KONSEP MUSYAWARAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN
KONSEP MUSYAWARAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: MUHAMMAD HUSNAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alquran adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril. Alquran diturunkan selama kurang
lebih 23 tahun. Dalam kurun waktu yang singkat tersebut, Alquran membuktikan pengaruhnya
yang kuat kepada peradaban Arab.
Dalam menafsiri
berbagai syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan
syari’at tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa
memperhatikan adanya bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial
yang baik dalam masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang
baik tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat
baik sesama muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep
musyawarah.
Konsep musyawarah
merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an
keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu
rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam
bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat ,
konsep Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban
dalam kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat memilki hak
yang sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Dalam tulisan ini
akan membahas pentingnya konsep musyawarah yang sangat di tekankan dalam
al-Qur’an bahwa konsep Musyawarah tersebut merupakan tradisi umat muslim pada
masa nabi yang harus terus dilestarikan dalam tatanan kehidupan sekaligus
merupakan perintah Allah yang disampaikan kepada nabi sebagai salah satu
landasan syari’ah yang harus tetap ditegakan. terutama dalam kehidpan moderen
saat ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan sebelumnya,
pembahasan di makalah ini bisa dibatasi sebagai berikut,
1.
Apa pengertian Musha>warat?
2.
Apa perbedaan al-Shura dan
Demokrasi?
3.
Apa nilai-nilai yang
terkandung di dalam musyawarah?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian musha>warat.
2.
Menjelaskan perbedaan
antara al-shura dan demokrasi.
3.
Menjelaskan nilai-nilai
yang terkandung di dalam musyawarah.
D.
Manfaat
1.
Mengetahui pengertian musha>warat.
2.
Mengetahui perbedaan antara
al-shura dan demokrasi.
3.
Mengetahui nilai-nilai yang
terkandung di dalam demokrasi.
MUSHA>WARAT
DI DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Musha>warat
Akar kata musyawarah yang sudah
menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah شورى yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari
sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau
mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.[1]
Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang
berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk
lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara,
(berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat) musyawarah
dan mustasyir ( minta pendapat orang lain). jadi Syura adalah
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik, di sertai
dengan menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.
Pengertian ini terdapat pada tiga
tempat dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, dalam surat
Asy-Syura (26) ayat 38, ayat ini mengandung pujian atas orang yang
menerima seruan Allah SWT yang dibawa nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat
dengan baik, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian
rizki yang mereka proleh. Bermusyawarah merupkan sifat terpuji bagi orang yang
melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu
bernilai ibadah. ketiga yaitu surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat ini merupkan
perintah bagi nabi SAW, untuk melaksanakan musyawarah, bermusayawarah merupakan
ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.[2]
Pengertian
musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang minta pendapat kepada orang lain
tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam menentukan
keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk menerima saran yang diajukan. Salah satu
contoh musya warah yang baik yaitu yang terjadi pada hari tsaqifah. Para
sahabat berdialog dan berdebat untuk menentukan khalifah sebagai pengganti
kepemimpinan Nabi. Akhirnya, melalui perdebatan yang seru, disepakati untuk
menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Menurut
tema permasalahan, musyawarah dapat dibagi menjadi dua macam,
1. Musyawarah
khusus, yaitu musyawarah yang berkenaan dengan masalah-masalah pribadi. Sebagai
contoh, ketika nabi meminta pendapat sebagian sahabat tentang masalah Aisyah setelah
tersebarnya hadis ifki (berita bohong).
2. Musyawarah
umum, yaitu musyawarah tentang permasalahan umat, seperti peperangan, ekonomi,
politik, dan sebagainya.[3]
B. Ayat-ayat Musha>warat
dan Asba>b
al-Nuzu>lnya
Terdapat
dua ayat yang menjelaskan tentang musha>warat,
yaitu
surah Alu ‘Imran ayat 159 dan surah al-Shura ayat 38.
1. Surah
Alu Imran ayat 159,
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
“ Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat
ini turun dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar
memusyawarahakan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota
masyarakatnya. Akan tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap
muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan
anggota-anggotanya.[4]
2.
Surah
al-Shura ayat 38,
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
“dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim
Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Muhammad SAW dan menyepakati hal
tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub
al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umu, mencakup setiap kelompok
yang melakukan musyawarah.[5]
C. Penjelasan
Ayat
- Surah Alu Imran ayat 159
Pada ayat ini,
disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk dilakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah, yaitu sikap lemah
lembut, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Seseorang yang melakukan
musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar
serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyarah bertebaran pergi.[6]
Mari perhatikan kalimat
fa’fu anhum (maafkanlah mereka). Kata al-‘afw diambil dari akar
kata ‘ain, fa’, dan wawu. Makna dasarnya adalah meninggalkan sesuatu dan
memintanya.[7]
Kata ‘afwu berarti meninggalkan sanksi terhadapa ia yang bersalah
(memaafkan). Perlindungan Allah SWT dari keburukan juga dinamai afiat. Perlindungan
tersebut mengandung makna ketertutupan. Dari sini afw diartikan
menutupi.
