Sejarah Perkembangan Tafsir di Arab Saudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alquran adalah kitabun
yahtamilu wujuha al-ma’ani, kitab yang mengandung beberapa makna.
Beribu-ribu tulisan dan karya lahir dengan adanya Alquran ini. Pengaruh yang
sangat kuat dari Alquran membuat kekayaan khazanah intelektual semakin
berkembang.
Makkah dan Madinah
atau sekarang yang dikenal dengan Arab Saudi, adalah dua kota sebagai tempat
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT. Menjadi sebuah keniscayaan
apabila di dua kota tersebut, perkembangan Tafsir mulai muncul. Akan tetapi,
hanya terbatas pada wilayah tertentu saja yang bisa dijamah untuk ditafsirkan.
Yang menarik adalah
Arab Saudi sebagai tempat awal munculnya benih-benih penafsiran, dinamika
tafsir di sana tidak sepesat dinamika tafsir di Timur Tengah, seperti Mesir
yang melahirkan banyak mufassir terkenal. Tidak banyak mufassir terkenal yang
muncul di Arab Saudi.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan sebelumnya,
pembahasan di makalah ini bisa dibatasi sebagai berikut,
1.
Bagaimana geografis Arab
Saudi?
2.
Siapa mufassir Arab Saudi
pada periode klasik?
3.
Siapa mufassir Arab Saudi
pada periode modern?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan letak geografis
Arab Saudi.
2.
Menjelaskan tokoh-tokoh
tafsir Arab Saudi periode klasik.
3.
Menjelaskan tokoh-tokoh
tafsir Arab Saudi periode Modern.
D.
Manfaat
1.
Mengetahui letak geografis
Arab Saudi.
2.
Mengetahui tokoh-tokoh
tafsir Arab Saudi periode klasik.
3.
Mengetahui tokoh-tokoh
tafsir Arab Saudi periode modern.
BAB II
SEJARAH
PERKEMBANGAN TAFSIR
DI ARAB
SAUDI
A.
Geografis Arab Saudi
Arab Saudi atau Saudi Arabia adalah Negara Arab
yang terletak di jazirah Arab yang iklimnya adalah gurun dan sebagian besar
wilayahnya terdiri atas gurun pasir. Arab Saudi adalah Negara di mana Nabi
Muhammad SAW dilahirkan sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Pada masa dahulu
Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian, yaitu daerah Hijaz yang merupakan daerah
pesisir semenanjung Arab yang terdiri dari kota Makkah, Madinah, Jeddah, dan
daerah gurun Najd. Pada masa awal perkembangan Islam, pemerintahan Arab Saudi
dipusatkan di Madinah sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai masa pemerintahan
Uthman bin ‘Affan yang kemudian dipindah ke Kufah pada masa pemerintahan Ali
bin Abi Talib dan berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmaniyah di Turki.
Pemerintahan Arab Saudi bermula pada tahun 1750
Masehi, ketika Muhammad bin Sa’ud berkonspirasi bersama Muhammad bin Abd
al-Wahhab untuk memurnikan agama Islam. Abd al-Aziz bin Sa’ud melanjutkan
pemerintahan mereka dengan hasil menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang
sebelumnya dikuasai Sharif Husain dengan Najd.[1]
Pada tahun 1932 Masehi, Abd al-Aziz bin Abd
al-Rahman al-Sa’ud memproklamasikan berdirinya Negara Arab Saudi secara resmi.
Dalam perkembangannya, gerakan pemurnian agama yang dipelopori Ibn Abd
al-Wahhab tumbuh subur di kalangan masyarakat luas sejak pertengahan Abad
18/19. Ibn abd al-Wahhab menekankan pengajaran keesaan Allah SWT dalam praktik
ritual dan melarang praktik berdoa kepada orang yang suci, yang mana pada masa
itu tersebar luas di semenanjung tersebut. Ia mengajak orang-orang untuk
berperilaku yang sesuai dengan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana ditafsirkan oleh generasi awal Islam.[2]
Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provnsi,
yaitu Bahah, Hudud, al-Shamaliyah, Jawf, Madinah, Qasim, Riyad, Sharqiyah, Arab
Saudi (Provinsi Timur), ‘Asir, Ha’il, Makkah, Najran, dan Tabuk.[3]
B.
Perkembangan Tafsir
di Arab Saudi
Dinamika Tafsir di
Arab Saudi tidak sepesat dinamika tafsir yang terjadi di Timur Tengah. Terutama
dinamika tafsir yang terjadi di Arab Saudi pada masa modern. Hanya segelintir
mufassir saja yang bisa dilacak eksistensinya beserta karya yang ia buahkan
pada masa modern. Hal ini berbanding terbalik dengan dinamika tafsir yang
terjadi di Timur Tengah, Mesir umpamanya, yang banyak ditemukan
mufassir-mufassir baik pada masa pertengahan maupun masa kontemporer.
Periodisasi
perkembangan Tafsir di Arab Saudi terbagi menjadi tiga, yaitu periode klasik,
pertengahan, dan modern. Periode klasik adalah permulaan perkembangan Tafsir di
Arab Saudi di mana muncul mufassir-mufassir dari kalangan para sahabat, di
antaranya adalah Ibnu Abbas. Memasuki periode pertengahan, perkembangan Tafsir
di Arab Saudi mengalami kejumudan, sehingga penyusun makalah tidak bisa melacak
data-data yang terkait dengan perkembangan Tafsir pada periode ini. Pada
periode modern, muncul beberapa mufassir modern, seperti Ali al-Shabuniy, Abdul
Wahbah al-Zuhailiy, Syaikh Nawawi al-Banteniy, dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah
penjelasan perkembangan Tafsir yang terjadi di Arab Saudi dengan tiga fase
periodenya, tetapi minus penjelasan perkembangan Tafsir di Arab Saudi pada
periode pertengahan yang data-datanya sulit untuk dilacak.
1.
Periode Klasik
Muhammad Husain
al-Dzahabiy di dalam kitabnya Tafsir wa al-Mufassirun membagi
periodisasi Alquran kepada tiga periode yaitu, Tafsir pada masa Nabi Muhammad
SAW dan Sahabat, Tafsir pada masa Tabi’in, dan Tafsir pada masa tadwin (kodifikasi).
Dari periodisasi al-Dzahabiy tersebut, perkembangan Tafsir pada masa klasik
berarti perkembangan Tafsir yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, Sahabat,
dan Tabi’in.[4]
Awal mula
perkembangan tafsir adalah pada masa Nabi Muhammad SAW, di mana beliau diberi
tugas untuk menjelaskan Alquran.[5]
Beliau adalah the first interpreter of the Qur’an[6],
yaitu orang yang pertama kali menafsirkan Alquran. Otoritas tertinggi dalam
menafsirkan Alquran dipegang oleh Nabi Muhammad SAW pada saat beliau masih
hidup. Para sahabat tidak berani menafsirkan Alquran. Mereka bertanya langsung
kepada Nabi Muhammad SAW, ketika suatu permasalahan terjadi pada mereka.
Setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, penafsiran terhadap Alquran mengalami sedikit perkembangan pada masa
Sahabat. Mereka adalah orang yang paling paham akan bahasa Arab sebagai bahasa
Alquran. Mereka juga adalah orang yang menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW.
Para Sahabat dapat
memahami Alquran secara global berdasarkan kemampuan bahasa Arab mereka.
Sedangkan pemahaman secara detail atas Alquran, mereka kembali kepada
penjelasan Nabi Muhammad SAW, berupa Hadith atau Sunnah.[7]
Hal ini berimplikasi kepada pemahaman bahwa Alquran dan Hadith tidak bisa
dipisahkan dalam konteks penafsiran, karena keduanya adalah satu kesatuan yang
melengkapi.
Para sahabat yang
terkenal ahli dalang penafsiran adalah Abdullah Ibnu Abbas (w. 687 M), Abdullah
Ibnu Mas’ud (w. 653 M), Ubay bin Ka’ab (w. 640 M), dan Zayd bin Thabit (w. 665
M).[8]
Sementara menurut Manna’ Khalil al-Qaththan dalam kitabnya Mabahith fi Ulum al-Qur’an,
bahwa sahabat yang terkemuka dalam penafsiran Al-Qur’an ada 10 orang, yaitu
khalifah yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Ay’ari, dan Abdullah bin Zubair.[9]
Pada masa Sahabat,
pola dan episteme yang digunakan tidak jauh berbeda dengan masa Nabi Muhammad
SAW. Tafsir pada masa ini masih disampaikan sebatas secara oral atau riwayat
yang diterima.[10]
Pada masa Tabi’in,
metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa
sahabat, karena para Tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini,
muncul beberapa madrasah untuk kajian Tafsir di antaranya, yaitu
a. Madrasah
Makkah atau Madrasah Ibnu ‘Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti
Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, ‘Ikrimah Maula ibnu ‘Abbas, Towus
Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan mufassir seperti Zaid bin Aslam, Abu al-‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurodli.
- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Alqamah bin Qois, Hasan al-Basry dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusiy.[11]
Tafsir Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas adalah
mufassir yang dianggap paling terkemuka dibandingkan dengan sahabat-sahabat
lainnya. Ibnu Abbas mempunyai gelar turjuman al-Qur’an (penerjemah
al-Qur’an) dan dianggap sebagai peletak dasar disiplin ilmu Tafsir.[12]
Factor-faktor yang menjadikan Ibnu Abbas sangat menonjol dalam bidang Tafsir
dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya adalah sebagai berikut,
1. Berkat
doa Nabi Muhammad SAW “Ya Allah berilah pemahaman dia dalam agama dan ajarkan
kepadanya takwil”.
2. Ia
dekat dengan khalifah Umar bin Khattab yang selali memotivasinya untuk menekuni
bidang Tafsir.
3. Intensitasnya
dalam mengambil ilmu kepada sahabat-sahabat yang lain.
4. Kekuatan
dan ketajaman Ibnu Abbas dalam beristinbat dan berijtihad.
5. Sangat
serius dalam menekuni bidang Tafsir.[13]
Ibnu Abbas mempunyai karya Tafsir yang terkenal, yaitu kitab Tanwiru
al-Miqbas min Tafsiri Ibni ‘Abbas. Kitab ini hanya berjumlah satu jilid
saja. Dilihat dari penafsiran-penafsirannya yang singkat, bisa diketahui bahwa
Ibnu Abbas menggunakan metode ijmaliy dalam menafsirkan Alquran, seperti
penafsirannya terhadap surah al-Baqarah ayat 5 sebagai berikut,
“(Mereka) kelompok sifat ini (berada pada petunjuk dari Tuhan mereka)
atas kemuliaan, rahmat, dan penjelasan yang turun dari Tuhan mereka (mereka
adalah orang-orang yang beruntung) orang yang beruntung dari murka dan siksa.
Dikatakan mereka adalah orang-orang yang mampu, mendapatkan apa yang mereka
cari, dan bisa lari dari kejelekan sesuatu. Mereka adalah sahabat Nabi Muhammad
SAW.”[14]
2.
Periode Modern
Menurut Abdul Mustaqim, periode modern dimulai dari abad 12-13 Hijriyah
atau 18-21 Masehi.[15]
Istilah modern (al-hadith) mengacu pada sesuuatu yang terkini dan yang baru dan
istilah kontemporer berarti pada masa kini atau dewasa ini. Kedua istilah ini
mempunyai kemiripan makna, bahkan sinonim.[16]
Pada masa ini, muncul beberapa mufassir modern/kontemporer di Arab Saudi.
