Sejarah Perkembangan Tafsir di Arab Saudi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Alquran adalah kitabun yahtamilu wujuha al-ma’ani, kitab yang mengandung beberapa makna. Beribu-ribu tulisan dan karya lahir dengan adanya Alquran ini. Pengaruh yang sangat kuat dari Alquran membuat kekayaan khazanah intelektual semakin berkembang.
Makkah dan Madinah atau sekarang yang dikenal dengan Arab Saudi, adalah dua kota sebagai tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT. Menjadi sebuah keniscayaan apabila di dua kota tersebut, perkembangan Tafsir mulai muncul. Akan tetapi, hanya terbatas pada wilayah tertentu saja yang bisa dijamah untuk ditafsirkan.
Yang menarik adalah Arab Saudi sebagai tempat awal munculnya benih-benih penafsiran, dinamika tafsir di sana tidak sepesat dinamika tafsir di Timur Tengah, seperti Mesir yang melahirkan banyak mufassir terkenal. Tidak banyak mufassir terkenal yang muncul di Arab Saudi.
B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan sebelumnya, pembahasan di makalah ini bisa dibatasi sebagai berikut,
1.      Bagaimana geografis Arab Saudi?
2.      Siapa mufassir Arab Saudi pada periode klasik?
3.      Siapa mufassir Arab Saudi pada periode modern?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan letak geografis Arab Saudi.
2.      Menjelaskan tokoh-tokoh tafsir Arab Saudi periode klasik.
3.      Menjelaskan tokoh-tokoh tafsir Arab Saudi periode Modern.

D.    Manfaat
1.      Mengetahui letak geografis Arab Saudi.
2.      Mengetahui tokoh-tokoh tafsir Arab Saudi periode klasik.
3.      Mengetahui tokoh-tokoh tafsir Arab Saudi periode modern.



BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
DI ARAB SAUDI
A.    Geografis Arab Saudi
Arab Saudi atau Saudi Arabia adalah Negara Arab yang terletak di jazirah Arab yang iklimnya adalah gurun dan sebagian besar wilayahnya terdiri atas gurun pasir. Arab Saudi adalah Negara di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Pada masa dahulu Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian, yaitu daerah Hijaz yang merupakan daerah pesisir semenanjung Arab yang terdiri dari kota Makkah, Madinah, Jeddah, dan daerah gurun Najd. Pada masa awal perkembangan Islam, pemerintahan Arab Saudi dipusatkan di Madinah sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai masa pemerintahan Uthman bin ‘Affan yang kemudian dipindah ke Kufah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib dan berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmaniyah di Turki.
Pemerintahan Arab Saudi bermula pada tahun 1750 Masehi, ketika Muhammad bin Sa’ud berkonspirasi bersama Muhammad bin Abd al-Wahhab untuk memurnikan agama Islam. Abd al-Aziz bin Sa’ud melanjutkan pemerintahan mereka dengan hasil menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang sebelumnya dikuasai Sharif Husain dengan Najd.[1]
Pada tahun 1932 Masehi, Abd al-Aziz bin Abd al-Rahman al-Sa’ud memproklamasikan berdirinya Negara Arab Saudi secara resmi. Dalam perkembangannya, gerakan pemurnian agama yang dipelopori Ibn Abd al-Wahhab tumbuh subur di kalangan masyarakat luas sejak pertengahan Abad 18/19. Ibn abd al-Wahhab menekankan pengajaran keesaan Allah SWT dalam praktik ritual dan melarang praktik berdoa kepada orang yang suci, yang mana pada masa itu tersebar luas di semenanjung tersebut. Ia mengajak orang-orang untuk berperilaku yang sesuai dengan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ditafsirkan oleh generasi awal Islam.[2]
Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provnsi, yaitu Bahah, Hudud, al-Shamaliyah, Jawf, Madinah, Qasim, Riyad, Sharqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), ‘Asir, Ha’il, Makkah, Najran, dan Tabuk.[3]           

B.     Perkembangan Tafsir di Arab Saudi
Dinamika Tafsir di Arab Saudi tidak sepesat dinamika tafsir yang terjadi di Timur Tengah. Terutama dinamika tafsir yang terjadi di Arab Saudi pada masa modern. Hanya segelintir mufassir saja yang bisa dilacak eksistensinya beserta karya yang ia buahkan pada masa modern. Hal ini berbanding terbalik dengan dinamika tafsir yang terjadi di Timur Tengah, Mesir umpamanya, yang banyak ditemukan mufassir-mufassir baik pada masa pertengahan maupun masa kontemporer.
