TAFSIR MUQORON AL-BAHR AL-MUHIT DENGAN MAFATIH AL-GHAIB



 KOMPARASI TAFSIR AL-BAH{R AL-MUH{I<T}
KARYA ABU HAYYAN AL-ANDALUSY DENGAN
TAFSIR MAFA<TIH AL-GHAIB KARYA FAKHRUDIN AL-RAZI

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsir Muqaran II




 






                                                                                                       




Oleh:
BADI’ATUL HIKMAH      NIM: E73214049
FARAH NADHIFA K.        NIM: E93214089
MUHAMMAD HUSNAN  NIM: E03214012
 ILHAM            NIM


Dosen Pengampu:
MOHAMAD ANAS, ST., M.Th.I


PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Setiap mufassir memiliki karasteristik tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur'an, karasteristik ini juga nampak jelas ketika dicoba memilah-milah fase-fase dan kurun waktu antara para mufassir karena mereka dalam menafsirkan al-Qur'an tidak terlepas dari kondisi permasalahan yang mereka hadapi.
Tafsir pada abad-abad pertama kemunculan Islam berbeda dengan gaya penafsiran mufassir yang hidup pada masa modern. Juga dapat dilihat perbedaan tersebut ketika ditelusuri kota tempat tinggal mufassir tersebut sehingga penafsiran yang dihasilkan oleh ulama-ulama yang hidup di Bagdad berbeda coraknya dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama yang hidup di Mesir.
Namun, dalam menentukan arah yang dilalui oleh seorang mufassir dalam memberikan interpretasi masing-masing memiliki metodologi yang mereka konsisten terhadapnya. Tanpa metodologi tersebut niscaya akan menimbulkan kerancuan sikap serta cara dalam menafsirkan al Qur'an.
Dalam makalah ini penulis berusaha mengoamparasikan antara kitab tafsirnya Abu H{ayya>n al-Andalusi dalam menulis tafsirnya al-Bah}r Muh}i>t dengan Fakhrudin al-Razi dalam tafsirnya mafa>tih} al-Ghaib.
B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana riwayat hidup Abu H{ayya>n al-Andalusi dengan Fakhrudin al-Razi?
2.    Bagaimana metodologi tafsir Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi?
3.    Bagaimana komparasi antara tafsirnya Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan riwayat hidup Abu Hayyan al-Andalusi dengan Fakhrudin al-Razi.
2.    Menjelaskan metodologi tafsir Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi.
3.    Menjelaskan komparasi antara tafsirnya Abu H{ayya>n dengan Fakhrudin al-Razi.
 



BAB II
KAJIAN TOKOH ABU H{AYYA<N AL-ANDALUSI<
(TAFSIR AL-BAH{R AL-MUHI<T) DAN FAKHRUDDIN AL-RAZI<
(MAFA<TI<H AL-G{AIB)

A.  Kajian Tokoh Abu> H{ayya>n al-Andalusi>
1.      Biografi
Nama lengkap Abu> H{ayya>n yaitu Athi>r al-Di>n Abu> ‘Abdillah Muh}ammad bin Yu>suf bin ‘Ali> bin Yu>suf bin H{ayya>n al-Andalusi al-Gharnati> al-J{ayyani, yang lebih dikenal dengan Abu H{ayya>n. [1] Beliau dilahirkan di Andalusia pada tahun 654 H dan menuntut ilmu di sana sampai ia berpindah ke Iskandariyah Mesir dan belajar Qiraat dari ulama yang bermukim di sana.[2]
Beliau seorang yang terkenal sebagai ahli dalam Bahasa Arab, banyak menyusun syair-syair yang mencerminkan akan kedalaman ilmunya dalam ilmu Nahwu dan sharaf. Dalam hal qiraat beliau belajar dari ‘Ali> ‘Abd al-Na>s}ir bin ‘Ali al-Maryuti yang bermukim di Iskandariyah dan ‘Ali Abi T{ahir Isma>’il bin ‘Abdillah al-Muliji yang tinggal di Mesir.[3]
Abu H{ayya>n adalah seorang ulama yang memiliki wawasan yang sangat luas bukan hanya di bidang tafsir tetapi pengetahuan mereka mencakup cabang-cabang ilmu pengetahuan yang ada. Karena Abu> H{ayya>n adalah seorang pengembara ilmu pengetahuan, ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kota ke kota yang lain untuk belajar pada ulama-ulama yang terkenal. Kemampuan wawasan Abu> H{ayya>n dapat dilihat dari beragam gurunya, Abu> H{ayya>n belajar dan mengembara di Andalusia, Afrika, Iskandariyah, Mesir dan Hijaz dari kurang lebih 450 orang syekh yang menjadi gurunya. Diantara guru-guru Abu Hayyan adalah:
a.       Ahmad bin Ibrahim bin Zubair bin Hasan bin al Husain al-Tsaqafiy al-ashimiy. Beliau seorang yang ahli dalam bidang hadis, nahwu, ushul, adab dan fasih dalam membaca al quran. Abu Hayyan banyak mengutip pendapat Ahmad bin Ibrahim dalam tafsirnya al Bahru al Muhith.
b.      al Husain bin Abd Aziz bin Muhammad bin Abd Aziz bin Muhammad al Imam Abu Ali bin Abi al Ahwaz al qarsyi. Beliau seorang yang faqih, ahli hadis, ahli nahwi dan banyak menyusun buku yang berkaitan dengan qiraat. 
c.       Ali bin Muhammad bin Abd Rahim al Khasyniy, al Absyiy Abu al-Hasan.
d.      Muhammad bin Ali bin Yusuf al Allamah RadiyuddinAbu Abdillah al Anshariy al Syatibiy.
e.       Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Abi Nasr.[4]
Dan masih banyak gurunya yang lain yang tidak sempat disebutkan satu persatu dalam makalah ini. Akan tetapi dari lima gurunya yang tersebut di atas maka pantaslah apabila Abu Hayyan banyak menguasai berbagai disiplin ilmu.