Di sisi lain, orang
yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia member maaf,
karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Apabila hal itu masuk ke dalam
hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah
menjadi pertengkaran.[8]
- Surah al-Shura ayat 42
Ayat
ini memuat penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin, yaitu mengamalkan
perintah Allah SWT, yang dibawa Nabi SAW, mengerjakan shalat, memusyawarahkan
urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rezeki yang mereka peroleh.[9]
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan salah satu
bentuk ibadah dan sejajar dengan bentuk-bentuk ibadah yang lain.
Ayat
di atas termasuk dalam klasifikasi ayat Makkiyah, yaitu ayat yang turun di
Mekah atau sebelum umat Islam hijrah ke Madinah. Bahakan sebelum Islam datang,
masyarakat telah mengenal tradisi musyawarah. Oleh karenaitu, wajar kalau
al-Maraghi berpendapat bahwa musyawarah merupakan fitrah manusia. Pandangan
al-Maraghi ini dipaparkan ketika menafsirkan al-Baqarah 30 tentang keberatan
malaikat atas pengangkatan Adam sebagai khalifah fi muka bumi. Ia menambahakan
bahwa ayat ini termasuk mutasyabihat, Allah SWT, bermusyawarah bersam para
malaikat terkait hal tersebut. Itulas alasan al-maraghi berkesimpulan
musyawarah termasuk hal fitrah.
Menurut
Rahman, musyawarah bukanlah produk Alquran untuk kali pertama, malainkan
tuntunan dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Ia menambahkan bahwa
Alquran menggeser domain musyawarah dari institusi kesukuan menjadi institusi
komunitas karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[10]
Musyawarah
adalah salah satu kaidah syariat dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan.
al-Qurthubi berpandangan lebih jauh dengan mengatakan bahwa seorang yang
menjabat kepala Negara, tetapi tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan
agama haruslah dipecat.[11]
Pendapat ini menempatkan musyawarah dalam system politik sebagai salah satu
pranata kunci dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berkeadilan.
D. Shura dan Demokrasi
Al-Qur’an dan al-Sunnah
menetapkan bebrapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti
al-Shura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al-‘ibad,
dan lain seebagainya. Semua hal tersebut berkaitan dengan musyawarah dan
demokrasi.
Apabila membandingkan
antara musyawarah dan demokrasi, maka didapatkan tiga perbedaan antara
keduanya. Pertama, musyawarah diwajibkan oleh Islam tidak dapat
dibayangkan berwujud keputusan yang ditetapkan oleh penguasa dan atau keputusan
yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas, tetapi musyawarah berwujud
keputusan yang ditetapkan berdasarakan pandangan mayoritas. Yang menjadi
perbedaan adalah agama mengajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama
baik, maka yang dipilih adalah sisi yang lebih banyak banyak dan apabila
keduanya sama-sama buruk, maka yang dipilih adalah sisi yang lebih sedikit
buruknya.[12]
Kedua, dari
segi implikasi pengangkatan pimpinan terdapat juga perbedaan. Walapun
musyawarah dan demokrasi menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak
sosial, namun musyawarah di dalam Islam mengaitkannya dengan “Perjanjian
Ilahi”.[13]
Ketiga, di
dalam demokrasi sekuler, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Akan
tetapi di dalam musyawarah yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk
memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara
tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan
dengan prinsp-prinsip ajaran ilahi.[14]
E. Nilai-nilai Musyawarah
Musyawarah adalah salah
satu kaidah syariat dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. al-Qurthubi
berpandangan lebih jauh dengan mengatakan bahwa seorang yang menjabat kepala
Negara, tetapi tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama haruslah
dipecat.[15]
Pendapat ini menempatkan musyawarah dalam system politik sebagai salah satu
pranata kunci dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berkeadilan.
Muhammad
Abduh menyatakan bahwa fungsi elemnter musyawarah adalah membicarakan
kemashlahatan masyarakat dan masa depan pemerintahan. Dengan bermusyawarah,
rakyat menjadi terbiasa mengeluarkan pendapat dan menjalankan hasil olah
pendapat mereka karena orang dalam jumlah banyak yang bermusywarah akan jauh
dari melakukan kesalahan. Hal ini berbeda jika suatu urusan diserahkan hanya
kepada segelintir orang. Potensi bahaya dan kesalahan bagi umat lebih besar.
Sebab itulah ayat ali imran ini mewajibkan musyawarah demi terwujudnya keutuhan
dan kekuatan umat untuk mengerjakan yang makruf dan menjauhi yang mungkar.
Karena perintah tersebut bersifat umum, ia harus dilakukan bersama-sama oleh
umat dan penguasa.[16]
Perintah
musyawarah ini sengaja dihadirkan Alquran dalam sifat dan prinsip umum karena
hal ini terkait dengan persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan
perubahan. Rasanya sangat sulit jika perincian satu persoalan yang diterapkan
dalam satu masa atau masyarakat tertentu dengan cirri kondisi sosial budayanya,
harus diterapkan untuk masyarakat yang berbeda baik tempat maupun masa. Hal
yang sama terjadi dalam hal teknis bermusyawarah, khususnya dalam konteks
kehidupan politik.
Abd
Mu’in Salim memberi beberapa catatan penting menyangkut masalh ini. Pertama,
keputusan politik yang diambil melalui musyawarah menjadi hukum yang mengikat
seluruh warga, meski kedudukannya tidak sederajat dengan hukum yang diterapkan
Allah SWT dengan perantaraan wahyu dan rasul-Nya. Para mufasir biasanya
menjelaskan kuatnya ikatan ini dengan berdasarkan pada bunyi wa uli al-amri
minkum yang mengandung arti bahwa ketaatan terhadap pemimpin itu bersyarat,
yaitu sepanjang mereka mentaati Allah dan RasulNya.
Kedua,
faktanya keputusan-keputusan al-khulafa’ al-rasyidun sebagai
pemimpin ternyata tidak hanya terbatas pada masalah urusan keduniaan, tetapi
juga berkenaan dengan masalah-masalah keagamaan. Misalnya, keputusan Abu Bakat
untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan kodifikasi Alquran,
atau Umar bin Khattab yang melaksanakan tarawih secar berjamaah.
Ketiga,
setiap masalah kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan pada
tiga dimensi keagamaan; iman, islam, dan ihsan, oleh karena itu, setiap masalah
tidak cukup didekati secara normatif, tetapi juga harus dlihat secara holistic
menyangkut ketiga aspek tersebut.
Tentang
pola dan cara bermusyawarah, Alquran maupun Nabi SAW tidak meberi petunjuk
secara teknis apalagi perinciannya. Hal ini juga mengukuhkan pandangan di atas
bahwa pola cara bermusyawarah terus berkembang sehingga Alquran hanya
menyinggung aspek prinsipil semata. Dalam konteks ini,[17]
beri kebebasan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengubah keputusan itu sesuai
pendapat beliau sendiri. Nabi SAW bergeming pada keputusan itu ketika sepertiga
pasukan muslim di bawah Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik di Madinah
menarik diri dan kembali ke Madinah kerena menurut mereke lebih baik bertahan
di dalam kota. Setelah keputusan diambil dengan jalan musyawarah, semua orang
harus mentaatinya.[18]
Musayawarah
yang dilakukan oleh Nabi tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
urusan public, bahkan urusan pribadi atau individu, Nabi SAW juga melaksanakan
musyawarah. Hak menentukan pendapat sebenarnya adalah hak setiap warga masyarakat
sebagai warga Negara, bukan hak ekslusif kelompok tertentu.[19]
Nabi SAW tidak member
petunjuk secara terperinci terkait pola dan prosedur musyawarah. Demikian juga
dengan jumlah peserta musyawarah. Pada saat tertnetu beliau hanya bermusyawarah
atau meminta pendapat dari satu atau beberapa sahabat terdekat. Namun, apabila
masalahnya penting dan berdampak luas bagi kehidupan sosial masayarakat, beliau
bermusyawarah dengan sejumlah besar orang yang merupakan representas dari
berbagai macam golongan di masyarakat. [20]
Nilai-nilai
musyawarah telah ada dalam budaya Arab yang tersebar pada setiap kabilah.
Risalah Muhammad justru mengukuhkannya adalah hukum samawi sebagai kewajiban
kepada Allah dan Rasul-Nya. Keutamaan musyawarah terdapat dalam hadith:[21]
“
tidak bermusyawarah suatu kaum kecuali mereka diberi jalan keluar.”
Abu
hurairah berkata: aku tidak pernah melihat orang yang lebih sering
bermusyawarah dibandingkan para sahabat. Yang menjadi pertanyaan, masalah apa
saja yang harus dimusyawarahkan. Sayid rasid rida mengatakan: bermusyawarah
tentang masalah umum (seperti strategi perang, perdamaian, dan sebagainya) yang
menyangkut kemashlahatan bersama. Nabi member contoh dengan melakukan
musyawarah pada waktu menjelng perang uhud.
Dengan
bermusyawarah paling tidak akan terjadi tukar menukar pemikiran. Pemikiran
orang banyak tentu akan lebih baik dengan pemikiran seorang. Pelng berbahaya
kalau suatu masalah hanya diserahkan kepada satu orang saja.[22]
[1]Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan
Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaqpress, 2005), 154.
[2]Nina M.
Armando Dkk, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 329-330.
[4]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur;an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2014), 618-619.
[7]Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan
kitab Teror-Membanngun Perdamaian Berbasis Alquran, (Yogyakarta: Bentang,
2016), 214.
[8]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur;an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, 624.
[12]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur;an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, 636-637.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Ghofur, Waryono. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks. Yogyakarta:
Elsaqpress. 2005.
M. Armando, Nina, et. All., Ensiklopedia
Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005.
Qumaihah, Jabir. Beroposisi
Menurut Islam. Jogja: Gema Insani Press. 1989.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur;an Tafsir
Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2014.
Taufiq, Imam. Al-Qur’an Bukan kitab Teror-Membanngun
Perdamaian Berbasis Alquran. Yogyakarta: Bentang. 2016.
Comments
Post a Comment