Periodisasi perkembangan Tafsir di Arab Saudi terbagi menjadi tiga, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Periode klasik adalah permulaan perkembangan Tafsir di Arab Saudi di mana muncul mufassir-mufassir dari kalangan para sahabat, di antaranya adalah Ibnu Abbas. Memasuki periode pertengahan, perkembangan Tafsir di Arab Saudi mengalami kejumudan, sehingga penyusun makalah tidak bisa melacak data-data yang terkait dengan perkembangan Tafsir pada periode ini. Pada periode modern, muncul beberapa mufassir modern, seperti Ali al-Shabuniy, Abdul Wahbah al-Zuhailiy, Syaikh Nawawi al-Banteniy, dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah penjelasan perkembangan Tafsir yang terjadi di Arab Saudi dengan tiga fase periodenya, tetapi minus penjelasan perkembangan Tafsir di Arab Saudi pada periode pertengahan yang data-datanya sulit untuk dilacak.
1.      Periode Klasik

Muhammad Husain al-Dzahabiy di dalam kitabnya Tafsir wa al-Mufassirun membagi periodisasi Alquran kepada tiga periode yaitu, Tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat, Tafsir pada masa Tabi’in, dan Tafsir pada masa tadwin (kodifikasi). Dari periodisasi al-Dzahabiy tersebut, perkembangan Tafsir pada masa klasik berarti perkembangan Tafsir yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, Sahabat, dan Tabi’in.[4]
Awal mula perkembangan tafsir adalah pada masa Nabi Muhammad SAW, di mana beliau diberi tugas untuk menjelaskan Alquran.[5] Beliau adalah the first interpreter of the Qur’an[6], yaitu orang yang pertama kali menafsirkan Alquran. Otoritas tertinggi dalam menafsirkan Alquran dipegang oleh Nabi Muhammad SAW pada saat beliau masih hidup. Para sahabat tidak berani menafsirkan Alquran. Mereka bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW, ketika suatu permasalahan terjadi pada mereka.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, penafsiran terhadap Alquran mengalami sedikit perkembangan pada masa Sahabat. Mereka adalah orang yang paling paham akan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran. Mereka juga adalah orang yang menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.
Para Sahabat dapat memahami Alquran secara global berdasarkan kemampuan bahasa Arab mereka. Sedangkan pemahaman secara detail atas Alquran, mereka kembali kepada penjelasan Nabi Muhammad SAW, berupa Hadith atau Sunnah.[7] Hal ini berimplikasi kepada pemahaman bahwa Alquran dan Hadith tidak bisa dipisahkan dalam konteks penafsiran, karena keduanya adalah satu kesatuan yang melengkapi.
Para sahabat yang terkenal ahli dalang penafsiran adalah Abdullah Ibnu Abbas (w. 687 M), Abdullah Ibnu Mas’ud (w. 653 M), Ubay bin Ka’ab (w. 640 M), dan Zayd bin Thabit (w. 665 M).[8] Sementara menurut Manna’ Khalil al-Qaththan dalam kitabnya Mabahith fi Ulum al-Qur’an, bahwa sahabat yang terkemuka dalam penafsiran Al-Qur’an ada 10 orang, yaitu khalifah yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Ay’ari, dan Abdullah bin Zubair.[9]
Pada masa Sahabat, pola dan episteme yang digunakan tidak jauh berbeda dengan masa Nabi Muhammad SAW. Tafsir pada masa ini masih disampaikan sebatas secara oral atau riwayat yang diterima.[10]
Pada masa Tabi’in, metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para Tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini, muncul beberapa madrasah untuk kajian Tafsir di antaranya, yaitu
a.       Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu ‘Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, ‘Ikrimah Maula ibnu ‘Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
  1. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan mufassir seperti Zaid bin Aslam, Abu al-‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurodli.
  2. Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Alqamah bin Qois, Hasan al-Basry dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusiy.[11]
Tafsir Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas adalah mufassir yang dianggap paling terkemuka dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya. Ibnu Abbas mempunyai gelar turjuman al-Qur’an (penerjemah al-Qur’an) dan dianggap sebagai peletak dasar disiplin ilmu Tafsir.[12] Factor-faktor yang menjadikan Ibnu Abbas sangat menonjol dalam bidang Tafsir dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya adalah sebagai berikut,