2.      Karya-Karya
Kealiman dan keluasan ilmu Abu Hayyan dapat dilihat dari karya tulisnya. Selain ia punya karya tafsir, ia juga mengarang beberapa kitab. Di antara kitab-kitabnya berikut ini penulis akan sebutkan beberapa di antaranya:
1.      Al-Bah}r al-Muhi>t}.
2.      Al-Nahr al-Ma>d min al-Bah}r al-Muhi>t} (merupakan ringkasan dari tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t}).
3.      Ittih}a>f al-Ari>b bi Ma> fi> al-Qur’a>n min al-Ghari>b.
4.      Al-Tadhyi>l wa al-Takmi>l fi> Sharh} al-Tashi>l.
5.      Ghari>b al-Qur’a>n fi> Majlid Wa>h}id.
6.      Manz}u>mah ‘ala> Wazni al-Sha>t}ibiyyah fi> al-Qira>’a>t.
7.      Lughgha>t al-Qur’a>n; Taqdi>m wa Tah}qi>q Sami>r Majdhu>b.[5]

3.      Karakteristik Tafsir al-Bah}r al-Muhi>t}
Kitab tafsir yang terkenal dengan tinjauan bahasanya ini memiliki beberapa keunikan. Sehingga membedakannya dengan karya tafsir yang lain.
a.       Tafsir ini banyak menyebutkan aspek-aspek i’rab, masalah-masalah Nahwu dan Tas}ri>f, perbedaan antara para ahli nahwu yang dianalisis dan ada juga yang dibantah oleh Abu Hayyan. Karena banyaknya pembahasan nahwu di dalamnya, kitab tafsir ini dianggap lebih cocok disebut salah satu kitab nahwu dibandingkan sebagai kitab tafsir.[6]
b.      Abu Hayyan banyak menukil atau memasukkan pendapat-pendapat mufassir yang lain dalam tafsirnya. Seperti al-Zamakhshari muallif tafsir al-Kashsha>f, Ibnu ‘At}iyyah muallif tafsir al-Muh}rir al-Waji>z, kemudian Makki> ibn Abu> T{a>lib muallif kitab al-Hida>yah ila> bulu>gh al-Niha>yah yang secara khusus membahas persoalan-persoalan nahwu dan aspek-aspek i’rab.[7]
c.       Tafsir ini juga bersikap keras terhadap kisah-kisah Isra’iliyya>t yang berisi kebatilan dan bertentangan dengan akal sehat.[8] Sebagaimana perkataan Abu Hayyan dalam muqaddimah tafsirnya:
Sesungguhnya cerita-cerita yang tidak sesuai, dan kisah-kisah Isra’iliyyah itu tidak seharusnya disebutkan dalam ilmu tafsir.[9]

4.      Metode Penafsiran
Dari kitab tafsirnya al-Bah}r al-Muhi>t}, terlihat bahwasanya Abu Hayyan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menggunakan metode Tah}lili. Yakni suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsir mengikuti runtutan mus}h}af (tartib mus}h}afi), penafsir juga memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat, munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat satu sama lain, mengenai sabab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, tabi’in.[10]

5.      Kecenderungan dan Corak Penafsiran
Abu Hayyan dan kitab tafsirnya menempuh metode yang sama dengan para pendahulunya dari Andalusia yang tetap berpegang pada tafsir bi al-ma’thu>r bersamaan dengan tafsir bi al-ra’yi, namun penafsiran secara al-ra’yi lebih dominan daripada penafsiran secara al-ma’thu>r.
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui tentang bahasa Arab, sabab al-nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.[11]
Hal ini dapat dilihat dari segi sumber rujukannya, yang mana ia lebih banyak menggunakan al-ra’yi, khususnya ijtihadnya yang berkaitan dengan masalah bahasa, sastra, nahwu, i’rab, balaghah, qira’at.

6.      Kelebihan dari tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t}
a.       Lebih jelas dan perinci dalam menafsirkan suatu ayat-ayat al-Qur’an.
b.      Segi kebahsaan yang terdapat dalam tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t} sangat detail.
c.       Kitab tafsir ini juga menjadi rujukan pertama ketika ingin mendalami ilmu nahwu.
d.      Walaupun kitab tafsir ini unggul dengan ilmu nahwunya, tetapi juga membahas mengenai balaghah, fiqih, ilmu qira’at.
e.       Tergolong kitab tafsir yang sangat panjang pembahsannya, sehingga banyak para pengkaji belum mampu menyelesaikannya.  
f.        Tidak memuat kisah-kisah Israiliyyat.

B.     Kajian Tokoh Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
1.      Biografi Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
Nama lengkap Fakhr al-Di>n al-Razi adalah Abu> ‘Abdullah Muh}ammad bin ‘Umar bin H}usein bin Hasan bin ‘Ali al-Tamymi> al-Bakri>al-T{abarasta>ni> al-Ra>zi>, gelarnya adalah Fakhr al-Di>n dan terkenal dengan Ibn al-Khat}i>b al-sha>fi’i.[12] Ayahnya seorang ulama besar di kotanya, ia bernama D{iya>’ al-Di>n yang terkenal dengan nama al-Khat}i>b al-Ray, dan merupakan keturunan Khali>fah Abu> Bakar al-S{iddi>q.[13]
Beliau lahir  di kota Ray, Iran pada 25 Ramadhan tahun 544 H bertepatan dengan 1150 M.[14] di Ray (sebuah kota besar diwilayah irak yang kini telah hancur  dan dapat dilihat bekas-bekasnya dikota Taheran, Iran). Ray adalah kota yang banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan al-Ra>zi> setelah nama belakang sebagaimana lazimnya pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang diberi gelar al-Ra>zi> adalah Abu> Bakr bin Muh}ammad bin Zakariya, seorang filsof dan dokter kenamaan abad X M./IV H.[15]
Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Ra>zi> dilahirkan pada tahun 543 H./1149 M.[16] Diantara kedua versi yang paling kuat adalah al-Ra>zi> dilahirkan pada tahun 543 H. akan tetapi pendapat ini lemah jika dibandingkan dengan tulisan al-Ra>zi> sendiri pada tafsir surat Yusuf, bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan diakhir surat ia menyebutkan bahwa tafsirnya selesai pada bulan sha’ban tahun 601 H. jika dikurangi dengan usia saat beliau 57, maka kelahiran al-Ra>zi> adalah tahun 544 H./1150 M.
Al-Ra>zi menikah di Ray dengan salah satu anak seseorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah. Sejak pernikahannya terjadi, al-Ra>zi menjadi orang yang berkecukupan dalam hal ekonomi. Dari pernikahannya ini al-Ra>zi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak laki-lakinya bernama Dhiya’ al-Di>n, Shams al-Di>n dan Muh}ammad meninggal pada saat al-Ra>zi masih hidup dan membuatnya sangat bersedih. Bahkan al-Ra>zi> mengungkapka kesedihannya dengan menyebut nama Muh}ammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, al-Ra’d, dan Ibrahim.[17]
Salah satu anak perempuan al-Ra>zi> dinikahkan dengan Ala’ al-Mulk, seorang wazi>r (menteri) sultan Khawarazmshah Jalal al-Di>n Taksh bin Muah}ammad bin Taksh yang terkenal dengan julukan Minkabari>. Sedangkan anak perempuan lainya hanya disebut dalam riwayat pada saat pasukan mongol menyerang kediaman al-Ra>zi>. ‘Ala’ al-Mulk meminta suatu permohonan kepada pasukan mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan dan kemudian dikabulkan. Dan ketika permohonan tersebut dibacakan, anak perempuan terakhir ini termasuk didalamnya.[18]
Al-Ra>zi> meninggal di Herat pada hari senin tanggal 1 shawal 606 H./1209 M. bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok al-Kara>miyah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhruddin al-Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni al-Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabb-Nya.
Al-Ra>zi> dimakamkan di gunung mus}a>qi>b desa Muzdakha>n tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal al-Ra>zi> meninggalkan wasiat yang dicatat oleh muridnya  Ibra>hi>m al-Asfaha>ni>. Wasiatnya berisi tentang pengakuannya bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana yang tidak. Dalam wasiatnya, al-Ra>zi> juga menyatakan ketidak puasannya terhadap filsafat dan ilmu kalam (teologi), ia lebih menyukai metode al-Quran dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihai untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang tak terpecahkan.
Imam Fakhruddin al-Razi tidak ada yang menyamai keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau. Ia juga seorang ahli bahasa asing, maka tidak heran jika para ilmuan dari luar banyak yang datang untuk berguru dengannya karena bahasanya yang fasih dalam menerangkan beberapa disiplin ilmu baik bahasa Arab maupun bahasa non Arab.
Al-Razi dalam menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan pertama kali belajar pada ayahnya  D{iya>’ al-Di>n yang terkenal dengan nama al-Khat}i>b al-Ray sampai menjelang meninggalnya sang ayah. D{iya>’ al-Di>n merupakan seorang ulama’ besar di Ray, khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 559 H. saat al-Ra>zi> berusia 15 tahun, ia memulai pengembaraannya menimba ilmu.
Perjalanan pertamanya menuju Simnan. Disana beliau belajar fiqih dengan ahli fiqih dan teolog bernama al-Kama>l al-Simna>ni>. Setelah beberapa saat al-Ra>zi> kembali ke Ray dan belajar kepada Majd al-Di>n al-Jali>li yang merupakan murid Imam Al-Ghazali>, al-Ra>zi> belajar teolog dan filsafat. Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, al-Ra>zi> melanjutkan perjalanan ke Khawarizm. Akan tetapi, di Khawarizm banyak berdebat dengan kaum Mu’tazilah dan akhirnya ia kembali ke Ray.
Selain itu, al-Ra>zi> banyak belajar ilmu kepada ulama-ulama besar pada masanya, diantaranya adalah Abi> Muh}ammad al-Baghawi>, kepada al-Baghawi al-Ra>zi> belajar ilmu kalam dan tasawuf dalam kitab al-Majjad al-Jali>li>,., kepada Yah}ya> al-Suhra>wardi ia belajar filsafat dan ushul fiqh. Ia juga belajar ilmu ushul fiqh dari karangannya al-Ghazali dalam kitab al-Must}afa dan kitab al-Mu’tamad karya Abi al-H{usain al-Bis}ri>, sehingga tidaklah diragukan ia menjadi seorang yang ahli dalam masalah Ushul.[19]
Di antara gurunya yang mengajarkan ilmu fikih kepadanya adalah ayahnya sendiri, dimana ayahnya juga belajar kepada Abi> Muh}ammad al-Husain Ibn Mas’ud al-Fara>q al-Baghawi> yang jika ditelusuri kepada guru-guru yang lain sampai kepada Imam Shafi’i>.  al-Ra>zi> juga belajar teologi (ilmu kalam) kepada ayanha yang menganut paham Ash’ariyyah yang jika ditelusuri para guru-gurunya sampai kepada Ima>m Abu> al-H{asan al-Ash’ar>. Hal ini memberikan kejelasan bahwa al-Razi adalah salah satu mufasir yang bermadzhab Shafi’i>. dalam masalah fikih dan penganut madzhab Ash’ariyyah dalam masalah kalam.
FAKHR AL-DIN AL-RAZI
Bidang Keilmuan
Nama Guru
Fikih dan Ushul
Diya’ al-Din
Al-Kamal Al-Simnani
Yahya al-Suhrawardi
Teolog dan Filsafat
Majd al-Din al-Jalili
Ilmu Kalam dan Tasawwuf
Abu Muhammad al-Baghawi


2.      Karya-karya
Dalam dunia islam al-Ra>zi> merupakan salah satu penulis produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari bererbagai cabang keilmuan mulai dari tafsir, teologi filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah, astrologi fisiognomi (firasat) dan masih banyak lagi. Konon karangan al-Ra>zi> lebih dari 200 buah karangan, baik beberupa risalah, syarah, maupun kitab yang berjilid-jilid. Al-Baghda>di> mengklasifikasikan karangan al-Ra>zi> menjadi sepuluh, dengan rincian sebagai berikut:[20]
a.        Dalam bidang studi al-Quran
1.      Al-tafsir al-kabi>r (Mafa>ti>h} al-Ghayb) adalah kitab yang dibahas di dalam makalah ini.
2.      Asra>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Tafsi>r (Tafsi>r al-Qur’an al-S{aghi>r)
3.      Tasir Surat al-Fa>tih}ah,
4.      Tafsir surat al-Baqarah
5.      Tafsir surat al-Ih}las, dan
6.      Risa>lah fi> Tanbi>h ‘ala> Ba’d al-Asra>r al-Mudi’ah fi> Ba’d A<yat al-Qur’an al-Kari>m.
b.        Dalam bidang Ilmu Kalam (teolog)
1.      Al-Arba’i>n fi> Us}u>l al-Di>n
2.      Asa>s al-Taqdi>s
3.      Tahsi>l al-H{aqq
4.      Al-Qad{a> wa al-Qada>r
5.      Sharh} al-Asma> Alla>h al-H{usna
6.       ‘Ismah al-Anbiya>’
7.      Al-Mahs}u>l (fi> ‘Ilm Kalam)
8.      Al-Ma’a>li>m fi> Us}u>l al-Di>n
9.      Niha>yah al-’Uqu>l fi> Dira>yah al-Us}u>l
10.  Ajwiba>t al-Masa>’il al-Najja>riyyah
c.        Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat, dan Etika.
1.      Al-A>yat al-Bayyina>t fi> al-Manti>q,
2.      Al-Manti>q al-Kabi>r
3.      Ta’ji>z al-Falsifah
4.      Sharh} al-Isha>rah wa al-Tanbihat (li> Ibn Sina>)
5.      Sharh} ‘Uyu>n al-H{ikmah (li> Ibn Sina>)
6.      Al-Maba>h}ith fi> al-Mashriqiyyah
7.      Muhassah Afka>r al-Mutaqadimi>n wa al-Muta’akhiri>n min ‘Ulama> wa al-H{ukama>’ wa al-Mutakalimi>n.
8.      Al-Mat}ali>b al-‘A<liyyah
9.      Al-Akhla>q
d.        Dalam permasalahan Hukum
1.      Ibt}a>l al-Qiya>s
2.      Ih}kam al-Ah}ka>m
3.      Al-Ma’a>lim fi> Us}u>l Fiqh
4.      Muntakha>b al-Mah}su>l fi> Us}u>l Fiqh
5.      Al-Barahi>m wa al-Bara>hiyah
6.      Niha>yah al-Bahaiyyah fi> al-Maba>h}ith al-Qiya>siyyah.
e.        Dalam Ilmu Bahasa
1.      Sharh} Nahj al-Bala>ghah
2.      Al-Muh}arrir fi> H{aqa>’iq (atau Daqa>’iq) al-Nahw
f.         Dalam bidang Sejarah
1.      Fad}a>’il al-S}ah}a>bah al-Rashidi>n
2.      Manaqib Ima>m al-shafi’i>
g.        Dalam bidang Matematika dan Astronomi
1.      Al-H{andasah
2.      Al-Risa>lah fi> ‘Ilm H{ay’ar
h.        Dalam bidang kedokteran
1.      Al-T{i>b al-Kaba>’ir
2.      Al-Ashri>bah
3.      Al-Tashyi>r
4.      Sharh} al-Qanu>n li> Ibn Sina>
5.      Masa>’il fi> al-T{i>b
i.         Dalam bidang Perbintangan dan Astrologi
1.      Al-Ah}kam al-‘Ala’iyyah fi> A’la>n al-Samawiyyah
2.      Kitab fi> Raml

3.      Latar belakang Kepenulisan
Fakhruddin al-Razi secara eksplisit tidak menjelaskan latar belakang dia menulis kitab ini. Dia juga tidak mencantumkan penjelasan ini di dalam muqaddimat. Bahkan Abu Hayyan berkomentar bahwa tafsirnya al-Razi ini mengandung semua hal kecuali tafsir itu sendiri,[21] karena dia tidak mempunyai kebutuhan tertentu di dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi, latar belakang dia menulis bisa diketahui secara implicit sebagai berikut[22],
a.       Memprotek al-Qur’an al-Karim, mengabsahkan segala hal yang terdapat di dalam yang dibangun atas asas-asas akal, menguatkan pendalilan di dalam meyakininya, dan menjawab argumentasi-argumentas orang yang melampaui batas dan menolak mereka, sehingga satu orang pun tidak meragukan orisinalitasnya bahwa ia berasal dari Allah SWT.
b.      Al-Razi meyakini bahwa Allah SWT mempunyai dua eksistensi, satu eksistensi yang bisa dilihat, yaitu wujud yang terdapat di dalamnya berupa pemandangan-pemandangan alam yang beku dan kehidupan. Eksistensi lainnya adalah eksistensi yang bisa dibaca, yaitu al-Qur’an al-Karim. Konstruk pemikiran inilah yang dibangun al-Razi di dalam menafsirkan al-Qur’an, bahwa antara keduanya merupakan dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
c.       Al-Razi memahami dan menyadari bahwa sisi kebalaghahan dan rasionalitas yang dibangun atas dasar menafsirkan al-Quran dan menggunakannya untuk mena’wilkan al-Qur’an harus pada koridor madzhab tertentu. Ketika ditemukan pemikiran yang dibangun atas koridor madzhab yang lainnya hanyalah monopoli saja. Oleh karena itu, dia mencoba mematahkan batasan tersebut dan menggiring konstruk pemikiran pembacanya pada koridor madzhabnya, yaitu Ahl al-Sunnat wa al-Jama’at.
Itulah beberapa motivasi al-Razi di dalam memproduksi karya tafsir Mafatih al-Ghaib atau yang sering dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir.

4.      Karakateristik Tafssir
Sudah menjadi sebuah hal yang pasti apabila sebuah karya seseorang akan mempunyai karakter khas yang dibangun oleh pengarangnya. Tentunya hal ini akan terjadi apabila karya tersebut merupakan buah asli dari karya tangannya sendiri. Hasilnya akan berbeda pada kasus karya yang hanya merupakan jiplakan atau dikenal dengan istilah copy paste. Karakter kekhasan tidak akan tampak di dalamnya.
Al-Razi pun juga mempunyai karakter di dalam mengarang tafsirnya ini. Dia mempunyai metode tertentu di dalam menafsirkan al-Qur’an. Dia juga mempunyai ciri khas tertentu di dalam menyajikan data-data penafsirannya. Adapun beberapa karakteristik yang terdapat di dalam penafsirannya adalah sebagai berikut,
a.       Memisahkan pembahasan munasabat yang terkandung antara satu ayat dengan ayat yang lainnya dan satu surat dengan surat yang lainnya. Pembahasannya pula tidak mencukupkan pada satu korelasi saja, tetapi lebih dari satu korelasi.[23]
b.      Seringkali mengarahkan pembahasan pada ilmu kesehatan, filsafat, ilmu alam, dan lain sebagainya.[24]
c.       Menentang pendapat para filsuf dan ahli kalam yang tidak sejalan dengan akidahnya, yaitu ahl al-sunnat al-nabawiyyat al-ashairat.
d.      Menyebutkan pendapat-pendapat madzhab fiqh ketika menjelaskan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Selain itu, dia juga “mempromosikan” madzhab Shafi’iy.
e.       Hampir tidak sama sekali menyebutkan riwayat israiliyyat. Menyebutkan israiliyyat bukan sebagai konfirmasi atas kebenarannya, melainkan sebagai ketidaksepakatannya atas riwayat tersebut.[25]

5.      Metode Penafsiran
Metode menafsirkan al-Quran yang ditawarkan oleh al-Razi adalah dengan memulai menyebutkan nama surat, kedudukan turunnya, jumlah ayatnya dan pendapat-pendapat yang berkaitan dengannya. Kemudian dia menyebutkan satu ayat, dua ayat, atau sekumpulan ayat yang dimulai dengan menjelaskan dengan ringkas untuk mengungkap hubungan antara ayat satu dengan penjelasan ayat yang telah lalu. Pengungkapan ini dimaksudkan untuk menunjukkan pembaca kepada satu kesatuan tema yang terkandung di dalam beberapa ayat. Kemudian dia membeberkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Sebelum menjelaskan ayat dengan penafsirannya, atau per kalimatnya, dia menggiring untuk memaparkan penafsiran secara naqliy, baik berupa Hadis Nabi Muhammad SAW, perkataan Sahabat, Tabi’in, atau menunjukkan kepada permasalahan nasikh mansukh, istilah-istilah hadis seperti mutawatir atau ahad. Baru kemudian dia memaparkanpenafsirannya akan sebuah ayat dan menyebutkan pembahasan-pembahasan, teori-teori, dan pemikiran-pemikiran.[26]
Dia juga memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran satu ayat sebagai data pendukung di dalam penafsirannya. Jika ayat itu mempunyai sebab yang melatar belakangi turunnya, maka sebab tersebut akan disebutkan olehnya. Begitupun juga sisi historisnya, bahasanya, dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan penafsirannya sangat luas sekali.[27]

6.      Corak Penafsiran
Membahas sebuah Tafsir, maka tidak akan terlepas dari pembahasan tendensi atau kecenderungan. Setiap tafsir mempunyai kecenderungan pada sebuah keilmuan atau memang tidak cenderung sama sekali pada sebuah keilmuan. Tidak terkecuali ketika membahas al-Razi dengan karya tafsirnya ini.
Sebelumnya sudah disebutkan secara rinci karya-karya yang diproduksi oleh al-Razi. Dia mempunyai karya di dalam bidang Tafsir. Dia juga mempunyai karya di dalam bidang ilmu kalam. Dia juga mempunyai karya di dalam bidang hukum, dan lain sebagainya. Kary-karya tersebut membuktikan bahwa dia tidak hanya ahli pada suatu keilmuan saja, tetapi dia kompeten di dalam beberapa bidang keilmuan.
Berangkat dari statemen tersebut dan dari beberapa informasi yang telah didapatkan, maka al-Razi tidak mempunyai kecenderungan pada satu bidang ilmu tertentu. Artinya, corak penafsirannya adalah corak umum. Memang terdapat beberapa pengkaji atau bahkan pengkritik mengklasifikasikan tafsirnya cenderung kepada teologi, karena dia mengarang kitab untuk meluruskan akidah menuju akidah yang diusung oleh asyari. Namun, dia juga menyebutkan penafsiran-penafsiran yang sifatnya adalah berkaitan dengan aspek kebahasaan. Tidak terkecuali pula, di dalam pembahasan hukum dia menjelaskan perbedaan madzhab sekalipun dia lebih condong kepada syafi’i.
Oleh karena itu, tidak bisa disimpulkan secara pasti tendensi yang dibangun oleh al-Razi di dalam menafsirkan al-Qur’an. Argumentasi sementara yang paling cocok untuk mendeskripsikan tendensinya adalah bercorak umum.

7.      Kelebihan Tafsir
Tafsir yang lengkap mencakup semua ayat al-Qur’an yang disempurnakan oleh al-Razi. Kitab ini merupakan kitab tafsir yang paling populer dan paling banyak pengaruhnya di dalam penafsiran yang berbentuk penafsiran dengan akal, yaitu al-tafsir bi al-ra’y. Sehingga, tidak ada seorang mufassir setelah al-Razi menjadikan pegangan dan sumber penafsiran yang urgen, kecuali kepada tafsir karya al-Razi ini. Di sisi lain, kitab tafsir tersebut adalah kitab tafsir yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir lainnya, di mana kitab tafsir tersebut mencakup dan berisi berbagai macam pembahasan dan ilmu pengetahuan yang berbeda-beda.[28]
Doktor Muh}sin Abd al-Hami>d berkata tentang hakikat tafsir dan mufassir,
 “Tidak diragukan jika al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang menjelaskan kita akan mutiara ketuhanan. Ia memaparkan kepada kita akan hakikat alam dan kehidupan yang sempurna. Al-Razi berusaha menawarkan kepada kita di dalam menafsirkan al-Qur’an kepada makna-maka ini. Dia menyingkapkan rahasia-rahasia tersebut kepada kita dengan bukti-bukti yang logis dan dalil-dalil yang rasional dan menyimpulkan penciptaan langit dan bumi dan apa saja yang terdapat di dalamnya.
Dia di dalam tafsirnya menggunakan pengetahuan-pengetahuan manusia untuk merealisasikan tujuannya, yaitu membuktikan kemukjizatan akal dan pengetahuan bagi al-Qur’an, menampakkan jalan-jalan menyelesaikan pertentangan pemikiran dan akal, dan membuktikan hakikat-hakikat kutipan dengan sedetail-detailnya akal.”[29]
C.    Analisis Pemikiran Abu> H{ayya>n Al-Andalusi Dan Fakhr Al-Di>n Al-Ra>zi>
Dari beberapa ulasan tentang Abu Hayyan dan Fakhr al-Din al-Razin beserta kedua kitab tafsirnya masing-masing, dirasa perlu adanya beberapa bukti riil yang diambil langsung dalam tafsir al-Bah}r al-Muh}i>t} dan mafa>ti>h} al-ghaib. Oleh karenanya, penyusun akan menjelaskan beberapa poin penting yang akan menggambarkan isi dari kitab Tafsir tersebut. Di sini, penulis memasukkan penafsiran Abu Hayyan dari segi corak kebahasaannya, penafsirannya terhadap ayat-ayat hukum, ragam qira’at.
a.       Corak Bahasa
Tafsir surah al-Fatihah ayat 2:
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Penafsiran Abu Hayyan:
Abu Hayyan ketika menafsirkan surah al-Fatihah ayat 2, membagi ayat tersebut pada tiga bagian lafadh, yaitu (al-h}amdu, lilla>hi, rabb al-‘a>lami>n)
Ia menafsirkan lafadh al-h}amdu dengan pujian atas segala yang indah berupa nikmat dan selainnya melalui lisan semata. Lawan kata dari al-h}amdu adalah al-dhammu yang berarti celaan. Bentuk fi’il (kata kerja) dari al-hamdu sendiri adalah terbentuk dari lafadh hamida, bukan adopsi dari lafadh madaha. Berbeda dengan Ibn al-Anbari, yang berpendapat bahwa lafadh hamida dan madaha, tas}rifnya sama. Menurut Abu Hayyan sendiri, dalam penggunaannya, madaha dapat dipakai untuk benda mati. Seperti tamdahu jauharah (kamu memuji permata), tidak bisa dikatakan tahmadu jauharah. al-h}amd searti dengan al-shukr, atau al-h}amd  lebih umum maknanya. al-shukr,  pujian pada Allah atas perbuatan-perbuatanNya. Sedangkan al-h}amd pujian padanya atas sifat-sifatNya. Yang paling benar adalah al-h}amd maknanya lebih umum. Al-h}a>mid (orang yang memuji), ada dua macam yaitu sebagai sha>kir (yang mensyukuri), dan sebagai orang yang memuji sifat-sifatnya.
Lafadh lillahi  ia menafsirkan bahwa huruf jarr li menurut ilmu nahwu mengandung sejumlah arti, yaitu li al-milk wa shibh (kepemilikan dan yang serupa), li al-istih}qa>q (hak milik), al-nasab, ta’lil, ta’ajjub, tabyi>n, shahu>ra>t (berubah menjadi), al-z}arfiyah dalam arti fi> dan ‘inda, li al-intiha>’ (terakhir) dan li al-isti’la>’.
Sedangkan lafadh rabb al-‘alami>n ditafsirkan bahwa lafadh rabb memiliki arti tuan, raja, yang tetap, yang disembah, yang memperbaiki dan pemilik.[30]
Dari penafsiran surah al-Fatihah ayat 2 itulah, maka sangat jelas bahwa Abu Hayyan dalam menafsirkan suatu ayat lebih cenderung pada corak bahasa (lughawi). Dapat dilihat dari pemaknaan secara leksikal (balaghah), sintaksis (nahwu), dan morfologinya (ilmu s}orof) dalam memahami suatu ayat atau lafadh.
Penafsiran Al-Razi
Di dalam menafsirkan kata al-hamd, al-Razi tidak terlalu jauh berbeda dengan penafsiran Abu Hayyan. Hanya saja, al-Razi di dalam menafsrirkan kata al-hamd tersebut lebih merinci perbedaan antara kata al-hamd dengan al-madhu atau al-syukru. Ia menjelaskan perbedaan antara kata al-hamd dengan al-madh dengan empat penafsiran, yaitu sebagai berikut,[31]
1.      Al-Madh bisa diaplikasikan kepada makhluk hidup ataupun tidak, sedangkan al-hamd hanya berlaku untuk makhluk yang hidup saja.
2.      Al-Madh terkadang diucapkan sebelum berbuat baik atau sesudahnya, sedangkan al-hamd hanya diucapkan setelah berbuat baik saja.
3.      Al-Madh terkadang bisa digunakan di dalam sesuatu yang terlarang, sedangkan al-hamd hanya bisa digunakan di dalam perkara yang diperintah saja.
4.      Al-Madh adalah ungkapan tentang perkataan yang tidak khusus untuk satu macam keutamaan saja, sedangkan al-hamd adalah ungkapan tentang perkataan yang menunjukkan kepada satu keutamaan khusus.
Dari empat  penafsiran tersebut, maka bisa diketahui bahwa al-madh sifatnyya lebih umum daripada al-hamd. Hal ini akan berbeda jika yang dibedakan adalah kata al-hamd dengan al-syukr. Al-hamd adalah kata yang digunakan untuk nikmat yang sampai kepada diri sendiri atau kepada orang lain, sedangkan al-syukr adalah kata yan digunakan untuk nikmat yang sampai kepada diri sendiri saja.[32] Sehingga, kata al-hamd lebih umum dari kata al-syukr.
 Penafsiran tersebut mengindikasikan bahwa al-Razi tidak mengesampingkan aspek bahasa di dalam menafsirkan al-Qur’an. Ia mengawali penafsiran dengan menjelaskan makna dari sebuah kata. Akan tetapi, ia juga tidak berhenti pada aspek bahasa saja. Ia lebih memperinci penafsirannya dengan tinjauan beberapa aspek sebagai pisau analisa penafsirannya.[33]

b.      Penafsiran terhadap Ayat-Ayat Hukum
Tafsir tentang rukhs}ah qas}ar salat ketika dalam perjalanan yang terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 101:
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Penafsiran Abu Hayyan:
Dalam menafsirkan ayat ini, Abu Hayyan terlebih dahulu menyebutkan sebab nuzulnya, sebagaimana riwayat berikut ini:
 



Diriwayatkan dari Mujahid dari Ibn ‘Abbas, berkata: kami bersama Rasulullah Saw., di ‘Isfan dan Khalid bin Walid bersama orang-orang musyrik , lalu orang-orang musyrik berkata: sungguh kami adalah seorang pecundang seandainya kami menyerang mereka dalam keadaan shalat. Lalu turunlah ayat tentang qas}ar di antara shalat duhur dan ashar.

Maka dalam hal ini, Abu Hayyan dalam menjelaskan ayat yang fokusnya pada hukum yaitu rukhs}ah qas}ar salat. Ia memasukkan beberapa pendapat fuqaha>’ sebagaimana dalam tafsirnya berikut ini:
Para fuqaha>’ berbeda pendapat dalam batasan jarak di mana boleh mengqas}ar salat. Imam Malik, Shafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat: Shalat boleh diqas}ar dalam perjalanan empat barad (yaitu 48 mil/45 km). Abu Hanifah dan al-Thauri> berpendapat: selama perjalanan tiga hari. Abu Hanifah berkata: tiga hari tiga malam, dengan mengendarai unta dan berjalan kaki. Al-Auza>’i> berpendapat: selama perjalanan satu hari penuh, ia juga mendapat informasi dari para ulama’. Hasan dan al-Zuhri berpendapat: selama perjalanan dua hari. Diriwayatkan dari Malik: satu hari satu malam, dan Anas meringkas dalam jarak 15 mil (sekitar 14 km).[34]
Maka dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam urusan fiqih dia tidak terpaku pada satu madzhab tertentu. Akan tetapi dalam muqaddimahnya dia menyebutkan bahwasanya ketika ia berada di Andalusia ia bermadhhab Maliki dalam pengistinbatan suatu hukum, karena mayoritas penduduk pada waktu itu bermadhhab Maliki. Akan tetapi, setelah ia meninggalkan Andalusia ia bermadhhab al-Zahiri.[35]

Penafsiran Al-Razi
Al-Razi memulai penafsirannya dengan menjelaskan akar dari kata qasar. Ia mengutip pendapat al-Wahidi yang menjelaskan bahwa qasar berasal dari kata qas}ara, aqs}ara, atau qas}s}ara. Ketiga akar kata tersebut bisa dijadikan sebagai bentuk awal dari kata qasar. Ibnu Abbas berbeda dengan al-Wahidiy, yaitu berpendapat bahwa qasar berasal dari kata aqsara. Adapun al-Zuhriy memilih kata qasara sebagai dasar dari kata qasar.[36]
Sedangkan di dalam permasalahan qasar, al-Razi menjelaskan bahwa ada dua pendapat tentang hal apa yang boleh diqasar. Satu pendapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan qasar adalah keringanan tanpa penegasan apakah meringkas rakaat salat atau meringkas gerakan salatnya. Sedangkan pendapat yang lain lebih tegas, yaitu keringanan di dalam gerakan salat, seperti melakukan isyarat sebagai ganti dari ruku’ atau sujud.[37]
Sebagai penganut madzhab syafi’i, maka tidak menjadi sebuah hal yang mengagetkan, jika al-Razi lebih memperkuat pendapat madzhabnya ketimbang pendapat madzhab lain. Akan tetapi, pernyataan tersebut bukan berarti al-Razi hanya mencantumkan pendapat madzhabnya. Maka ia tidak menutup kemungkinan memaparkan pendapat-pendapat madzhab lain sebagai bahan perbandingan dan wawasan yang lebih luas.
Di dalam menafsirkan ayat ini, al-Razi, selain mencantumkan pendapat al-Syafi’i, juga memaparkan pendapat imam Hanafi, Dawud, al-Dzahiri, dan pendapat mayoritas ulama. Walaupun, yang paling banyak dikuatkan adalah pendapat madzhabnya sendiri, seperti perkataan imam al-syafi’i: “Qasar adalah keringanan. Siapa (mukallaf) yang mau sempurna, maka sempurnakanlah. Jika ia mau, (boleh) mencukupkan dengan meringkas.”[38] Perkataan imam syafi’I tersebut diperjelas oleh al-Razi bahwa yang dimaksud dengan qasar di dalam ayat ini bukanlah mengurangi rakaat, tetapi meringankan gerakan salat.[39]
Maka dalam hal ini, penulis dapat menganalisa kebahasaan yang dimiliki oleh Abu Hayyan itu sangat mumpuni. Meskipun ia banyak mengutip dari pendapat al-Zamakhshari, namun ia mengembangkan kebahasaannya sesuai dengan keahliannya. Tak terkecuali pula dengan al-Razi yang sering menggunakan aspek kebahasaan di dalam memaknai sebuah kata dan memulai penafsirannya.






[1]Muh}ammad H{usain al-Zahabiy, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz I (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995 M), 325.
[2]Hasan Yunus Hasan Ubaid, Dira>sa>t wa Maba>hith fi> Ta>rikh al-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n, (Kairo; Markaz al-Kitab wa al-Nashr, TT), 128.
[3]Husain al-Zahabiy, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz I, 325.
[4]Abu Hayyan al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, juz 1 (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, TT). 9 dst.
[5]Muh}ammad ‘Ali> Iyya>zi, al-Mufassiru>n; H{aya>tihim wa Munhajihim, jilid 1, (T{ihra>n: al-Thaqa>fah wa al-Irshad al-Isla>mi>, TT), 269-270.
[6]M. Rusydi Khalid, “al-Bah}r al-Muh}i>t}: Tafsir Barcorak Nahwu Karya Abu Hayyan al-Andalusi”, Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. 2/2015,, 180.
[7]‘Ali> Ayya>zi, al-Mufassiru>n; H{aya>tihim wa Munhajihim, jilid 1, 272.
[8]Husain al-Zahabiy, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz I, 227.
[9]al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, juz 1, 5.
[10]Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), 12.
[11]Ibid, 14.
[12]Di Afghanistan dan Iran, beliau dikenali sebagai Imam Razi. Di Heart beliau dijuluki dengan Shaykh Al-Islam. Muh}ammad H{usain al-Dzahabi>, Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, Vol. 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 206.
[13] Fakhr al-Din al-Razi, Roh itu Misterius, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Kaf, (Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2001), 17.
[14]Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo), 320.
[15]Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 351.
[16]Mana’ Khali>l al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 479.
[17]Ali> Muh}ammad H}asan ‘Amari>, al-Ima>m Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>: H}aya>tuhu wa Atha>ruhu, (t.tp.: al-Majlis al-A’la li> al-Shu’un al-Islamiyyah, 1969), 24-26.
[18]Ibid, 27.
[19]Muh}ammad Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb, (Bairut: Dar al-Fikr, 1990), I:5.
[20]Muh}ammad Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r, I:5.
[21]Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 653.
[22]Ibid., 653-654.
[23]Muh}ammad H{usain al-Dzahabi>, Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, Vol. 1, 209.
[24]Ibid., 209. Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 656.
[25]Ibid., 656.
[26]Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 656.
[27]Musaid Muslim Ali Ja’far dan Muhyi Hilal al-Sirhan, Mana>hij al-Mufassirin, (tk: Da>r al-Ma’rifat, 1980), 191.
[28]Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, al-Mufassiru>n H}ayatuhum wa Manhajuhum, 652.
[29]Ibid., 653.
[30]Abu Hayyan al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, 30-31.
[31]Muh}ammad Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb, Vol. 1, 223.
[32]Ibid., 223.
[33]Untuk penafsiran surat al-fatihah ayat 2, selengkapnya lihat Ibid., 223 dst.
[34]Abu Hayyan al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, juz 3, 480.
[35]Ibid., juz 1, 8.
[36]Abu Hayyan al-Andalusi> al-Ghurna>t}i>, al-Bah}r al-Muhi>t}, vol. 11, 17.
[37]Ibid., 17.
[38]Ibid., 18.
[39]Untuk argumentasi atau dalil-dalil yang dipaparkan al-Razi di dalam menguatkan pendapat al-Syafi’I bisa selengkapnya dilihat Ibid., 18 dst.
 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’iy. Jakarta: PT Raja Grafindo. 1996.
Al-Ghurna>t}i>, Abu Hayyan al-Andalusi>. Al-Bah}r al-Muhi>t}. Juz 1. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>. TT.
Al-Qaththan, Mana’ Khali>l. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2008.
Al-Ra>zi, Muh}ammad Fakhr al-Di>n. Tafsir al-Kabi>r wa Mafa>ti>h al-Ghayb. Bairut: Dar al-Fikr. 1990.
Al-Razi, Fakhr al-Din. Roh itu Misterius. terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Kaf. Jakarta: Cendikia Centra Muslim. 2001.
Al-Sirhan, Musaid Muslim Ali Ja’far, Muhyi Hilal. Mana>hij al-Mufassirin. tk: Da>r al-Ma’rifat. 1980.
Al-Zahabiy, Muh}ammad H{usain. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Juz I .Kairo: Maktabah Wahbah. 1995.
‘Amari>, Ali> Muh}ammad H}asan. Al-Ima>m Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>: H}aya>tuhu wa Atha>ruhu. t.tp.: al-Majlis al-A’la li> al-Shu’un al-Islamiyyah. 1969.
Iyya>zi, Muh}ammad ‘Ali.> Al-Mufassiru>n; H{aya>tihim wa Manhajuhum. Jilid 1. T{ihra>n: Al-Thaqa>fah wa al-Irshad al-Isla>mi>. TT.
Khalid, M. Rusydi. “Al-Bah}r al-Muh}i>t}: Tafsir Barcorak Nahwu Karya Abu Hayyan al-Andalusi”. Jurnal Adabiyah. Vol. 15. No. 2/2015.
Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Ubaid, Hasan Yunus Hasan. Dira>sa>t wa Maba>hith fi> Ta>rikh al-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo; Markaz al-Kitab wa al-Nashr. TT.


 

Comments

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB