HUBUNGAN AGAMA (SYARI'AH) DAN FILSAFAT (HIKMAH)



HUBUNGAN FILSAFAT DAN AGAMA


Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Alquran dan Filsafat


















Disusun oleh :
AHMADI IQBAL HANAFI            (E03214001)
M. AHMAD SAIFUR RIZAL         (E03214010)
MUHAMMAD HUSNAN                (E03214012)


Dosen Pengampu:
GHOZI, LC, M. FIL. I


PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2015




PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Agama memang tidak mudah untuk didefenisikan, karena Agama mengambil bentuk yang bermacam-macam, namun semua orang berkesimpulan bahwa Agama adalah segala yang menunjukkan pada kesucian, rasa suci. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah Agama dan Filsafat, niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara Agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan Agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan. dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara Agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan Agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.  
Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat. Jika Agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin Agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan Agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi Agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut Agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan Agamanya.
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh Agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci Agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran Agama. Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan Agama, tapi selayaknya sebagian penganut Agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.

B.     RumusanMasalah
Dari latar belakang yang ringkas itu, pembahasan di makalah bisa dibatasi sebagai berikut,
1.      Apakah yang dimaksud dengan filsafat?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Agama?
3.      Apa hubungan filsafat dan Agama?


C.    Tujuan
1.      Menjelaskan tentang Filsafat
2.      Menjelaskan tentang Agama.
3.      Menjelaskan hubungan Filsafat dan Agama.

D.    Manfaat
1.      Mengetahui tentang Filsafat
2.      Mengetahui tentang Agama.
3.      Mengetahui hubungan Filsafat dan Agama.


BAB II
HUBUNGAN FILSAFAT DAN AGAMA

A.    Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan  yang telah diverifikasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, Filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.[1] Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang Filsafat.
Jadi, ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan “lebih baik pengertian Filsafat itu tidak dibicarakan terlebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca Filsafat, maka ia akan mengerti sendiri apa Filsafat itu.[2] Namun demikian, definisi Filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar Filsafat definisi itu juga diperlukan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah Filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata Filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata Filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya mengatakan Filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution,  kedua  kata tersebut  setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani  philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian, kata benda dari falsafa itu adalah falsafah  atau filsaf.[4]
Dalam Alquran, kata Filsafat tidak ada, yang ada  hanya adalah kata hikmah.  Pada umumnya orang memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, padahal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksa-naan,[5] sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[6] Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan pengambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan tertentu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.[7] Namun dalam konteks Filsafat, kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.[8]
 Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa Filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi, pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang Filsafat diperoleh melalui pengertian, karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan  pandangan pemikir tentang Filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang Filsafat.
Herodotus mengatakan Filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahlian tentang kebijaksanaan itu.[9] Plato mengatakan Filsafat adalah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan pengetahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan Filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.[10] Cicero (106-3 SM.) mengatakan Filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.[11]
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12] R. Berling mengatakan Filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan Filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.[13]
Immanuel Kant (1724-1804 M), salah seorang filosof Jerman mengatakan Filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ?Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ?Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[14] Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa Filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia.[15]Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, Filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu persoalan, Filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[16]
Ir. Poedjawijatna mengatakan Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.[17]Titus memberikan definisi bahwa Filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan Filsafat sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama, Filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua, Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukanlah metode Filsafat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga, Filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perbedaan antara benar dan salah.
Keempat, Filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini Filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, ragmatisme dan sebagainya.[18]
Kattsoff mengemukakan  Filsafat, ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas  yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[19] Selain itu Filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai Filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.[20]
Selain itu, Liang Gie mengemukakan  metode yang berbeda dalam pembahasan ini. Ia meninjau Filsafat dan segi pelaku Filsafat sendiri. Menurutnya pelaku Filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
1.      Pengejek Filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan Filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
2.      Peminat Filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya Filsafat sehingga tertarik kepada Filsafat.
3.      Penghafal Filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat Filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
4.      Sarjana Filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi Filsafat dengan memperoleh gelar sarjana atau lainnya.
5.      Pengajar Filsafat, yaitu sarjana yang memberikan kuliah dalam mata kuliah Filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
6.      Pemikir Filsafat, yaitu seorang pemikir dalam bidang Filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan Filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.[21]
 Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan definisi tentang Filsafat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial,  politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari Filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah Filsafat khusus, seperti Filsafat politik, Filsafat akhlak, Filsafat Agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan Filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam Filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang Filsafat tertentu, ternyata ciri khas Filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas.