1.      Berkat doa Nabi Muhammad SAW “Ya Allah berilah pemahaman dia dalam agama dan ajarkan kepadanya takwil”.
2.      Ia dekat dengan khalifah Umar bin Khattab yang selali memotivasinya untuk menekuni bidang Tafsir.
3.      Intensitasnya dalam mengambil ilmu kepada sahabat-sahabat yang lain.
4.      Kekuatan dan ketajaman Ibnu Abbas dalam beristinbat dan berijtihad.
5.      Sangat serius dalam menekuni bidang Tafsir.[13]
Ibnu Abbas mempunyai karya Tafsir yang terkenal, yaitu kitab Tanwiru al-Miqbas min Tafsiri Ibni ‘Abbas. Kitab ini hanya berjumlah satu jilid saja. Dilihat dari penafsiran-penafsirannya yang singkat, bisa diketahui bahwa Ibnu Abbas menggunakan metode ijmaliy dalam menafsirkan Alquran, seperti penafsirannya terhadap surah al-Baqarah ayat 5 sebagai berikut,
“(Mereka) kelompok sifat ini (berada pada petunjuk dari Tuhan mereka) atas kemuliaan, rahmat, dan penjelasan yang turun dari Tuhan mereka (mereka adalah orang-orang yang beruntung) orang yang beruntung dari murka dan siksa. Dikatakan mereka adalah orang-orang yang mampu, mendapatkan apa yang mereka cari, dan bisa lari dari kejelekan sesuatu. Mereka adalah sahabat Nabi Muhammad SAW.”[14]
2.      Periode Modern
Menurut Abdul Mustaqim, periode modern dimulai dari abad 12-13 Hijriyah atau 18-21 Masehi.[15] Istilah modern (al-hadith) mengacu pada sesuuatu yang terkini dan yang baru dan istilah kontemporer berarti pada masa kini atau dewasa ini. Kedua istilah ini mempunyai kemiripan makna, bahkan sinonim.[16]
Pada masa ini, muncul beberapa mufassir modern/kontemporer di Arab Saudi. Hal ini merupakan sebuah dinamika positif yang terjadi dalam penafsiran di Arab Saudi. Mufassir-mufassir modern/kontemporer di Arab Saudi adalah sebagai berikut,
a.       Abd al-Rah}man al-Sa’diy
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rah}man bin Nas}ir bin Abd Allah al-Sadi al-Nas}iri al-Tamimi yang termasuk salah satu ulama pengikut imam Hanbaliy. Ia dilahirkan di kota Unaizah yang terlak di Qasim dari ahli Najd pada tanggal 12 Muharrom 1307 Hijriyah. Ibunya wafat pada saat dia berumur empat tahun dan ayahnya wafat pada saat dia berumur duabelas tahun. Pada umur empatbelas tahun, dia masuk ke madrasah tahfidz al-Qur’an. Kemudian ia menyibukkan diri untuk mencari ilmu Tauhid, Tafsir, Hadith Fikih, Ushul Fiqh, Nahwu, dan lain sebagainya. Kemudian dia menjadi guru yang mana ia belajar dan mengajar, sehingga ia dikenal dengan keilmuannya. Para pencari ilmu menghadapnya dan menerima ilmu dan pengetahuan darinya. Dia wafat pada hari Kamis 22 Jumadil akhir tahun 1376 Hijriyah di Unaizah.[17]
Di antara karya-karyanya adalah Taisir al-karim al-Rahman fi Tafsiri Kalami al-mannan, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulasati Tafsiri al-Qur’an, Al-Qawaid al-Hisan li-Tafsiri al-Qur’an, al-Dalail al-Qur’aniyyah fi anna al-Uluma wa al-A’mala al-Nafi’ata al-‘Ishriyyah Dakhilatan fi al-Din, dan lain sebagainya.[18]
Kitab Tafsir Al-Sa’diy ini adalah kitab tafsir yang menjelaskan firman Allah SWT dengan ringkas. Dia mencukupkan untuk mengurai makna-makna bahasa, menjelaskan makna yang dimaksud, dan cukup menggunakan perkataan ulama terdahulu untuk mengurai makna-makna Alquran al-Karim dan menafsirkannya. Dia menggunakan metode salafiy, pengikut Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.[19]
b.      Muhammad Ali al-Shabuniy
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil al-Shabuniy. Dia merupakan salah satu dosen di Fakultas Syariah dan Dirasah Isla, di Makkah al-Mukarromah. Dia dilahirkan di kota Halb pada tahun 1347 Hijriyah/ 1928 Masehi. Dia keluar dari Madrasah di Syuria dan melanjutkan studinya di al-Azhar. Dia mendapat gelar LC pada tahun 1952 M. Kemudian ia melanjutkan ke program S2 dalam bidang al-Qad}a al-Shar’i utusan dari kementrian wakaf Suria, dan selesai pada tahun 1954.