Hal ini merupakan sebuah dinamika positif yang terjadi dalam penafsiran di Arab
Saudi. Mufassir-mufassir modern/kontemporer di Arab Saudi adalah sebagai berikut,
a. Abd
al-Rah}man al-Sa’diy
Nama lengkapnya adalah Abd
al-Rah}man bin Nas}ir bin Abd Allah al-Sadi al-Nas}iri al-Tamimi yang termasuk salah satu ulama pengikut
imam Hanbaliy. Ia dilahirkan di kota Unaizah yang terlak di Qasim dari ahli
Najd pada tanggal 12 Muharrom 1307 Hijriyah. Ibunya wafat pada saat dia berumur
empat tahun dan ayahnya wafat pada saat dia berumur duabelas tahun. Pada umur
empatbelas tahun, dia masuk ke madrasah tahfidz al-Qur’an. Kemudian ia
menyibukkan diri untuk mencari ilmu Tauhid, Tafsir, Hadith Fikih, Ushul Fiqh,
Nahwu, dan lain sebagainya. Kemudian dia menjadi guru yang mana ia belajar dan
mengajar, sehingga ia dikenal dengan keilmuannya. Para pencari ilmu
menghadapnya dan menerima ilmu dan pengetahuan darinya. Dia wafat pada hari Kamis
22 Jumadil akhir tahun 1376 Hijriyah di Unaizah.[17]
Di antara karya-karyanya
adalah Taisir al-karim al-Rahman fi Tafsiri Kalami al-mannan, Taisir
al-Lathif al-Mannan fi Khulasati Tafsiri al-Qur’an, Al-Qawaid al-Hisan
li-Tafsiri al-Qur’an, al-Dalail al-Qur’aniyyah fi anna al-Uluma wa al-A’mala
al-Nafi’ata al-‘Ishriyyah Dakhilatan fi al-Din, dan lain sebagainya.[18]
Kitab Tafsir Al-Sa’diy ini
adalah kitab tafsir yang menjelaskan firman Allah SWT dengan ringkas. Dia
mencukupkan untuk mengurai makna-makna bahasa, menjelaskan makna yang dimaksud,
dan cukup menggunakan perkataan ulama terdahulu untuk mengurai makna-makna
Alquran al-Karim dan menafsirkannya. Dia menggunakan metode salafiy, pengikut
Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.[19]
b. Muhammad
Ali al-Shabuniy
Nama lengkapnya adalah Muhammad
Ali bin Jamil al-Shabuniy. Dia merupakan salah satu dosen di Fakultas Syariah
dan Dirasah Isla, di Makkah al-Mukarromah. Dia dilahirkan di kota Halb pada
tahun 1347 Hijriyah/ 1928 Masehi. Dia keluar dari Madrasah di Syuria dan
melanjutkan studinya di al-Azhar. Dia mendapat gelar LC pada tahun 1952 M. Kemudian
ia melanjutkan ke program S2 dalam bidang al-Qad}a al-Shar’i utusan dari kementrian wakaf Suria, dan selesai pada tahun
1954.
Ali al-Shabuniy sangat
produktif dalam menulis. Dia mempunyai banyak karya, di antaranya adalah kitab Shafwatu
al-Tafsir, Mukhtashar Ibnu Kathir,Mukhtashar al-Thabariy, al-Tibyan fi Ulum
al-Quran, Rawai’u al-Bayan fi Tafsiri Ayati al-Ahkam, al-Nubuwwah wa
al-Anbiya’, dan lain sebagainya.[20]
Sahfwatu al-Tafsir adalah kitab yang ijaz
yang mencakup seluruh ayat-ayat Alquran, sebagaimana yang tercantum di judul
kitab yaitu mengumpulkan antara yang ma’thur dan yang ma’qul yang bersumber
dari beberapa kitab Tafsir, seperti al-Thabariy, al-Kasysyaf, al-Alusiy, Ibnu Kathir,
al-Bahru al-Muhit, dan lain sebagainya dengan menggunakan gaya bahasa
yang mudah dipahami, dan menyantumkan hadith, beserta memperhatikan aspek
penjelsan dan bahasa.[21]
Metode yang digunakan Ali
al-Shabuniy dalam menafsirkan Alquran, pertama memberikan pendahuluan
surat secara global yang menjelskan tujuan-tujuan dasar surat tersebut dengan
penjelasan yang singkat. Kedua menghubungkan antara beberapa ayat
sebelumnya atau sesudahnya. Ketiga adalah bahasa, menyebutkan
pengambilan katanya dan aspek-aspek bahasa lainnya. Keempat adalah sebab
turunnya ayat. Jika sebabnya diketahui, maka pembaca akan mengetahui
musabbabnya. Kelima adalah tafsir, karena mengetahui makna dan tujuan
bisa sempurna dengannya. Keenam adalah Balaghah. Ketujuh adalah
faidah-faidah dan pelajaran-pelajaran.[22]
c. Abd
al-Wahbah al-Zuhailiy
Nama lengkapnya adalah Wahbah
bin Syaikh Mushtafa al-Zuhailiy yang merupakan ulama di negeri Syam. Dilahirkan
di Negeri Dir Athiyyah yang terletak di pinggir Damaskus (Syuria) pada tahun
1932 Masehi. Ayahnya, Syaikh Mushtafa Al-Zuhailiy adalah petani yang hafal
Alquran, mempunyai semangat yang besar di dalam agama Allah SWT dan menjaganya,
banyak beribadah dan puasa, dan bercita-cita tinggi.
Al-Zuhailiy, ibtidaiyahnya
belajar di negerinya dan kuliah di Fakultas Syariah di Damaskus. Dia lulus pada
tahun 1953. Dia mendapat gelar di Fakultas Syariah al-Azhar pada tahun 1956
Masehi.
Al-Zuhailiy merupakan ulama
yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Di antara
karya-karya adalah Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillatuhu, Al-Tafsir al-Munir, Tafsir al-Wajiz, al-Washaya wa al-Waqfu, dan
lain sebagainya. [23]
Tafsir al-Munir adalah
kitab tafsir yang mencakup kepada semua Alquran, baru dan mencakup yang ma’thur
dan ma’qul, gaya bahasa, pemikiran, dan judul yang terkini, bahasa yang mudah,
ungkapan jelas, mendekatkan makna dan akidah, dan karakteristik-karakteristik
lainnya.[24]
Metode yang dia pakai adalah menafsirkan
beberapa ayat yang mempunyai hubungan maknanya. Setiap kumpulan dari beberapa
ayat tersebut yang sulit maknanya ditafsiri dengan menggunakan beberapa
pendakatan, yaitu pendekatan bahasa untuk menjelaskan kosa kata di dalam
Alquran, Tafsir dan Bayan yang merupakan sebuah gambaran dari kandungan ayat,
dan Fikihnya kehidupan dan hukum dengan menyimpulkan beberapa ayat yang
berkaitan dengan urusan kehidupan dalam beramal dan praktek.[25]
d. Syaikh
Nawawi al-Banteniy al-Jawiy
Nama lengkpanya adalah
Muhammad bin Umar bin Arabiy bin Ali Nawawi al-Jawi. Dia adalah seorang mufassir,
sufi, dan fukaha’ yang bermadzhab Syafi’y. Dia hijrah ke Makkah yang dikenal
dengan negeri Hijaz. Dia mempunyai banyak karangan dalam pembahasan Fikih, tata
karma, Tafsir, Ushuluddin, tasawwuf, dan selain tersebut yang terhitung
berjumlah 38 karangan. Dia wafat pada tahun 1316 Hijriyah di Makkah.[26]
Di antara karya-karya Syaikh
Nawawi al-Jawiy adalah Muraqiy al-‘Ubudiyyah Syarhu Bidayati al-Hidayah,
Qami’u al-Tughyan ‘ala Mandzhumati Syu’abi al-Iman, Qatru al-Ghaith fi Syarhi
Masaili Abi al-Laith, Uqudu al-Lijjain fi Bayani Huquqi al-Zaujain, Syarhu
Fathi al-Rahman fi Tajwidi al-Quran, Kasyifatu al-Saja fi Syarhi Safinati
al-Najati, dan lain sebagainya.[27] Bahkan
kalau dinisbahkan dengan Negara kelahirannya Indonesia, terdapat dua kitab
Fikihnya yang dikenal dengan S-2, yaitu Sullam Safina.
Tafsir Marahu Labid ini
mencakup semua ayat dengan menggunakan penafsiran yang ijaz dan tidak
bercorak isyari, tetapi tafsir secara jelas dan terang. Beberapa keistimewaan
kitab ini adalah menyebutkan makna-makna surat dan nama-namanya dengan bentuk
khusus dan menjelaskan kandungan apa saja yang tersirat di dalamnya,[28] seperti
contoh surah al-Kafirun, dia berkata: “Dinamakan juga dengan surat al-Munabidzah
atau al-Mu’abidah” dan surat al-Ikhlas yang maksudnya adalah iklas beribadah.
Metode yang dipakai
al-Nawawi al-Jawi adalah memulai dengan menyubutkan nama surat beserta
Makkiyyah atau Madaniyahnya, jumlah ayatnya, dan jumlah kalimatnya. Kemudian
menafsirkannya kata per kata dengan menggunakan kalimat yang ringkas dan jelas,
beserta mengisyaratkan kepada kebenaran ayat dan cara mempraktekkannya.[29]
[1]Riri
Fitria, “Pemetaan Karya Tafsir di Arab Saudi”, Jurnal Mutawatir, (Vol.
1, Nomor 2, Desember 2011), 124.
[2]
Ibid., 125.
[3]Ibid.,
126.
[4]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press,
2014), 40.
[5]Muhammad
Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kuwait: Dar al-Nawadir,
2010), 28.
[6]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,41.
[7]Ibid.,
55.
[8]Ibid.,
55.
[9]Manna’
Khalil al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah,
1973), 11.
[10]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, 55.
[11]Manna’
Khalil al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, 11.
[12]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,55.
[13]Ibid.,
55-56.
[14]Abdullah
bin Abbas, Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 5.
[15]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,145.
[16]Ibid.,
145.
[17]Muhammad
Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, (Tahran: al-Irsyad
al-Islamiy, 1964), 703.
[18]Ibid.,
703.
[19]Ibid.,
703-704.
[20]Ibid.,
873.
[21]Ibid.,
873-874.
[22]Abdul
Qadir Muhammad Shalih, Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-‘Ashri al-Hadith, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 2003), 184-185.
[23]Muhammad
Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1191-1192.
[24]Selengkapnya
lihat Ibid., 1192.
[25]Ibid.,
1194.
[26]Ibid,
1075. Muhammad Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran
al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 4.
[27]Lihat
Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1075.
Muhammad Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran al-Majid,4.
[28]Muhammad
Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1076.
[29]Ibid.,
1076.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Perkembangan Tafsir di Arab
Saudi sebenarnya sangat menarik untuk dikaji, karena Arab Saudi adalah
tempat di mana wahyu diturunkan. Makalah ini, sudah membahsanya secara singkat
dan padat. Benang merah dari penjelasan makalah ini sebagai berikut,
1.
Wilayah
Arab Saudi terbagi atas 13 provnsi, yaitu Bahah, Hudud, al-Shamaliyah, Jawf,
Madinah, Qasim, Riyad, Sharqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), ‘Asir, Ha’il,
Makkah, Najran, dan Tabuk.
2. Para
sahabat yang terkenal ahli dalang penafsiran adalah Abdullah Ibnu Abbas (w. 687
M), Abdullah Ibnu Mas’ud (w. 653 M), Ubay bin Ka’ab (w. 640 M), dan Zayd bin
Thabit (w. 665 M). Ibnu Abbas adalah sahabat yang paling terkenal ahli dalam
bidang tafsir dengan bergelar turjumanu al-Qur’an
3.
Di antara tokoh-tokoh tafsir pada periode
modern adalah Abd al-Rahman al-Sa’diy, Muhammad Ali al-Shabuniy, Abdul Wahbah
al-Zauhailiy, dan Syaikh nawawi al-Banteni al-Jawi.
B.
Saran
Dengan adanya makalah
ini, diharapkan para pembaca benar-benar memahami dan mengetahui luas tentang dinamika
tafsir yang terjadi di Arab Saudi, karena begitu pentingnya pengetahuan ini
dengan kaitannya kepada khazanah keilmuan tafsir.
Comments
Post a Comment