B.     Pengertian Agama
Pengertian Agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama “kacau”. Jadi, kata Agama diartikan tidak kacau, tidak semraut, hidup menjadi lurus dan benar.[22]
Dick Hartoko menyebut Agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.[23] Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berartimengikat. Ajaran-ajaan Agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.[24] Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi  mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.[25] Yang kudus dipercayai  mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semeseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal.   Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisme dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan Yang Kudus.[26]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati  sebagai  kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu  manusia secara bersama-sama menjalankan ajaran tertentu.Jadi, religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas berbagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu, dalam Alquran  terdapat kata din  yang menunjukkan pengertian Agama. Kata din denganakar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada menunjukkan arti Agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam Agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti  hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena  pada waktu itu dijanjikan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.[27] Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran Agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan[28]dan semua itu memang terdapat dalam Agama. Di balik semua aktifitas dalam Agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian Agama secara etimologi. Namun  banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi Agama. Dengan demikian Agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain Agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada  orang yang mengatakan bahwa Agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini.[29]
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa Agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[30]Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam Agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi Agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[31]
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan Agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridoi Allah, sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu Agama yang menekankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi Agama yang lebih memadai, yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[32]
Dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam Agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
C.    Hubungan Antara Filsafat dan Agama
Filsafat dan Agama pada dasarnya mempunyai kesamaan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran sejati. Filsafat mempunyai tujuan untuk mencari kebenaran dan Agama juga bertujuan untuk mencari kebenaran. Namun, di balik persamaan itu, terdapat juga perbedaan antara Filsafat dan Agama.[33]
Di dalam Filsafat, untuk mencari kebenaran sejati, seseorang harus mengerahkan usahanya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya yang berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan di dalam Agama, untuk mencari kebenaran sejati, seseorang harus menerima hal-hal yang diwahyukan, dengan kata singkat iman, selain ia harus berupaya untuk mencarinya sendiri.[34]
Dengan berbedanya metode Filsafat dan Agama di dalam mencari kebenaran sejati, maka hasil dari proses pencarian kebenaran sejati itu juga berbeda. Di dalam Filsafat, kebenaran harus dijelajahi melalui kerangka akal dan penalaran dengan sejumlah pertanyaan, dan penyelidikan-penyelidikan filosofis. Hasil akhir dalam pengembangan tentatif filosofis terhadap kebenaran membuahkan dua kemungkinan, kemungkinan kebenarannya bisa diterima dan kebenarannya bisa ditolak. Sedangkan di dalam Agama, kebenaran harus berpijak pada wahyu atau hadith, kemudian diterima melalui keyakinan atau keimanan. Selanjutnya baru diperkuat dengan analisi-analisis rasional. Kebenaran di dalam Agama bersifat mutlak dan absolut, karena kebenaran yang sudah ditahbiskan oleh wahyu tidak bisa ditolak, digugat, dan dikritik, tetapi harus diterima oleh rasio manusia.[35]
Filsafat mempunyai dua nama lain, yaitu Hakikat dan Hikmah. Dua nama lain dari Filsafat itu merupakan dua nama lain dari Alquran sebagai sumber utama Agama. Tidak sedikit orang yang menolak Filsafat karena merupakan produk Barat. Oleh karena itu, orang yang menolak Filsafat, secara tidak langsung ia juga menolak Alquran, karena keduanya sama-sama Hakikat dan Hikmah.
Terdapat dua macam ayat di dalam Alquran, ayat-ayat kauniyyah dan ayat-ayat quraniyyah. Ayat-ayat kauniyyah adalah ayat-ayat Alquran yang menjelaskan firman Allah SWT berupa bentuk-bentuk tanda kekuasaannya, seperti alam semesta.
Menurut penelititan guru besar Universitas Kairo, Syaikh Jauhari Thantawi dalam kitab tafsirnya, al-Jawahir terdapat lebih dari 750 ayat Alquran yang membicarakan tentang alam semesta beserta pernak-perniknya. Dalam penelitian yang lebih intensif lagi yang dilakukan oleh Agus Purwanto D. Sc (doctor of science) mengatakan bahwa dari 6236 jumlah ayat Alquran, ternyata ditemukan 1108 ayat-ayat tentang kauniyyah.[36] Ini adalah bukti bahwa Alquran sangat mendorong kita untuk memperdayakan akal kita dengan melakukan pemikiran dan perenungan tentang alam semesta yang mengandung makna dan rahasi yang masih belum banyak ditemukan oleh manusia. Secara tidak langsung pula, Alquran memerintahkan manusia untuk berfilsafat, karena Filsafat identik dengan berfikir, berfikir, dan berfikir.
Memang sangat benar sekali apabila ayat yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca, membaca buku, membaca lingkungan, lebih-lebih membaca tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang terdapat di dalam alam semesta. Tepat pad titik inilah, tidak berlebihan jika seorang cendekiawan besar muslim asal Mesir, Hassan Hanafi menyatakan dengan indah: “Nature is an open Book, like the Quran is as open nature (Alam semesta merupakan sebuah buku yang terbentang luas, sebagaimana Alquran merupakan alam semesta yang terbuka).”