Ali al-Shabuniy sangat produktif dalam menulis. Dia mempunyai banyak karya, di antaranya adalah kitab Shafwatu al-Tafsir, Mukhtashar Ibnu Kathir,Mukhtashar al-Thabariy, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, Rawai’u al-Bayan fi Tafsiri Ayati al-Ahkam, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, dan lain sebagainya.[20]
Sahfwatu al-Tafsir adalah kitab yang ijaz yang mencakup seluruh ayat-ayat Alquran, sebagaimana yang tercantum di judul kitab yaitu mengumpulkan antara yang ma’thur dan yang ma’qul yang bersumber dari beberapa kitab Tafsir, seperti al-Thabariy, al-Kasysyaf, al-Alusiy, Ibnu Kathir, al-Bahru al-Muhit, dan lain sebagainya dengan menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami, dan menyantumkan hadith, beserta memperhatikan aspek penjelsan dan bahasa.[21]
Metode yang digunakan Ali al-Shabuniy dalam menafsirkan Alquran, pertama memberikan pendahuluan surat secara global yang menjelskan tujuan-tujuan dasar surat tersebut dengan penjelasan yang singkat. Kedua menghubungkan antara beberapa ayat sebelumnya atau sesudahnya. Ketiga adalah bahasa, menyebutkan pengambilan katanya dan aspek-aspek bahasa lainnya. Keempat adalah sebab turunnya ayat. Jika sebabnya diketahui, maka pembaca akan mengetahui musabbabnya. Kelima adalah tafsir, karena mengetahui makna dan tujuan bisa sempurna dengannya. Keenam adalah Balaghah. Ketujuh adalah faidah-faidah dan pelajaran-pelajaran.[22]
c.       Abd al-Wahbah al-Zuhailiy
Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Syaikh Mushtafa al-Zuhailiy yang merupakan ulama di negeri Syam. Dilahirkan di Negeri Dir Athiyyah yang terletak di pinggir Damaskus (Syuria) pada tahun 1932 Masehi. Ayahnya, Syaikh Mushtafa Al-Zuhailiy adalah petani yang hafal Alquran, mempunyai semangat yang besar di dalam agama Allah SWT dan menjaganya, banyak beribadah dan puasa, dan bercita-cita tinggi.
Al-Zuhailiy, ibtidaiyahnya belajar di negerinya dan kuliah di Fakultas Syariah di Damaskus. Dia lulus pada tahun 1953. Dia mendapat gelar di Fakultas Syariah al-Azhar pada tahun 1956 Masehi.
Al-Zuhailiy merupakan ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Di antara karya-karya adalah Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Al-Tafsir al-Munir, Tafsir al-Wajiz, al-Washaya wa al-Waqfu, dan lain sebagainya. [23]
Tafsir al-Munir adalah kitab tafsir yang mencakup kepada semua Alquran, baru dan mencakup yang ma’thur dan ma’qul, gaya bahasa, pemikiran, dan judul yang terkini, bahasa yang mudah, ungkapan jelas, mendekatkan makna dan akidah, dan karakteristik-karakteristik lainnya.[24]
   Metode yang dia pakai adalah menafsirkan beberapa ayat yang mempunyai hubungan maknanya. Setiap kumpulan dari beberapa ayat tersebut yang sulit maknanya ditafsiri dengan menggunakan beberapa pendakatan, yaitu pendekatan bahasa untuk menjelaskan kosa kata di dalam Alquran, Tafsir dan Bayan yang merupakan sebuah gambaran dari kandungan ayat, dan Fikihnya kehidupan dan hukum dengan menyimpulkan beberapa ayat yang berkaitan dengan urusan kehidupan dalam beramal dan praktek.[25]
d.      Syaikh Nawawi al-Banteniy al-Jawiy
Nama lengkpanya adalah Muhammad bin Umar bin Arabiy bin Ali Nawawi al-Jawi. Dia adalah seorang mufassir, sufi, dan fukaha’ yang bermadzhab Syafi’y. Dia hijrah ke Makkah yang dikenal dengan negeri Hijaz. Dia mempunyai banyak karangan dalam pembahasan Fikih, tata karma, Tafsir, Ushuluddin, tasawwuf, dan selain tersebut yang terhitung berjumlah 38 karangan. Dia wafat pada tahun 1316 Hijriyah di Makkah.[26]
Di antara karya-karya Syaikh Nawawi al-Jawiy adalah Muraqiy al-‘Ubudiyyah Syarhu Bidayati al-Hidayah, Qami’u al-Tughyan ‘ala Mandzhumati Syu’abi al-Iman, Qatru al-Ghaith fi Syarhi Masaili Abi al-Laith, Uqudu al-Lijjain fi Bayani Huquqi al-Zaujain, Syarhu Fathi al-Rahman fi Tajwidi al-Quran, Kasyifatu al-Saja fi Syarhi Safinati al-Najati, dan lain sebagainya.[27] Bahkan kalau dinisbahkan dengan Negara kelahirannya Indonesia, terdapat dua kitab Fikihnya yang dikenal dengan S-2, yaitu Sullam Safina.
Tafsir Marahu Labid ini mencakup semua ayat dengan menggunakan penafsiran yang ijaz dan tidak bercorak isyari, tetapi tafsir secara jelas dan terang. Beberapa keistimewaan kitab ini adalah menyebutkan makna-makna surat dan nama-namanya dengan bentuk khusus dan menjelaskan kandungan apa saja yang tersirat di dalamnya,[28] seperti contoh surah al-Kafirun, dia berkata: “Dinamakan juga dengan surat al-Munabidzah atau al-Mu’abidah” dan surat al-Ikhlas yang maksudnya adalah iklas beribadah.
Metode yang dipakai al-Nawawi al-Jawi adalah memulai dengan menyubutkan nama surat beserta Makkiyyah atau Madaniyahnya, jumlah ayatnya, dan jumlah kalimatnya. Kemudian menafsirkannya kata per kata dengan menggunakan kalimat yang ringkas dan jelas, beserta mengisyaratkan kepada kebenaran ayat dan cara mempraktekkannya.[29]



[1]Riri Fitria, “Pemetaan Karya Tafsir di Arab Saudi”, Jurnal Mutawatir, (Vol. 1, Nomor 2, Desember 2011), 124.
[2] Ibid., 125. 
[3]Ibid., 126.
[4]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2014), 40.
[5]Muhammad Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kuwait: Dar al-Nawadir, 2010), 28.
[6]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,41.
[7]Ibid., 55.
[8]Ibid., 55.
[9]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), 11.
[10]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, 55.
[11]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, 11.
[12]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,55.
[13]Ibid., 55-56.
[14]Abdullah bin Abbas, Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 5.
[15]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,145.
[16]Ibid., 145.
[17]Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, (Tahran: al-Irsyad al-Islamiy, 1964), 703.
[18]Ibid., 703.
[19]Ibid., 703-704.
[20]Ibid., 873.
[21]Ibid., 873-874.
[22]Abdul Qadir Muhammad Shalih, Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-‘Ashri al-Hadith, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), 184-185. 
[23]Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1191-1192.
[24]Selengkapnya lihat Ibid., 1192.
[25]Ibid., 1194.
[26]Ibid, 1075. Muhammad Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 4.
[27]Lihat Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1075. Muhammad Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran al-Majid,4.
[28]Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1076.
[29]Ibid., 1076.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Perkembangan Tafsir di Arab Saudi sebenarnya sangat menarik untuk dikaji, karena Arab Saudi adalah tempat di mana wahyu diturunkan. Makalah ini, sudah membahsanya secara singkat dan padat. Benang merah dari penjelasan makalah ini sebagai berikut,
1.      Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provnsi, yaitu Bahah, Hudud, al-Shamaliyah, Jawf, Madinah, Qasim, Riyad, Sharqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), ‘Asir, Ha’il, Makkah, Najran, dan Tabuk.
2.      Para sahabat yang terkenal ahli dalang penafsiran adalah Abdullah Ibnu Abbas (w. 687 M), Abdullah Ibnu Mas’ud (w. 653 M), Ubay bin Ka’ab (w. 640 M), dan Zayd bin Thabit (w. 665 M). Ibnu Abbas adalah sahabat yang paling terkenal ahli dalam bidang tafsir dengan bergelar turjumanu al-Qur’an
3.      Di antara tokoh-tokoh tafsir pada periode modern adalah Abd al-Rahman al-Sa’diy, Muhammad Ali al-Shabuniy, Abdul Wahbah al-Zauhailiy, dan Syaikh nawawi al-Banteni al-Jawi. 

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan para pembaca benar-benar memahami dan mengetahui luas tentang dinamika tafsir yang terjadi di Arab Saudi, karena begitu pentingnya pengetahuan ini dengan kaitannya kepada khazanah keilmuan tafsir.

Comments

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB