DILEMA KEUMMIYAN NABI MUHAMMAD SAW
DILEMA KEUMMIYAN NABI MUHAMMAD
SAW
Oleh: Muhammad Husnan[1]
Alquran adalah Kitab
suci atau Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukil
secara mutawa>tir
di
mana membacanya akan diganjar dengan pahala. Kalam yang selain terucap dari Allah
SWT bukanlah Alquran. Kitab yang diberikan kepada selain Nabi Muhammad SAW
bukanlah Alquran. Selain itu pula, hanyalah membaca Alquran yang diganjar
dengan pahala.
Alquran adalah Kitab
terakhir yangn diturunkan oleh Allah SWT. Alquran adalah Kitab yang diturunkan
kepada Nabi terakhir yang dikenal dengan Nabi yang ummiy, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai Nabi yang tidak bisa membaca
dan menulis (ummiy).
Sedangkan di sisi lain,
ayat yang pertama kali turun adalah iqra’, “bacalah” yaitu sebuah
perintah untuk membaca. Ayat ini seakan bertentangan dengan sifat keummiyan
Nabi SAW. Orang yang tidak bisa membaca dan menulis diperintahkan untuk
membaca. Sehingga, Nabi SAW pun mempertanyakan “maa aqra’?” (apa yang
harus saya baca?) atau dalam suatu riwayat “maa ana biqari’in” (aku
bukanlah orang yang bisa membaca).
Apakah memang benar
makna ummiy adalah tidak bisa membaca dan menulis? Atau terdapat makna
lain ummiy selain tidak bisa membaca dan menulis?
Makna Ummiy
Sebagai landasan normatif,
Alquran menjelaskan Nabi yang ummiy pada surat al-A’ra>f ayat
157-158, sebagai berikut
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft tAqߧ9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìÒtur öNßg÷Ztã öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøn=tæ 4 úïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ ö@è% $ygr'¯»t ÚZ$¨Z9$# ÎoTÎ) ãAqßu «!$# öNà6ös9Î) $·èÏHsd Ï%©!$# ¼çms9 Ûù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ¾Çósã àMÏJãur ( (#qãYÏB$t«sù «!$$Î/ Ï&Î!qßuur ÄcÓÉ<¨Y9$# ÇcÍhGW{$# Ï%©!$# ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ¾ÏmÏG»yJÎ=2ur çnqãèÎ7¨?$#ur öNà6¯=yès9 crßtGôgs? ÇÊÎÑÈ
Artinya:
“157. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummiy (tidak
bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada pada mereka, yang menyuru mereka berbuat yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka
dan mengaharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman
kepadanya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung.
158. Katakanlah (Muhammad)
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang
memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berak disembah) selain
Dia, Yang mengidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya), ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.[2]
Kedua
ayat tersebut secara tegas menjelaskan bawa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang ummiy.
Akan tetapi, tidak menjelaskan secara tegas pula pada maksud dari ummiy
tersebut. Hal inilah yang membuat para penafsir berbeda pendapat terhadap
pemaknaan ummiy. Nabi Muhammad SAW, sebagai otoritas pertama yang
menjelaskan Alquran, bersabda,
"إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب"
“Sesungguhnya kita adala ummat yang ummiy,
yang tidak bisa menulis dan menghitung.”[3]
Ibnu
Jarir al-Tabariy di dalam kitabnya Ja>mi’u al-Baya>n ‘an
Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n, menjelaskan beberapa makna ummiy.
Makna ummiy adalah orang Yahudi dan orang Nasrani.
Menurut Abu Ja’far, sebagaimana dikuti al-Tabariy, yang dimaksud dengan ummiy
adala orang-orang yang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca. Sedangkan
menurut Ibrahim, sebagaimana dikutip al-Tabariy, ummiy adalah orang yang
tidak pandai atau tidak bagus dalam menulis.[4]
Quraish Shihab secara pasti menjelaskan bawa makna ummiy
adalah tidak pandai membaca dan menulis. Ia mendasarkan argumennya pada
sura al-Ankabut ayat 48, sebagai berikut,
$tBur |MZä. (#qè=÷Fs? `ÏB ¾Ï&Î#ö7s% `ÏB 5=»tGÏ. wur ¼çmÜèrB ÎYÏJuÎ/ ( #]Î) z>$s?ö^w cqè=ÏÜö6ßJø9$# ÇÍÑÈ
Artinya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca
sesuatu kitab sebelum (Al-Qur’an
) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu
kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis),
niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Ayat tersebut secara
pasti menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang tidak pandai membaca
dan menulis. Banyak ulama yang memahami bawa kendatipun kemudian Nabi SAW menganjurkan
umatnya belajar dan menulis, namun dirinya sendiri tidak melakukannya, karena
Allah SWT ingin menjadikan beliau sebagai bukti informasi yang diperolehnya
benar-benar bukan bersumber darinya, melainkan dari Alla SWT.[5]
Makna Iqra’
Ulama ahli ilmu Alquran
menyepakati bahwa ayat yang pertama kali turun adalah surah al-Alaq ayat 1 yang
berbunyi iqra’. Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW saat beruzla
di gua Hira melalui malaikat Jibril. Nabi SAW pada awalnya tidak bisa
menjawab atau mengkonfirmasi perintah Jibril, yaitu iqra’ sembari
berkata “maa aqra’” atau “maa ana biqari’’. Sampai pada kali yang
ketiga, Nabi SAW baru bisa membunyikan “Iqra’ bi ismi Rabbika al-ladziy
khalaq”.
Yang menarik dari
dialog antara Nabi Muhammad SAW dan malaikat Jibril adalah perkataan Nabi SAW “maa
aqra’” dan “maa ana biqari’in”. Apakah yang dimaksud dengan dua
kalimat tersebut adalah aku tidak bisa membaca? Atau apa yang harus saya baca?
Pemahaman seperti ini sejalan dan bahkan mempertegas ayat-ayat Alquran yang menyatakan
Nabi SAW adalah Nabi yang ummiy.
Khalil Abdul Karim,
sebagaimana dikutip Aksin Wijaya, menjelaskan bahwa jawaban Nabi SAW atas
perintah malaikat Jibril berarti menghafal, karena kata iqra’ berasal
dari kata qara’a yang bermakna menghafal, mengimpun, mengingat-ingat,
bukan membaca sebagaimana makna umum dipahami dari kata itu.[6]
Menurut Quraish Shihab,
iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, seingga tidak
selalu harus diartikan membaca teks tulis dengan aksara tertentu. Dari
mengimpun lair beraneka ragam makna, seeperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun
tidak.[7]
Apakah Nabi Muhammad
SAW Benar-benar tidak bisa Memebaca dan Menulis?
Kedua term yang dibahas
sebelumnya mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Pemaknaan
terhadap iqra’ akan berimplikasi terhadap makna ummiy itu sendiri.
Sebab, kedua hal ini tidak dapat dipisahkan untuk memahami makna ummiy.
Ummiy pada
Nabi Muhammad SAW selama ini bahwa ia merupakan Nabi yang tidak bisa membaca
dan menulis. Apakah Nabi SAW benar-benar tidak bisa membaca dan menulis? Oleh
karena itu, analisa yang diberikan oleh Dr. Aksin Wijaya menarik untuk diulas.
Sejarah mencatat,
ketika hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW menghadapi persoalan hubungan
anatara kaum Muhajirin dan Anshar, dan persoalan hubungan antara umat Islam
dengan bani-bani dan suku-suku di Madinah. Kedua persoalan tersebut diatasi
Nabi SAW dengan membuat perjanjian yang disebut dengan piagam Madinah, piagam yang
terdiri dari dua bentuk, yaitu antara Muhajirin dengan Anshar dan antara umat
Islam dengan bani-bani dan suku-suku di Madinah. Ketika kaum Yahudi di Madinah
tidak menyetujui ungkapan tertentu dalam piagam tersebut, Nabi SAW sendiri yang
menghapus dan menggantinya, serta menulis sendiri dengan pernyataan “ini adalah
piagam perjanjian antara saya dengan mereka.”[8]
Ayat-ayat yang melansir
term ummiy selama ini ditafsiri Muhammad sebagai buta huruf. Menurut
Aksin Wijaya, logika berpikir yang mengartikan Nabi SAW sebagai buta huruf,
justru merendahkan Nabi SAW sendiri dan juga merendahkan nilai Alquran sebagai
wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukankah nilai Alquran sebagai wahyu ilahi itu
akan lebih mulia andaikata diturunkan kepada manusia yang sempurna, yang bukan
hanya pandai beretorika, menghafal, tetapi juga membaca dan menulis.[9]
“Iqra’” dalam
dialog antara malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad SAW tidak disebutkan objek
yang harus dibaca. Sebab tidak adanya objek yang harus dibaca, tetapi Jibril
terus meminta Nabi SAW untuk membaca, maka objeknya adalah realitas. Jika objek
suatu kata kerja atau yang lainnya tidak disebut dalam tatanan bahasa Arab,
maka objeknya bersifat umum. Objek yang dimaksud dalam dialog tersebut adala
realitas masyarakat Arab.[10]
Senada dengan Aksin
Wijaya, iqra’ menurut Quraish berarrti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketauilah cirri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacala tanda-tanda zaman, sejarah
diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra’
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[11]
Oleh karena itu, bisa
dipahami bahwa makna kalimat “maa aqra’” dan “maa ana biqari’in”
bukanlah suatu pernyataan Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis,
tetapi pertanyaan “apa yang harus saya baca”. Menurut hemat penulis, Nabi
Muhammad tidak bisa membaca dan menulis pada saat sebelum diutus menjadi Rasul,
tidak setelah diutus menjadi Rasul.
[1]Penulis adalah mahasiswa Ilmu
Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya dan menjabat sebagai Koordinator
Humas KOMPAQ UIN Surabaya.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[3]Muhammad al-Husain bin Mas’ud
al-Baghawiy, Ma’a>lim al-Tanzi>l,
Juz 3, (Riya>dh: Da>r T{aibah, 1989), 288.
[4]Selengkapnya lihat Ibnu
Jari>r al-T{abariy, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A<yi
al-Qur’an, Juz 2, (Hijr: Da>r H{ijr, 2001), 153-154.
[5]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2000), 45.
[6]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi
Ulum Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 44.
[7]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.
[8]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi
Ulum Al-Qur’an,45.
[11]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,5.
Comments
Post a Comment