[1]Kegiatan berfikir radikal dan mendalam telah dimulai oleh Thales. Filosof alam pertama ini telah berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam dengan melihat asal kejadian sesuatu. Kegiatan ini  diiringi oleh filosof  lain sampai kepada filosof di zaman moderen, yang menggunakan prinsip sama yaitu pembahasan radikal.
[2]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, (Bandung : Rosdakarya, 1994), 8.
[3]H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, (Jakarta : Rajawali Press, 1986), 9.
[4] Ibid., 8.
[5]Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 7.
[6]Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1983), 9.
[7]Lihat Alquran Surat al-Baqarah, 123, 151, 231, 251.
[8]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, 8.
[9]Hamzah Ya`qub,  Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), 3.
[10]Ibid., 3.
[11]Ibid., 3.
[12]Ibid., 3.
[13]Ibid., 14.
[14]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James,  8.
[15]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Sinar Harapan, 1995),  25.
[16]Ibid., 25.
[17]Ibid., 25.
[18]H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, 10-11.
[19]Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono  Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 67.
[20]Ibid., 68.
[21]H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, 12.
[22]A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,  dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 125.
[23]Dick Hartoko,  op. cit. ,hlm. 90.
[24] Harun Nasution,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[25]Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 100.
[26]Ibid., 100.
[27]Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 11
[28]Ibid., 11.
[29]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, 7.
[30]Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, 103.
[31]Ibid., 103.
[32]Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, 103.
[33]Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan tematik, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 43.
[34]Ibid., 43.
[35]Ibid., 45-46.
[36]Ibid., 52.


 
PENUTUP

A.    Simpulan
Filsafat dan Agama adalah dua perkara yang selalu dikaitkan antara satu dan yang lainnya. Keduanya mempunyai relevansi yang kuat dalam membangun suatu tujuan, yaitu mencari kebenaran sejati. Dari paparan penjelasan yang disampaikan di makalah ini bisa diambil benang  merah sebagai berikut,
1.      Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, Filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.
2.      Penggunaan kata Filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan.
3.      Filsafat adalah gabungan dari kata philein dan Sophia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
4.      Pemahaman yang mendasar tentang Filsafat diperoleh melalui pengertian, karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan  pandangan pemikir tentang Filsafat juga berbeda.
5.      Filsafat sekurang-kurangnya harus bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi, yaitu Filsafat adalah sikap terhadap hidup dan alam semesta, Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan, Filsafat adalah kumpulan masalah, dan Filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran.
6.      Pengertian Agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama “kacau”.
7.      Pengertia Agama secara terminology adalahsistem hidup yang diterima dan diridoi Allah, sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya.
8.      Filsafat dan Agama pada dasarnya mempunyai kesamaan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran sejati.
9.      Filsafat harus menggunakan potensi yang dimilikinya untuk mencari kebenaran, sedangkan Agama menerima wahyu atau hadith selain juga menggunakan potensi yang dimilikinya.
10.  Kebenaran yang dihasilkan Filsafat bersifat relative, bisa ditolak atau diterima, sedangkan kebenaran yang dihasilkan Agama bersifat mutlak, karena kebenaran sudah tertuang di dalam wahyu atau hadith.
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, penyusun mengharapkan kepada pembaca untuk mengkaji lagi relasi antara Filsafat dan Agama dan tidak serta-merta menolak salah satu dari keduanya. Bagaimanapun kedua hal ini mempunyai sinergi yang kuat yaitu mencari kebenaran sejati. Oleh karena itu, tidak patut sebenarnya orang menolak Filsafat hanya dengan alasan merupakan produk Barat.


DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagarafaindo Persada. 2005
Dardiri, H.A. Humaniora, Filsafat dan Logika. Jakarta: Rajawali Press. 1986.
Gazalba, Sidi. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.
Hadiwijono, Harun. Seri-seri Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius.1991.
Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1983.
____________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1979.
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2001.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.   
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung: Rosdakarya. 1994.
Ya’qub, Hamzah. Filsafat Agama. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1991.
Zaprulkhan. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Press. 2013.

 

Comments

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB