PROBLEMATIKA SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
Disusun oleh :
MUHAMMAD HUSNAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Alquran
merupakan salah satu karya sastra Agama yang paling penting dalam sejarah
dunia. Sebagai Kitab suci umat Islam, Alquran sering dibandingkan dengan Injil
dan Taurat . Ketiga teks tersebut dianggap oleh pengikutnya masing-masing
sebagai firman Tuhan atau diilhami oleh Tuhan.[1]
Alquran
juga merupakan Kitab suci yang menjadi petunjuk bagi umat Nabi Muhammad SAW.
Tentunya sebagai petunjuk harus benar-benar dipahami seara teks dan konteks
agar tidak terjadi kesalahpahaman akan makna ayat-ayat Alquran. Pewahyuan
Alquran terjadi dalam konteks masyarakat Arab pada abad 7 Masehi. Konteks
pewahyuan ini membantu untuk memahami hubungan antara teks Alquran dan
lingkungan di mana teks itu muncul.
Di sisi
lain, sebagai pentunjuk Alquran juga tidak terlepas dari sebuah problematika.
Ditinjau dari sisi lafadznya, tidak semua ayat Alquran dijelaskan secara
terperinci. Sebagian ayat Alquran lafadznya berupa ayat yang global. Sebagian
lain juga ayat Alquran berupa ayat yang masih mutlak. Sehingga, untuk memahami
kandungan ayat-ayat tersebut membutuhkan upaya yang dikenal dengan tafsir.
Tafsir
dari masa ke masa mengalami dinamika yang positif. Dari satu masa ke masa, perkembangannya sangat dinamis. Keadaan
tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW akan berbeda dengan keadaan tafsir pada masa
Sahabat. Begitupun seterusnya perkembangannya dinamis hingga dewasa ini.
Makalah
ini akan membahas sejarah perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW.
Meskipun Nabi SAW merupakan penerima wahyu Alquran dari Allah SWT, di dalam
perkembangannya juga terdapat problematika yang perlu dicari titik temunya. Hal
ini akan berguna untuk mengetahui bagaimana perkembangan tafsir yang terjadi
pada masa Nabi Muhammad SAW.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut, maka bisa dibatasi dengan
rumusan sebagai berikut,
1.
Bagaimana
urgensi tafsir di dalam memahami ayat Alquran?
2.
Bagaimana
nilai penafsiran Nabi Muhammad SAW?
3.
Bagaimana
kadar penafsiran Nabi Muhammad SAW menurut para ulama?
[1]Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), 31.
BAB
II
PROBLEMATIKA
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
PADA
MASA NABI MUHAMMAD SAW
A.
Relevansi
Antara Wahyu Dengan Tafsir
Wahyu dan
tafsir merupakan dua terminologi yang berbeda. Akan tetapi, kedua term tersebut
mempunyai relasi antara satu dengan yang lainnya. Wahyu secara etimologi adalah
isyarat yang sangat cepat. Selain itu, wahyu juga mengandung makna-makna
sebagai berikut,
1. Ilham sebagai fitrah dari manusia
2. Ilham berupa naluri pada binatang
3. Isyarat yang cepat dengan rumus atau kode
4. Bisikan dan tipu daya setan
5. Perintah Allah SWT kepada para malaikat.[1]
Dari pengertian secara
etimologi tersebut bisa dipahami bahwa wahyu adalah sebuah pengetahuan yang
bisa datang dari siapapun baik dari Tuhan, manusia ataupun hewan.
Secara
terminologi wahyu kepada para Nabi adalah firman Allah SWT yang diturunkan
kepada seorang Nabi di antara Nabi-nabi-Nya. Ini adalah pengertian yang
ditinjau dari ism maf’ulnya. Sedangkan terminologi ditinjau dari bentuk masdarnya
adalah pemberitahuan Allah SWT kepada seorang hamba yang telah dipilihnya
berupa petunjuk dengan cara yang samar dan cepat.[2]
Adapun
tafsir secara etimologi adalah menerangkan, menyingkap atau menjelaskan.
Sedangkan secara terminologi adalah pengetahuan yang membahas petunjuk-petunjuk
terhadap maksud Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia.[3]
Dari
kedua pengertian tersebut semakin jelas akan adanya relevansi antara wahyu
dengan tafsir. Wahyu dan tafsir keduanya sama-sama merupakan pengetahuan. Jika
bisa dikhususkan maka keduanya membahas sebuah pengetahuan yang diberikan kepada
manusia.
Pengetahuan
yang diberikan kepada manusia tersebut bertujuan untuk memahami sebuah
pemberitahuan yang berasal dari Allah SWT. Tentunya untuk memahami pemahaman
tersebut, antara wahyu dan tafsir mempunyai cara masing-masing. Wahyu yang
salah satunya dengan isyarat yang cepat, sedangkan tafsir dengan perangkat ilmu
al-Qur’an atau ilmu tafsir.
B.
Latar
Belakang Munculnya Tafsir
Alquran
merupakan Kitab yang dijamin keotentikannya oleh Allah SWT. Alquran diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah-Nya yang terakhir. Setiap
Rasul yang diutus oleh Allah SWT dengan menyesuaikan konteks kehidupannya serta
menurunkan Kitab-Nya juga sesuai dengan bahasa lingkungannya.[4]
Alquran
memuat banyak refrensi tenang dunia kultural dan material Hijaz di mana
terletak kota Makkah dan Madinah.[5]
Alquran diturunkan menggunakan bahasa Arab tidak terlepas dari historis
kehidupan Nabi Muhammad SAW di dua kota tersebut.
Sebagaimana
diketahui bahwasannya Alquran tidak kaya dengan tafsir. Alquran diturunkan dengan
menggunakan bahasa yang ringkas dan global. Hal ini menyebabkan perbedaan
kapasitas seseorang di dalam memahami maksud dari Alquran. Allah SWT berfirman
di dalam surat al-Nahl ayat 44 sebagai berikut,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[6]
“Dan Kami
turunkan Az-Zikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”[7]
Muhammad
Afifuddin al-Dimyathi menjelaskan bahwa pada ayat tersebut menggunakan litubayyina
bukan lituqria. Hal ini mengisyaratkan bahwa setelah Nabi Muhammad
membacakan ayat kemudian dijelaskan kepada pendengarnya. Hal itu bertujuan agar
orang yang dibacakan tersebut tidak hanya menghafal Alquran saja, melainkan
juga memahami maksud kandungan dari ayat-ayat Alquran. Kemudian usaha tabyi>n ini dikenal dengan tafsir.
Upaya
menafsirkan Alquran ini tentunya dilatarbelakangi atas beberapa sebab.
Sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut, [8]
1. Latar belakang turunnya sebuah ayat atau yang
dikenal dengan asba>b
al-nuzu>l merupakan salah satu dari sebab adanya
tafsir. Asba>b
al-nuzu>l berimplikasi kepada maksud dari ayat
Alquran. Ayat-ayat yang turunnya mempunyai latar belakang, maknanya bisa
menjadi rancu apabila tidak meninjau latar belakangnya tersebut. Oleh karena
itu, makna ayat-ayat Alquran tidak akan menjadi rancu apabila melihat aspek
latar belakang turunnya tersebut.
2. Alquran memuat ayat-ayat yang mujmal[9] seperti
ayat-ayat tentang shalat, puasa dan haji. Ayat-ayat yang berkaitan dengan
ibadah-ibadah tersebut tidak akan dipahami oleh seseorang secara tekstual,
karena ayat tersebut tidak dijelaskan dengan rinci. Seorang mufassir akan
memahami ayat-ayat ibadah tersebut jika melihat penjelasan Hadis dari Nabi
Muhammad SAW.
3. Alquran memuat ayat-ayat mutasha>biha>t[10]
yang mana ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan
melihat sekejap. Proses memahami ayat mutasha>biha>t
dengan spontan bisa terjadi saja, tetapi bisa di luar makna yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Di dalam memahami ayat-ayat mutasha>biha>t itu harus merujuk kepada ayat-ayat yang muhkama>t[11] yang menjelaskan makna ayat-ayat mutasha>biha>t.
4. Alquran diturunkan secara berangsur-angsur.
Penurunan Alquran secara berangsur-angsur ini bertujuan untuk memantapkan hati
Nabi Muhammad SAW. Penurunan Alquran secara berangsur-angsur ini juga
berimplikasi kepada penempatan ayat-ayat dengan topik yang sama di dalam surat
yang berbeda. Hal ini mengharuskan seorang mufassir untuk mencari ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik yang sama untuk menemukan titik terang dan
kejelasan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya.
Alquran
diturunkan kepada penduduk Makkah dan Madinah dengan bahasa Arab yang paling
fasih. Dengan kefasihan tersebut, mereka bisa memahami Alquran secara dhahir
atau lafaznya saja. Akan tetapi, untuk mengetahui makna dan maksud Alquran atau
substansi dari sebuah ayat dibutuhkan pembahasan yang detail serta bertanya
kepada Nabi Muhammad SAW.[12]
Dari
latar belakang munculnya tafsir tersebut bisa dipahami bahwa tafsir mempunyai
urgensi yang sangat vital di dalam memahami Alquran. Tidak setiap penduduk Arab
yang merupakan objek diturunkannya Alquran memahami maksud makna Alquran secara
substantif. Mereka juga membutuhkan perangkat lain untuk memahami Alquran
secara substantif, yaitu penjelasan dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagai
orang yang tidak menjadi saksi turunnya Alquran, tentunya para pengkaji Alquran
pada dewasa ini membutuhkan tenaga ekstra dalam memahami maksud Alquran. Selain
memahami hadis Nabi Muhammad SAW yang memuat penjelasan maksud isi Alquran,
mereka juga membutuhkan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan untuk menafsirkan
Alquran. Dari sini semakin terasa urgensi adanya tafsir untuk para pengkaji
Alquran.
Abd al-Az}i>m al-Zarqa>ni> menganalogikan tafsir dengan kunci. Tafsir adalah kunci harta dan
simpanan yang termuat di dalam Kitab yang mulia ini yang turun untuk
memperbaiki manusia dan memuliakan alam. Tanpa adanya tafsir, menggapai kunci
harta atau kunci simpanan ini sungguh sebuah hal yang mustahil, bilamana
seorang manusia bersungguh-sungguh di dalam mengulang-ulang lafadz Alquran dan
membiasakan membaca Alquran setiap hari seratus kali dengan setiap perspektif
diturunkannya Alquran.[13]
C.
Metode,
Sumber dan Nilai Penafsiran Nabi Muhammad SAW
Sejarah
penafsiran Alquran pada masa Nabi Muhammad SAW merupakan awal historis
terjadinya penafsiran. Penafsiran Alquran pada masa ini masih dengan cara yang
global atau secara ijma>li>. Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan Alquran
secara rinci karena kondisi dan situasi pada masa itu masih belum membutuhkan
penafsiran secara rinci.
Di dalam menafsirkan Alquran, Nabi Muhammad SAW
tidak terlalu berlebihan di dalam menjelaskan makna ayat-ayat Alquran. Nabi
Muhammad SAW menjelaskan ayat keluar dari kandungan makna yang tidak perlu
untuk diketahui. Mayoritas penafsirannya adalah penjelasan ayat-ayat yang mujmal,
menerangkan ayat yang sulit, mentakhsis ayat yang ‘am, mentaqyid
ayat yang mutlaq, atau menjelaskan makna sebuah lafadz atau yang
berkorelasi.[14]
Artinya, penafsiran Nabi Muhammad SAW bersifat substantif.
