berbeda jika yang dibedakan adalah kata al-hamd dengan al-syukr.
Al-hamd adalah kata yang digunakan untuk nikmat yang sampai kepada diri sendiri
atau kepada orang lain, sedangkan al-syukr adalah kata yan digunakan
untuk nikmat yang sampai kepada diri sendiri saja.[32]
Sehingga, kata al-hamd lebih umum dari kata al-syukr.
Penafsiran tersebut mengindikasikan bahwa
al-Razi tidak mengesampingkan aspek bahasa di dalam menafsirkan al-Qur’an. Ia mengawali
penafsiran dengan menjelaskan makna dari sebuah kata. Akan tetapi, ia juga
tidak berhenti pada aspek bahasa saja. Ia lebih memperinci penafsirannya dengan
tinjauan beberapa aspek sebagai pisau analisa penafsirannya.[33]
b. Penafsiran
terhadap Ayat-Ayat Hukum
Tafsir
tentang rukhs}ah qas}ar salat ketika dalam perjalanan yang terdapat dalam surah
al-Nisa’ ayat 101:
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu.
Penafsiran
Abu Hayyan:
Dalam menafsirkan ayat ini, Abu Hayyan terlebih
dahulu menyebutkan sebab nuzulnya, sebagaimana riwayat berikut ini:
Diriwayatkan dari Mujahid dari Ibn ‘Abbas,
berkata: kami bersama Rasulullah Saw., di ‘Isfan dan Khalid bin Walid bersama
orang-orang musyrik , lalu orang-orang musyrik berkata: sungguh kami adalah
seorang pecundang seandainya kami menyerang mereka dalam keadaan shalat. Lalu
turunlah ayat tentang qas}ar di antara shalat duhur dan ashar.
Maka dalam hal ini, Abu Hayyan dalam menjelaskan
ayat yang fokusnya pada hukum yaitu rukhs}ah qas}ar salat. Ia memasukkan
beberapa pendapat fuqaha>’ sebagaimana dalam tafsirnya berikut ini:
Para fuqaha>’ berbeda pendapat dalam batasan
jarak di mana boleh mengqas}ar salat. Imam Malik, Shafi’i, Ahmad, dan Ishaq
berpendapat: Shalat boleh diqas}ar dalam perjalanan empat barad (yaitu
48 mil/45 km). Abu Hanifah dan al-Thauri> berpendapat: selama perjalanan
tiga hari. Abu Hanifah berkata: tiga hari tiga malam, dengan mengendarai unta
dan berjalan kaki. Al-Auza>’i> berpendapat: selama perjalanan satu hari
penuh, ia juga mendapat informasi dari para ulama’. Hasan dan al-Zuhri
berpendapat: selama perjalanan dua hari. Diriwayatkan dari Malik: satu hari
satu malam, dan Anas meringkas dalam jarak 15 mil (sekitar 14 km).[34]
Maka dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa
dalam urusan fiqih dia tidak terpaku pada satu madzhab tertentu. Akan tetapi
dalam muqaddimahnya dia menyebutkan bahwasanya ketika ia berada di Andalusia ia
bermadhhab Maliki dalam pengistinbatan suatu hukum, karena mayoritas penduduk
pada waktu itu bermadhhab Maliki. Akan tetapi, setelah ia meninggalkan
Andalusia ia bermadhhab al-Zahiri.[35]
Penafsiran Al-Razi
Al-Razi memulai penafsirannya
dengan menjelaskan akar dari kata qasar. Ia mengutip pendapat al-Wahidi
yang menjelaskan bahwa qasar berasal dari kata qas}ara, aqs}ara, atau qas}s}ara. Ketiga akar kata tersebut bisa dijadikan sebagai
bentuk awal dari kata qasar. Ibnu Abbas berbeda dengan al-Wahidiy, yaitu
berpendapat bahwa qasar berasal dari kata aqsara. Adapun
al-Zuhriy memilih kata qasara sebagai dasar dari kata qasar.[36]
Sedangkan di dalam
permasalahan qasar, al-Razi menjelaskan bahwa ada dua pendapat tentang
hal apa yang boleh diqasar. Satu pendapat menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan qasar adalah keringanan tanpa penegasan apakah meringkas
rakaat salat atau meringkas gerakan salatnya. Sedangkan pendapat yang lain
lebih tegas, yaitu keringanan di dalam gerakan salat, seperti melakukan isyarat
sebagai ganti dari ruku’ atau sujud.[37]
Sebagai penganut madzhab
syafi’i, maka tidak menjadi sebuah hal yang mengagetkan, jika al-Razi lebih
memperkuat pendapat madzhabnya ketimbang pendapat madzhab lain. Akan tetapi,
pernyataan tersebut bukan berarti al-Razi hanya mencantumkan pendapat
madzhabnya. Maka ia tidak menutup kemungkinan memaparkan pendapat-pendapat
madzhab lain sebagai bahan perbandingan dan wawasan yang lebih luas.
Di dalam menafsirkan
ayat ini, al-Razi, selain mencantumkan pendapat al-Syafi’i, juga memaparkan
pendapat imam Hanafi, Dawud, al-Dzahiri, dan pendapat mayoritas ulama.
Walaupun, yang paling banyak dikuatkan adalah pendapat madzhabnya sendiri,
seperti perkataan imam al-syafi’i: “Qasar adalah keringanan. Siapa (mukallaf)
yang mau sempurna, maka sempurnakanlah. Jika ia mau, (boleh) mencukupkan dengan
meringkas.”[38] Perkataan imam syafi’I tersebut diperjelas oleh
al-Razi bahwa yang dimaksud dengan qasar di dalam ayat ini bukanlah mengurangi
rakaat, tetapi meringankan gerakan salat.[39]
Maka dalam hal ini, penulis
dapat menganalisa kebahasaan yang dimiliki oleh Abu Hayyan itu sangat mumpuni.
Meskipun ia banyak mengutip dari pendapat al-Zamakhshari, namun ia
mengembangkan kebahasaannya sesuai dengan keahliannya. Tak terkecuali pula dengan al-Razi yang sering
menggunakan aspek kebahasaan di dalam memaknai sebuah kata dan memulai
penafsirannya.
[1]Muh}ammad H{usain
al-Zahabiy, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz I (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995 M), 325.
[2]Hasan Yunus Hasan Ubaid, Dira>sa>t
wa Maba>hith fi> Ta>rikh al-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n,
(Kairo; Markaz al-Kitab wa al-Nashr, TT), 128.
[3]Husain al-Zahabiy, al-Tafsi>r wa
al-Mufassiru>n, Juz I, 325.
[4]Abu Hayyan
al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, juz 1
(Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, TT). 9 dst.
[5]Muh}ammad ‘Ali> Iyya>zi,
al-Mufassiru>n; H{aya>tihim wa Munhajihim, jilid 1, (T{ihra>n: al-Thaqa>fah
wa al-Irshad al-Isla>mi>, TT), 269-270.
[6]M. Rusydi Khalid,
“al-Bah}r al-Muh}i>t}: Tafsir Barcorak Nahwu Karya Abu Hayyan al-Andalusi”, Jurnal
Adabiyah,
Vol. 15,
No. 2/2015,,
180.
[7]‘Ali> Ayya>zi, al-Mufassiru>n;
H{aya>tihim wa Munhajihim, jilid 1, 272.
[9]al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r
al-Muhi>t}, juz 1, 5.
[10]Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1996), 12.
[12]Di Afghanistan dan Iran,
beliau dikenali sebagai Imam Razi. Di Heart beliau dijuluki dengan Shaykh
Al-Islam. Muh}ammad H{usain al-Dzahabi>, Al-Tafsi>r wa
Al-Mufassiru>n, Vol. 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 206.
[13] Fakhr
al-Din al-Razi, Roh itu Misterius, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Kaf,
(Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2001), 17.
[14]Mani’ Abdul Halim
Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (
Jakarta: PT. Raja Grafindo), 320.
[15]Muh}ammad ‘Ali>
Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 351.
[16]Mana’ Khali>l
al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 479.
[17]Ali> Muh}ammad H}asan
‘Amari>, al-Ima>m Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>: H}aya>tuhu wa
Atha>ruhu, (t.tp.: al-Majlis al-A’la li> al-Shu’un al-Islamiyyah,
1969), 24-26.
[19]Muh}ammad Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1990), I:5.
[20]Muh}ammad Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r, I:5.
[27]Musaid Muslim Ali Ja’far dan Muhyi Hilal
al-Sirhan, Mana>hij al-Mufassirin, (tk:
Da>r al-Ma’rifat, 1980), 191.
[30]Abu Hayyan
al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, 30-31.
[31]Muh}ammad Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb,
Vol. 1, 223.
[33]Untuk penafsiran surat al-fatihah ayat 2,
selengkapnya lihat Ibid., 223 dst.
[34]Abu Hayyan
al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, juz 3, 480.
[39]Untuk argumentasi atau dalil-dalil yang
dipaparkan al-Razi di dalam menguatkan pendapat al-Syafi’I bisa selengkapnya
dilihat Ibid., 18 dst.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode
Tafsir Mawdhu’iy. Jakarta: PT Raja Grafindo. 1996.
Al-Ghurna>t}i>, Abu
Hayyan al-Andalusi>. Al-Bah}r al-Muhi>t}. Juz 1. Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>. TT.
Al-Qaththan, Mana’
Khali>l. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. 2008.
Al-Ra>zi, Muh}ammad
Fakhr al-Di>n. Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb. Bairut: Dar
al-Fikr. 1990.
Al-Razi, Fakhr al-Din. Roh
itu Misterius. terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Kaf. Jakarta: Cendikia Centra
Muslim. 2001.
Al-Sirhan, Musaid Muslim
Ali Ja’far, Muhyi Hilal. Mana>hij al-Mufassirin. tk: Da>r al-Ma’rifat.
1980.
Al-Zahabiy, Muh}ammad
H{usain. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Juz I .Kairo: Maktabah Wahbah.
1995.
‘Amari>, Ali>
Muh}ammad H}asan. Al-Ima>m Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>: H}aya>tuhu
wa Atha>ruhu. t.tp.: al-Majlis al-A’la li> al-Shu’un al-Islamiyyah. 1969.
Iyya>zi, Muh}ammad ‘Ali.>
Al-Mufassiru>n; H{aya>tihim wa Manhajuhum. Jilid 1. T{ihra>n: Al-Thaqa>fah
wa al-Irshad al-Isla>mi>. TT.
Khalid, M. Rusydi. “Al-Bah}r
al-Muh}i>t}: Tafsir Barcorak Nahwu Karya Abu Hayyan al-Andalusi”. Jurnal
Adabiyah. Vol. 15. No. 2/2015.
Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Ubaid, Hasan Yunus Hasan. Dira>sa>t wa
Maba>hith fi> Ta>rikh al-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo;
Markaz al-Kitab wa al-Nashr. TT.
Comments
Post a Comment