Ditinjau perspektif history of idea[15], penafsiran
pada masa Nabi Muhammad SAW ini merupakan tafsir era formatif dengan nalar
quasi-kritis. Tafsir era formatif ini dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW
hingga abad kedua hijriyah. Sedangkan yang dimaksud dengan nalar quasi-kritis
adalah sebuah model atau cara berpikir yang kurang memaksimalkan penggunaan
rasio (ra’yu) dalam menafsirkan Alquran dan juga belum mengemukanya
budaya kritisisme.[16]
Tafsir dengan nalar quasi-kritis sumbernya
menggunakan naql atau riwayat-riwayat yang menjadi sumber representatif
di dalam menafsirkan Alquran. Nabi Muhammad SAW menjadikan Alquran sebagai
sumber pertama di dalam menafsirkan Alquran. Penafsiran dengan sumber Alquran
ini disebut dengan istilah tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n atau
menafsirkan Alquran dengan Alquran.
Contoh penafsiran Alquran dengan Alquran adalah
penafsiran terhadap surat al-An’am ayat 82 sebagai berikut,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan syirik”[17]
Terkait ayat tersebut, seorang penduduk Arab bertanya kepada Nabi
Muhammad SAW seraya berkata “siapa dari kami yang tidak pernah dzalim kepada
diri sendiri?” Kemudian Nabi Muhammad SAW menjelaskan makna kata d}ulmin pada ayat tersebut bahwa maknanya adalah syirik
kepada Allah SWT yang berdasarkan pada firman Allah SWT surat Luqman ayat 13,[18]
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ
يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi
pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”[19]
Pertanyaan seorang Arab merupakan
sebagian kecil contoh yang menunjukkan bahwa Alquran menjadi sumber utama Nabi
Muhammad SAW di dalam menafsirkan Alquran. Turunnya sebuah ayat kepadanya
merupakan bentuk jawaban dari sebuah pertanyaan atau respon dari realita yang
terjadi di kalangan masyarakat Arab.
Selain menafsirkan Alquran dengan
bersumber dari Alquran, Nabi Muhammad SAW juga menafsirkan Alquran dengan
Hadis-hadis yang bersumber darinya. Penafsiran dengan bersumber dari Hadis atau
Sunnah Nabi Muhammad SAW disebut dengan tafsi>r
al-Qur’a>n bi al-Sunnah.
Hal ini terjadi pada realitas yang
terjadi pada seorang Sahabat ketika mengalami kesulitan di dalam memahami makna
ayat Alquran. Seorang Sahabat kemudian mempetanyakan maksud dari dari ayat
Alquran yang sulit dipahami kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW
kemudian menjawab pertanyaan seorang Sahabat itu dengan memaparkan
Hadis-hadisnya. Contohnya adalah Hadis yang dikeluarkan oleh imam Ahmad dan
Turmudzi yang meriwayatkan dari ‘Ada ibn Hibban seraya berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Bahwa maksud dari ayat al-mag}dlu>bi
‘alaihim adalah orang
Yahudi dan al-dla>lli>n adalah orang Nasrani.” Selain itu, contoh
lainnya adalah penjelasan Nabi Muhammad SAW bahwa maksud dari al-s}ala>t
al-wust}a> adalah
shalat Ashar.[20]
Mayoritas penafsiran Nabi Muhammad SAW dengan berdasarkan pada Hadis-hadisnya
merinci penjelasan terkait dengan syari’at dan hukum Islam baik dari fardlu,
sunnah, tata kerama ataupun hukum-hukum transaksional.[21]
Dalam istilah lain, penafsiran dengan
bersumber Alquran atau bersumber dari Hadis Nabi Muhammad SAW dikenal dengan al-tafsi>r
bi al-ma’thu>r.
Al-tafsi>r bi al-ma’thu>r adalah menafsirkan Alquran dengan bersumber
dari Alquran, sunnah Nabi Muhammad SAW dan perkataan Sahabat yang menjelaskan
kepada maksud dari ayat-ayat Allah SWT.[22]
Dari pengertian tersebut bisa dipahami bahwa terdapat tiga riwayat yang bisa
dijadikan klasifikasi sebuah tafsir termasuk bi
al-ma’thu>r, yaitu Alquran, al-Sunnah dan perkataan
Sahabat.
Akan tetapi, ada suatu pendapat yang
mengatakan bahwa penafsiran Alquran dengan Alquran bukan termasuk dalam
klasifikasi al-tafsi>r bi al-ma’thu>r. Ulama yang berpendapat seperti ini
adalah Salah Abd al-Fattah al-Khalidi. Ia mengatakan bahwa menafsirkan Alquran
dengan Alquran bukanlah al-tafsi>r bi al-ma’thu>r dikarenakan seorang mufassir
menafsirkan Alquran dengan firman Allah SWT bukan dengan perkataan manusia baik
dari Sahabat ataupun Tabi’in. Artinya, Firman Allah SWT tidak bergantung pada
pembahasan dan penyampaian. Bahkan, firman Allah SWT juga tidak harus diteliti
kembali kebenarannya karena Alquran adalah Kitab yang tetap terjaga yang tidak
perlu untuk diperselisihkan atau dibenarkan.[23]
Dari kontroversi tersebut hemat penulis
bahwa tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an merupakan salah satu bentuk
penafsiran yang termasuk di dalam al-tafsi>r bi al-ma’thu>r.
Hal ini dikarenakan
sebuah riwayat sebuah landasan yang harus jelas, baik bersandar kepada Alquran,
Sunnah ataupun perkataan para Sahabat yang mana landasan tersebut bisa
dijadikan sebagai legitimasi kaitannya dengan tafsir.
Di dalam kapasitas sumber penafsiran,
tidak ada kontroversi bahwa Alquran merupakan sumber penafsiran yang paling
representatif untuk menafsirkan Alquran. Kemudian tingkatan selanjutnya adalah
menafsirkan Alquran dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Setiap penafsiran yang
landasannya tidak berangkat dari kedua sumber tersebut, maka metodenya di dalam
menafsirkan merupakan metode yang kurang tepat dan rawan mengalami kesalahan.[24]
D.
Pandangan
Ulama’ Terhadap Kadar Penafsiran Nabi Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat terkait kadar
penafsiran Nabi Muhammad SAW terhadap Alquran. Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW menafsirkan semua ayat-ayat Alquran.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menafsirkan
sebagian ayat-ayat Alquran saja.
Perbedaan pendapat terkait dengan penafsiran
Nabi Muhammad SAW sebagai berikut,[25]
1.
Nabi Muhammad SAW menjelaskan semua makna ayat-ayat
Alquran sebagaimana Nabi Muhammad SAW menjelaskan setiap lafadz Alquran, maka
Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan setiap maknanya.[26]
2.
Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Muhammad
SAW hanya sedikit saja menjelaskan makna Alquran kepada para Sahabat. Pendapat
ini dikatakan oleh al-Khuwayyi dan al-S{uyu>t}i>.
Kedua pendapat tersebut memiliki dasar
argumentasi masing-masing. Pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW
menjelaskan semua makna ayat-ayat Alquran berdasarkan pada ayat Alquran surat
al-Nahl ayat 44,
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ…
Ayat
ini menurut pendapat yang pertama bahwa Nabi Muhammad SAW menjelaskan lafadz
Alquran yang tidak dimengerti oleh para Sahabat. Selain itu, Nabi Muhammad SAW
juga menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalam lafadz tersebut. Penjelasannya tersebut mencakup makna dari setiap ayat-ayat Alquran
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah.
Dasar
yang kedua yang dipakai adalah riwayat Abu Abd al-Rahman al-Sulami sebagai
berikut,
حدثنا الذين يقرئوننا القران كعثمان بن عفان وعبد الله
بن مسعود وغيرهما أنهم إذا تعلموا من النبي صلى الله عليه وسلم عشر آيات لم
يجاوزوها حتى يتعلموا ما فيها من العلم والعمل قالوا: فتعلمنا القران والعلم
والعمل جميعا ولهذا كانوا يبقون مدة في حفظ السورة وقال أنس: كان الرجل إذا قرأ البقرة وآل عمران
جل في أعيننا وأقام ابن عمر على حفظ البقرة عدة سنين[27]
Dasar ketiga adalah mereka berpendapat
bahwa suatu kaum dilarang untuk membaca sebuah kitab dari salah satu bidang
ilmu seperti Matematika atau kedokteran sekaligus meminta penjelasan tentang
ilmu itu. Lalu bagaimana dengan Kitab Allah SWT yang dengannya kaum itu bisa
bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat?[28]
Ini merupakan dasar-dasar argumentasi ulama yang berpendapat bahwa Nabi
Muhammad SAW menjelaskan semua makna dari ayat-ayat Alquran.
Pendapat kedua juga mempunyai dalil
argumentasinya sendiri.[29]
Mereka berlandaskan pada Hadis yang diriwayatkan oleh al-Barraz yang
diriwayatkan dari Aisyah sebagai berikut,
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفسر شيئا من
القران إلا آيا بعدد علمه إياهن جبريل
Kedua, mereka menjelaskan bahwa penjelasan Nabi Muhammad SAW kepada
setiap makna ayat-ayat Alquran adalah sebuah hal yang mustahil. Hal itu terjadi
pada sedikit ayat saja, tidak pada mayoritas ayat. Kemudian jika Nabi Muhammad
SAW menjelaskan semua makna dari ayat Alquran mengapa Ibnu Abbas masih berdoa
“Ya Allah berikanlah kepadanya pemahaman di dalam Agama dan ajarkanlah ia ta’wil”.
Dasar-dasar inilah yang kemudian dijadikan argumentasi kelompok ulama yang
mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menjelaskan makna ayat-ayat Alquran
hanya sedikit saja tidak semuanya.
Singkatnya, pendapat moderat yang mendialogkan
antara kedua pendapat tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menafsirkan
atau menjelaskan semua makna ayat-ayat Alquran, tetapi juga tidak menafsirkan
atau menjelaskan makna dari sedikit ayat saja. Pemahamannya adalah Nabi
Muhammad SAW menafsirkan Alquran sesuai dengan kebutuhan.
Para Sahabat juga memahami sebagian ayat
Alquran yang menggunakan bahasa mereka, yaitu bahasa Arab.[30]
Selain itu, Alquran juga mengandung lafaz-lafaz yang tidak bisa dipahami oleh
mereka sehingga untuk mengetahui makna ayat-ayat tersebut harus mempertanyakan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu.
E.
Pemalsuan
Riwayat Tafsir Nabi Muhammad SAW
Para
pendongeng dan para pemalsu Hadis menambahkan banyak sekali riwayat yang
disangkutpautkan dengan kepada Nabi Muhammad SAW di mana ia tidak mensabdakan
hadis tersebut. Contohnya adalah penafsiran terhadap ayat al-qanatir
al-muqantarat. Riwayat Hakim dari Anas bin Malik berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW menjelaskan makna ayat tersebut dengan seribu dirham. Di dalam
riwayat dari Ibnu Majah dan imam Ahmad bahwa ayat tersebut maknanya adalah
duabelas ribu dirham.
Dari
contoh kontradiksi dalam berat timbangan sebuah harta yang dimaksud ayat itu
mengindikasikan bahwa penjelasan tersebut tidak bersumber dari Nabi Muhammad
SAW. Oleh karena itu, para ulama menolak banyak sekali penafsiran yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Imam Ahmad berkata bahwa terdapat tiga perkara yang
tidak berdasar, yaitu tafsir, peperangan dan pertempuran.[31]
Maksud
dari perkataan imam Ahmad tersebut bahwa tidak semua sanad hadis dari tafsir
yang tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW, hanya saja mayoritas dari sanad itu
yang tidak sampai kepada Nabi SAW. Tujuan imam Ahmad berkata demikian agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak terjerumus di dalam kesesatan.
F.
Keberadaan
dan Contoh Tafsir Nabi Muhammad SAW
Penjelasan-penjelasan
sebelumnya menjelaskan bahwa antara penjelas yaitu Nabi Muhammad SAW dan yang
dijelaskan yaitu Alquran mempunyai korelasi yang sangat kuat antara satu dengan
yang lainnya. Maka dari itu, di sini akan dijelaskan bagaimana penafsiran Nabi
Muhammad SAW menempati posisi yang penting di dalam dinamika tafsir dari masa
ke masa.
Penafsiran-penafsiran
Nabi Muhammad SAW termuat dalam berbagai penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran,
yaitu sebagai berikut,[32]
1. Menjelaskan ayat yang mujmal di dalam
Alquran. Contohnya adalah penjelasan tentang lima waktu shalat wajib serta tata
caranya sebagaimana Hadis Nabi Muhammad SAW
صلوا كما
رأيتموني أصلي
2.
Menerangkan ayat yang musykil. Contohnya
adalah penjelasan Nabi Muhammad SAW terkait ayat al-khait al-abyadl dan al-khait
al-aswad di dalam surat al-Baqarat ayat 187. Ia menjelaskan bahwa makna
ayat tersebut adalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari.
3.
Mentakhsis ayat yang masih umum.
Contohnya adalah mentakhsis ayat al-dlulm dengan makna al-shirk.
Sebagian Sahabat memaknai ayat al-dlulm dengan maknanya yang global.
Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW mentakhsis ayat tersebut dengan makna
syirik kepada Allah SWT.
4.
Mentaqyid lafadz yang mutlaq. Contohnya
adalah mengikat ayat yad di dalam surat al-Maidah ayat 38 dengan makna
tangan kanan.
5.
Menjelaskan makna lafadz atau yang berkaitan
dengannya. Contohnya adalah penjelasan Nabi Muhammad SAW terhadap makna lafadz al-magdu
bi alaihim dengan orang-orang Yahudi dan al-dlallin dengan
orang-orang Nasrani.
6.
Menjelaskan tambahan hukum yang terdapat di
dalam Alquran seperti merajam orang berzina muhsan, warisan seorang nenek, dan
lain sebagainya.
7.
Menjelaskan naskh. Penjelasan seperti
ini biasa terjadi apabila Nabi Muhammad SAW berkata bahwa ayat demikian dinaskh
dengan ayat demikian atau hukumnya ayat demikian dinaskh dengan ayat
demikian.
8.
Menjelaskan penguat di mana Sunnah Nabi
Muhammad SAW sesuai dengan isi kandungan ayat Alquran. Tujuannya adalah untuk
menguatkan hukum serta mendukungnya, seperti penjelasan Nabi Muhammad SAW bahwa
harta seorang muslim tidak halal kecuali dengan usaha dirinya yang baik.
Penjelasan ini sesuai dengan ayat Alquran di dalam surat al-Nisa’ ayat 29
sebagai berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
[1]Muhammad Afifuddin al-Dimyati, Mawa>rid al-Baya>n fi>
Ulu>m al-Qur’a>n, (Sidoarjo:
Lisan Arabi, 2016), 13.
[2]Ibid., 13.
[3]Abd al-Az}i>m
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,
Vol 2, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Arabi>, 1995), 6.
[4]Jala>l al-Di>n
al-S{uyu>ti>, Al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (tk: tp.
tt), 2266.
[5]Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Bantul: Baitul
Hikmah Press, 2016), 3.
[6]Alquran (16): 44.
[7]Tim Penerbit Az-Ziyadah, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemah, (Surakarta:
Az-Ziyadah, tt.), 272.
[8]Muhammad Afifuddin al-Dimyathi, Ilm al-Tafsi>r; Us}u>luhu
wa Mana>hijuhu, (Sidoarjo:
Lisa>n Arabi>, 2016), 4-5.
[9]Mujmal adalah kebalikan dari kata mufassar,
yaitu lafaz yang maksudnya samar dan tidak bisa dipahami kecuali dijelaskan
oleh orang yang membicarakannya. Abd
al-Wahbah al-Zuhaili>, Al-Waji>z fi> Us}u>l al-Fiqh, (Beirut:
Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1994), 185.
[10] Mutasha>bihat
adalah ayat-ayat yang menyerupai dan berhubungan
dengan yang lainnya yang mana sebagiannya bisa membenarkan sebagian yang
lainnya. Manna>’
al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, (Kairo:
Maktabat Wahbah, tt.), 206.
[11]Muhkama>t adalah ayat-ayat yang menyempurnakan dengan membedakan kebenaran dari
kesalahan dan petunjuk dari kesesatan. Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi>
Ulu>m Al-Qur’a>n, ... 206.
[12]Jala>l al-Di>n
al-S{uyu>ti>, Al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, ...
2266.
[13]Abd al-Az}i>m
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,
Vol. 2, ... 9.
[14]Fahd al-Ru>mi>, Buh}uth
fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh, (Riyad}: Maktabat
al-Taubat, 2008), 19.
[15]Abdul Mustaqim mengatakan bahwa ia mengadopsi teori ini dari ramuan
tokoh-tokoh sebelumnya seperti Kuntowijoyo, Ignaz Goldzhiher, dan Jurgen
Habermas. Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
LKIS, 2010), 33.
[16]Ibid., 33.
[17]Tim Penerbit Az-Ziyadah, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemah, ...
138.
[18]Muhammad Afifuddin al-Dimyathi, Ilm al-Tafsi>r; Us}u>luhu
wa Mana>hijuhu, ...
19.
[19] Tim Penerbit Az-Ziyadah, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemah, ...
412.
[20]Muh}ammad H{usain al-D{ahabi>,
Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 1, (Kairo: Maktabat Wahbah,
tt.), 36.
[21]Muhammad Afifuddin al-Dimyathi, Ilm al-Tafsi>r; Us}u>luhu
wa Mana>hijuhu, ...
19.
[22]Abd al-Az}i>m
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,
Jilid 2, ... 12.
[23]S{ala>h} Abd
al-Fatta>h} al-Kha>lidi>, Ta’ri>f al-Da>risi>n bi
Mana>hij al-Mufassiri>n, (Beirut: Da>r al-Qalm, 2008), 148.
[24]Ibid., 147.
[25]Muh}ammad H{usain al-D{ahabi>,
Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 1, ... 39.
[26]Taqi al-Di>n Ah}mad
bin Abd al-H{ali>m, Muqaddimat fi> Us}u>l
al-Tafsi>r, (tk.:
tp., 1972), 35.
[27]Muhammad Afifuddin al-Dimyathi, Ilm al-Tafsi>r; Us}u>luhu
wa Mana>hijuhu, ...
19.
[28]Muh}ammad H{usain al-D{ahabi>,
Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 1, ... 40.
[29] Ibid., 40.
[30]Muhammad Afifuddin al-Dimyathi, Ilm al-Tafsi>r; Us}u>luhu
wa Mana>hijuhu, ...
21.
[31]Muh}ammad H{usain al-D{ahabi>,
Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 1, ... 37.
[32]Ibid., 43-45.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Penjelasan tentang sejarah perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad
SAW dijelaskan secara singkat dan padat. Dari penjelasan tersebut bisa diambil
benang merah sebagai berikut,
1.
Tafsir
mempunyai posisi urgensi yang sangat tinggi di dalam memahami makna ayat-ayat
Alquran. Dalam konteks sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW, tafsir
menjadi urgen karena kapasitas pemahaman para Sahabat terhadap ayat-ayat
Alquran berbeda-beda.
2.
Penafsiran
Nabi Muhammad SAW berada pada posisi setelah
Alquran sebagai metode paling baik di dalam menafsirkan Alquran.
3.
Ulama berbeda
pendapat di dalam porsi penafsiran Nabi Muhammad SAW. Sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menafsirkan Alquran secara keseluruhan.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menafsirkan
sedikit ayat saja. Akan tetapi, pendapat yang diperhitungkan adalah Nabi
Muhammad SAW tidak menafsirkan Alquran keseluruhan dan tidak menafsirkan
Alquran sedikit saja. Nabi Muhammad SAW menafsirkan banyak ayat-ayat Alquran
tetapi tidak keseluruhan.
B.
Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Makalah ini juga masih dari
pembahasan tentang sejarah perkembangan tafsir pada masa Nabi beserta
problematikanya. Oleh karena itu, selain mengharapkan manfaat dari makalah ini,
penulis juga mengharapkan tulisan-tulisan lanjutan yang lebih kritis dan lebih
komprehensif di dalam membahas Sejarah Perkambangan Tafsir pada masa Nabi
Muhammad SAW.
