HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN
TEORI HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN
Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Disusun oleh :
MUHAMMAD HUSNAN
NIM: E03214012
Dosen Pengampu:
DR. SUHERMANTO, M. HUM
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
TEORI HERMENEUTIKA
FAZLUR RAHMAN
A.
Pendahuluan
Penafsiran Alquran merupakan suatu wilayah intelektual yang semakin
mendesak dalam prose pemecahan masalah umat. Sejak mundurnya gerakan reformasi
Islam zaman modern pada abad ke-19, tumpuan pada cara Islam diinterpretasikan
semakin kentara. Proses memikir ulang sebagian besar tradisi dan pola pemikiran
yang telah mapan telah dilakukan dalam berbagai wilayah, seperti teologi,
fikih, politik, dan lain sebagainya.
Sudah menjadi pasti bahwa bidang penafsiran Alquran juga merupakan salah
satu wilayah yang dianggpa paling diteliti, terutama dalam rangka merombak hukum-hukum Islam yang
dianggapa kurang sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan masyarakat. Para
pemikir modern menadari bahwa hukum Islam
tidak lepas dari keterkaitannya dengan sumber hukum Islam yang pertama,
yakni Alquran.
Salah satu tokoh kontemporer yang berupaya untuk memberikan corak metode
penafsiran yang baru adalah Fazlur Rahman. Ia menggagas sebuah corak metode
penafsiran yang dinamis dalam membuka ruang ijtihad dan memecahkan kemandekan
pemikiran Islam modern. Menurut para sarjana dunia Islam maupun Barat, ia
adalah merupakan salah satu di antara para pemikir Islam terpenting pada abad
ke-20.
Fazlur Rahman adalah termasuk seorang ilmuwan dan pemikir Islam kenamaan
yang mana jasa-jasanya sungguh besar bagi dunia pemikiran Islam kontemporer.
Hampir bisa dipastikan, mahasiswa-mahasiswa cerdas dunia Islam pernah
mengenalnya, baik melaluitulisan-tulisan maupun terlibat dalam studi dan kancah
pemikirannya.
Salah satu sumbangsingnya yang sangat berguna bagi intelektual muslim,
khususnya bagi yang mendalami penafsiran Alquran adalah sebuah metodologi
penafsiran yang ia beri nama dengan Double Movement Theory (teori
gerakan ganda). Teori ini adalah teori yang didasarkan pada kontekstual yang
sifatnya yang sangat dinamis. Metodologi ini ia hadirkan sebagai upaya
menafsirkan Alquran secara komprehensif tidak secara parsial.
Selain itu, metodologi ini ia hadirkan sebagai upaya mengkritik
penafsiran dan pemberlakuan ayat-ayat Alquran secara kerat-keratan dan tidak
menentu yang hingga kini masih berlanjutan. Dengan perubahan sosial dan
kemasukan ide-ide yang baru yang terbit dari Barat, setengah pemikir Islam
cenderung mencari-cari dan menggunakan ayat-ayata Alquran yang dapat
menjustifikasikan posisi mereka.
Oleh karena itu, hadirnya teori hermeneutika yang digagas Fazlur rahman
ini sangatlah penting untuk diketahui bagi intelektual muslim yang mencoba
menafsirkan Alquran, terlebih apabila ia sedang mendalami Alquran dan
pengetahuan tentang penafsiran Alquran.
B.
Biografi Fazlur
Rahman
Fazlur Rahman adalah
salah seorang cendekiawan muslim kontemporer yang lahir di daerah Hazara,
Punyab, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di
Barat laut Pakistan, pada tanggal 21 September
1919 ketika India belum terpecah menjadi India dan Pakistan. Ia
dibesarkan dalam suatu keluarga dengan tradisi keagamaan bermazhab Hanafi yang
kental dan cukup kuat.[1]
Ayahnya, Maulana Syahab al-Din, adalah seorang ulama tradisional yang terkenal
alumnus Deoband. [2]
Ayah dan Ibunya sangat
berpengaruh dalam membentuk watak dan keyakinan-keyakinan awal religious Fazlur
Rahman. Ibunya mengajarkan tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang,
ketabahan, dan cinta. Sedangkan ayahnya, meskipn terdidik dalam pola pemikiran
Islam yang tradisional, ia berkeyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan
itulah yang kemudian disalurkan dan diwariskan kepada Fazlur Rahman oleh
ayahnya. Melalui bimbingan ayahnya, Fazlur Rahman akan menjadi sosok yang dukup
tekun menimba pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui bimbingan ibunya,
Fazlur Rahman akan menjadi pribadi yang sangat tegar seerta tabah dalam
mengembangkan keyakinan dan pembaruan dalam Islam.[3]
Fazlur Rahman kecil
menerima pengajaran dan penddikan tradisional mengenai kajian-kajian keislaman
melalui ayahnya sendiri dan dari madarasah Doeband. Ia sudah menghafal Alquran
di luar kepala pada saat berumur sepuluh tahun. Pada usia empat belas tahun, ia
sudah mempelajari Filsafat, bahasa Arab, teologi, hadith, dan tafsir.[4]
Pada tahun 1993, Fazlur Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan belajar di
sekolah modern.
Setelah menamatkan
pendidikan menengah, pada tahun 1940, Fazlur Rahman melanjutkan studinya dalam
bidang sastra Arab di Universitas Punjab. Dua tahun berikutya (1942), ia
menyelasikan masternya dalam bidang sastra Arab juga di Universitas yang sama.
Pada tahun 1946, ia melanjutkan studinya ke Universitas Oxford Inggris, sampai
memperoleh gelar P. hd. (gelar doctor dalam bidang Filsafat Islam) di bawah
bimbingan S. Van den Bergh dan H. A. R. Gibb.[5]
Ia sangat menonjol dalam sisi akademis, terutama kemampuannya yang sangat
brilian dalam memahami sumber-simber Islam klasik yang ditopang dengan
kemahirannya menguasai berbagai bahasa asing Eropa yang memudahkan baginya
untuk mengkaji dan menganalisis kebutuhan atas hal-hal yang vital dalam
khazanah studi pemikiran Islam.[6]
Terhitung Fazlur Rahman mengusai bahasa Perdu, Urdu, Inggris, Perancis, dan
Jerman.
Setelah meraih gelar
doctor, Fazlur Rahman memutuskan untuk tinggal selama beberapa tahun di Barat
dan mengajar di Universitas Durham, Inggris. Selanjutnya, ia pindah mengajar ke
Institute of Islamic Studies, Universitas McGill Kanada dan menjabat sebagai Associate
Professor of Philosophy.[7]
Ketika di Kanda, ia menjalin persahabatan dengan Wilfred Cantwell Smith,
seorang orientalis kenamaan yang pada saat itu menjabat sebagai direktur Institute
of Islamic Studies.[8] Pada tahun itu 1960, ia pulang ke Pakistan
karena diminta kembali oleh Presiden Pakistan saat itu, Ayub Khan, untuk
berpartisipasi dalam membangun Negara Pakistan.[9]
Fazlur Rahman menjabat
selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior di Institute of Islamic
Research di negaranya, Pakistan. Di negaranya, ia aktif melontarkan
gagasan-gagasan pemikirannya. Tulisan-tulisannya pada waktu itu dengan jelas
mengidentifikasikan dirinya sebagai modernis, namun ia juga sangat kritis
terhadap pemikiran para pendahulunya, terutama terhadap pemikiran tradisionalis
dan fundamentalis.[10]
Kemudian ia membentuk sebuah jurnal keislaman yang bernama Islamic Studies dan
Fikr al-Nazr dengan menggunakan bahasa Inggris dan Urdu. Hal itu sebagai
bentuk upaya mengenalkan ide-ide pemikirannya.
Dalam melakukan
pembaruan Islam, Fazlur Rahman lebih dekat dengan pandangan-pandangan kaum
modernis dibandingakn dengan kaum konservatif. Kritisisme yang ia dapat selama
berada di Barat dan dasar keislamannya yang cukup kuat telah memberikan suatu
dasar yang kukuh kepadanya untuk bersikap kritis terhadap konsep-konsep Barat
dan Islam dan ia mampu menunjukkan pandangan dan pemikiran khasnya yang dikenal
dengan istilah neo-modernisme. Misalnya adalah konsep ijtihad yang dalam
paradigmanya adalah penggunaan daya pikir untuk menghasilkan solusi yang baru
terhadap masalah-masalah berdasarkan prinsip-prinsip Islam.[11]
Ijtihad menurutnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Menurutnya, orang yang bisa
melakukan ijtihad bukan hanya ulama saja, tetapi orang yang terpelajar dan
mempunyai wawasan mengenai ajaran Islam juga bisa melakukan jtihad. Melalui
konsep ijtihadnya, ia mencoba mengangkat topik besar yang menjadi obsesinya,
yaitu Islam dengan visi Alquran, suatu gagasan liberal sekaligus otentik.
Fazlur Rahman diangkat
menjadi pemimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) oleh
Presiden Ayyub Khan pada tahun 1962. Pada tahun 1964, ia diangkat menjadi
anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic
Ideology). Ia berusaha mengabdikan dirinya untuk membangkitkan kembali visi
Alquran dan puing-puing reruntuhan sejarah yang menurutnya terdapat kesenjangan
yang lebar dan jauh antara Islam yang terdapat dalam Alquran dan Islam yang
terdapat dalam realitas sejarah.[12]
Dengan orientasi dan visi itu, ia menco mengaktualisasikan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Alquran ke dalam
kehidupan kongkrit.
Perkembangan
selanjutnya, lembaga yang dipimpin Fazlur Rahman dan pembaruan yang
ditawarkannya mendapat tantangan dan penolakan yang cukup keras oleh ulama.
Penentangan ini mencapai puncaknya ketika Fazlur Rahman menerbitkan jurnal Fikr
al-Nazr yang terbit pada bulan September. Dua bab yang pertama yang
berjudul Islam membahas tentang Muhammad dan ALquran. Ia menyatakan
bahwa Alquran adalah keseluruhan kalam Allah, namun dalam pengertian biasa,
Alquran juga seluruhnya adalah kalam Muhammad. Sebab pernyataan itulah, ia
dituduh sebagai munkir al-Qur’an (orang yang tidak mempercayai Alquran)
oleh al-Bayyinat dan jurnal-jurnal konservatif lainnya.[13]
Dengan tantangan yang
sangat keras dari kelompok ulama tradisional, Fazlur Rahman mengundurkan dari
jabatan-jabatannya. Ia mengundurkan diri sebagai Direktur Lembaga Riset Islam
pada bulan September 1968 dan mengundurkan diri sebagai Dewan Penasihat
Ideologi Islam pada tahun 1969.
Pada saat ia mendapat
tantangan-tantangan dari kelompok ulama tradisional, Fazlur Rahman juga
mendapat tawaran untuk mengajar di Universitas California, Los Angeles. Tanpa
berpikir panjang, ia menerima tawaran tersebut dan menjadi pertanda pindahnya
dirinya dari negerinya Pakistan. Kemudian pada tahun 1969, ia mengajar di
Universitas Chicago dan menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas
tersebut.[14] Salah
satu alasan hijrahnya Fazlur Rahman ke Barat dapat dilihat pada skapnya yang
realistis dan idealis. Ia menyadari bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya
tidak pernah menemukan lahan yang subur di Pakistan. Padahal menurutya,
vitalitas karya intelektual sangat tergantung kepada suatu lingkungan
intelektual yang bebas.[15]
Suatu gagasan, tidak akan pernah survival tanpa adanya kebebasan. Oleh karena
alasan itulah, ia memutuskan untuk berpindah ke Barat agar bisa menyalurkan
gagasan dan pemikirannya secara bebas kepada masyarakat Barat, umat Islam, dan
orang sekitarnya.
Di Indonesia, Fazlur
Rahman mempunyai tiga murid, yaitu Nur Cholis Madjid, Amien Rais, dan M.
Syafi’I Ma’arif. Menurut Nur Cholis Madjid, Fazlur Rahman mampu dengan cermat
membaca teks-teks klasik perbendaharaan keilmuan Islam di segala bidang, dan ia
menilai betapa kunonya bahasa Arab yang digunakan.[16]
Menurut Nur Cholis Madjid juga, Fazlur Rahman adalah seorang pemikir dengan
keberanian intelektualnya yang mencengangkan. Ia tidak hanya takut kepada
kontroversi, tetapi ia juga melihat bahwa kontroversi merupakan bagian dari
kreativitas intelektual yang acap kali memnag tidak mungkin dihindari.[17]
Sebagai pembaharu
dalam pemikiran Islam, ia tidak hanya menyalurkan gagasan-gagasa dan
pemikirannya melalui lisan saja, tetapi ia juga menyalurkannya melalui
tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya ia publikasikan ke dalam jurnal-jurnal
Islam dank ke dalam sebuah karya-karya tulisannya yang berbentuk buku.
Karya-karya tulisannya berjumlah lebih dari seratus buah buku.
Karya orisinal pertama
Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah Prophecy in Islam: Philosophy and orthodoxy
yang diterbitkan oleh George Allen dan Unwin Ltd. London pada tahun 1958.
Buku ini membahas tentang pemikiran Fazlur Rahman yang membandingkan pandangan
kaum filsuf dengan pandangan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep
kenabian dan wahyu.[18]
Dalam buku ini, Fazlur Rahman membuktikan bahwa masalah kenabian dan wahyu
dapat ditelusuri secara memuaskan dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan
dalil-dalil agama, khususnya Alquran.[19]
Fazlur Rahman juga
mempunyai karya yang berjudul Islamic Methodology in history. Buku ini
adalah buku yang bersifat kajian historis. Buku ini merupakan kumpulan
artikel-artikelnya yang termuat dalam jurnal Islamic Studies mulai bulan
Maret 1962 sampai Juni 1963. Buku ini bertujuan untuk memperlihatkan evolusi
historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang empat,
yaitu Alquran, sunnah, ijtihad dan ijma’ yang menjadi kerangka semua pemikiran
Islam, selain untuk menunjukkan peran actual keempat unsure tersebut dalam
perkembangan Islam.[20]
Buku Fazlur Rahman
yang lain adalah buku yang berjudul Islam. Buku ini adalah bentuk karya
Fazlur Rahamn yang bertujuan untuk menjadikan islam sebgai agama yang hidup
melalui pembedaan antara yang bersifat normatif dan historis. Buku ini
diterbitkan pertama kali oleh Holt, Rinehart, dan Winston pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1968 diterbitkan edisi The Anchor Book tanpa ada perubahan.
Edisi kedua buku ini terbit pada tahun 1979 dengan adanya tambahan epilog. Buku
ini menyajikan perkembangan Islam selama empat belas abad perjalanan
sejarahnya.[21]
Tiga buku tersebut
hanya beberapa dari karya-karya Fazlur Rahman dalam bentuk buku. Selain ketiga
karya tersebut, masih banyak lagi karya-karya Fazlur Rahaman yang berbentuk buku,
antara lain adalah The philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of the
Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, Health
and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, dan karya-karya
berbentuk buku yang lainnya.
C.
Double Movement:
Konsep Hermeneutika Fazlur Rahman
Fazlur Rahman
menyatakan Alquran sebagai firman Allah pada dasarnya adalah sebuah kitab
mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia,
dan ia bukan sebuah nasehat hukum, meskipun Alquran mengandung sejumlah
hukum-hukum, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lainnya. Dari awal,
Alquran selalu memberikan penekanan pada semua aspek moral, yang diperlukan
bagi tindakan kreatif manusia dan perbaikannya.[22]
Pernyataannya tersebut menunjukkan bahwa Alquran adalah untuk keperluan manusia
di dunia. Alquran menurutnya, harus dijadikan dasan dan acuan dalam segala
sikap dan perilaku umat Islam, baik sebgai individu maupun sebagai bagian dari
masyarakat.
Dalam mengembangkan
keilmuan Islam, Fazlur Rahman selalu bersemangat untuk merujuk kepada Alquran,
karena ia menganggap bahwa Alquran sebagai firman Allah adalah sama kongkritnya
dengan perintah atau hukum Allah dan sekaligus mempresentasikan kedalaman dan
keluasan hidup itu sendiri. Atas dasar tersebut, semua pandangan keagamaan,
termasuk juga di dalamnya teologi harus berdasarkan pada sumber dasar
tersebuut. Fazlur Rahman menegaskan Alquran sebagai petunjuk yang paling
komprehensif bagi manusia[23]
berdasarkan pada firman Allah SWT,
ôs)s9 c%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás%
×ouö9Ïã Í<'rT[{
É=»t6ø9F{$#
3
$tB
tb%x.
$ZVÏtn 2utIøÿã
`Å6»s9ur t,ÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/
Ïm÷yt @ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx«
Yèdur
ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sã ÇÊÊÊÈ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman.”[24]
Secara umum, Fazlur Rahaman dalam membangun
metodologi pemahaman Alquran yang komprehensif tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh al-Syathibi (w. 1388 M.) dan Muhammad Abduh (w. 1905 M.)menurut tokoh
Yuris Maliki tersebut, dalil-dalil syariah dipahami dalam suatu totalitas dan
komulatif yang kemudian pendapat ini diikuti oleh Muhammad Abduh. Abduh
mendesak perlunya penafsiran dan pemahaman Alquran secara keseluruhan dan tidak
dipahami secara parsial. Pada sisi ini adanya pengaruh kedua tokoh itu terhadap
Fazlur Rahman dapat dilacak.[25]
Betolak dari keharusan pemahaman Alquran
komprehensif, Fazlur Rahman mengembangkan sebuah metodologi yang sistemmatis
dan aplikatif yang pada masa sebelumnya belum ditanggapi secara
sungguh-sungguh. Metodologi tersebut melibatkan faktor-faktor kogntif dari
wahyu dan mengesampingkan aspek-aspek estetik-apresiatif atau
kekuatanapresiasinya. Tujuannya adalah agar risalah atau misi Alquran dapat
benar-benar dipahami, sehingga memungkinkan orang-orang yang beriman dan yang
ingin hidup dalam bimbingannya dapat melaksanakannya secar koheren dan
bermakna.[26]
Metodologi inilah yang disebut dengan Double Movement Theory.
Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan
Fazlur Rahaman mempunyai dua gerakan ganda (Double Movement), pertama
dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya Alquran dan kedua dari masa
turunnya Alquran kembali kepada masa kini.[27]
Gerakan pertama terdiri dari dua langkah, yatiu pemahaman arti atau makna dari
suatu pernyataan Alquran melalui cara mengkaji situasi atau problem historis di
mana pernyataan Alquran tersebut sebagai jawabannya. Dalam proses ini, kajian
mengenai pandangan-pandangan kaum muslimin akan sangat membantu sesudah hal itu
diuji dengan pemahaman yang diperoleh dari Alquran sendiri. Langkah yang kedua
adalah membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik tersebut, dan
mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang dimiliki tujuan-tujuan
moral yang bersifat umum. Setelah selesai melakukan dua langkah tersebut,
dilanjutkan kepada gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-ajaran yang
bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks
sosio-historis yang kongkrit saat ini.[28]
Melalui metode ini, Fazlur Rahman berupaya
memahami alasan-alasan jawaban yang diberikan Alquran dan menimpulkan
prinsip-prinsip hukum atau ketentuan umumnya. Dengan demikian, Fazlur Rahman
mengesankan lebih memilih signifikasi makna yang bersifat universal daripada
tekstual yang terikat dengan peristiwa lokal-historis. Fazlur Rahman tidak
terikat kepada ungkapan tekstual semata, tetapi juga kepada nilai-nilai
substansial yang terkandung di balik ungakpan itu.[29]
Menanggapi metode tersebut, Binder menjelaskan bahwa Fazlur Rahman dengan
metodenya ingin menekankan signifikasi penciptaan suatu kerangka penafsiran yang
integratif dan konsisten untuk diaplikasikan kepada semua Alquran. Dengan pola
tersebut, Rahman benar-benar seorang hermeneutis yang berupaya memahami Alquran
melalui pendekatan hermeneutik.[30]
Fazlur Rahman membeberkan beberapa syarat
metodologis dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut,
1. Dalam
menemukan makna teks Alquran harus digunakan pendekatan historis yang
menempatkan Alquran dalam tatanan kronologis sejarah.
2. Harus
dibedakan antara ketetapan-ketetapan legal Alquran dan sasaran-sasaran tujuan
dari ayat yang diturunkan.
3. Harus
dipertimbangkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang sosiologis sehingga
dapat dihindarkan penafsiran-penafsiran subjektif.
Pemahaman dan penafsiran Alquran harus
dilakukan dengan penyajian yang padu, merupakan satu-satunya cara bagi para
pembaca untuk memperoleh apresiasi yang tepat mengenai Alquran, perintah Tuhan
kepada manusia ini.[31]
Dalam hermeneutikanya, metodologinya adalah
upaya penafsiran Alquran secara objektif. Fazlur Rahman menjelaskan bahwa
pengetahuan mengetahui latar belakang yang kongkrit dari situasi historis
turunnya wahyu mempunyai arti yang signifikan dalam rangka menemukan
objektivitas pemahaman terhadap arti sebenarnya dari Alquran.[32]
Sejak awal, ia menyadari bahaya subjektivitas dalam melakukan penafsiran
Alquran. Untuk mengatasi bahaya tersebut, setiap penafsir harus menggunakan
pendekatan historis yang serius dan jujur.
Selain itu, dalam upaya meretas subtivitas
dalam penafsiran Alquran, Fazlur Rahaman juga menyarankan agar para penafsir
harus menyatakan secara eksplisit asumsi-asumsinya yang bersifat umum berkenaan
dengan penafsiran Alquran secara umum. Penafsir juga harus menyatakan
asumsi-asumsi dan premis-premisnya yang khsusu berkenaan dengan masalah-masalah
yang khusus di dalam Alquran. Apabila penafsir menyatakan asumsinya secara
eksplisit, maka pertukaran pendapat dan diskusi di antara para penafsir
dimungkinkan terjadi dan implikasinya, subjektivitas akan lebih banyak
dikurangi.[33]
Fazlur Rahman menganggap perlu untuk
menngembangkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu Tafsir
Alquran. Menurutnya, ada tiga peralatan yang harus dikuasai setiap orang yang
akan menafsirkan Alquran. Pertama, orang itu tidak hanya pengetahuan tentang
bahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami Alquran secara tepat, tetapi
juga tentang idiom-idiom bahasa Arab. Dari sinilah kemudian berkembang
gramatika Arab, ilmu perkamusan, dan kesustraan Arab. Kedua, latar belakang
turunnya ayat-ayat Alquran (Asbab al-Nuzul) . Ketiga, tradisi historis
yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi
memahami perintah-perintah Alquran.[34]
D. Analisis
terhadap Teori Hermeneutika Fazlur Rahman
Sebagai sebuah metodologi, hermeneutika Fazlur
Rahman mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dan kelemahan dari
hermeneutika Fazlur Rahman pasti tidak sama dengan kelebihan dan kelemahan
teori hermeneutika yang lain, karena teori hermeneutika Fazlur Rahman mempunyai
kekhasan yang dibuat olehnya.
Kelebihan-kelebihan teori hermenutika Fazlur
Rahman adalah sebagai berikut,
1. Menafsirkan
Alquran secara komprehensif dan objektif.
Teori hermenutika Fazlur Rahman adalah bagian dari
upaya menafsirkan Alquran secara komprehensif, tidak secara parsial. Hal itu
bisa dilacak dari dua metode penafsiran Fazlur Rahman. Selain itu, metode ini
adalah bagian dari upaa menafsirkan Alquran secara objektif, terlebih pada era
sekarang banyak orang yang menafsirkan Alquran hanya bertujuan untuk mencapai
kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, hadirnya metodologi Fazlur Rahman ini
bisa meretas penafsiran subjektivitas tersebut.
2. Mengetahui
sejarah perkembangan Islam secara utuh.
Penafsiran Alquran secara komprehensif yang
ditawarkan Fazlur Rahman memberikan manfaat, yaitu mengetahui perjalanan
sejarah Islam secara luas, karena ia tidak hanya melacak perjalanan sejarah
Nabi Muhammad saja, akan tetapi perjalanan para sahabat dan generasinya juga
menjadi persyaratan yang harus dilacak juga.
3. Metodologi
yang bersifat dinamis.
Metodologi yang ditawarkan Fazlur rahman ini
bersifat dinamis, karena melalui diskusi dan debat, umat Islam bisa menerima
beberapa penafsiran dan menolak beberapa penafsiran yang lain. Sebuah
penafsiran seseorang tidak harus diterima terus-menerus. Akan tetapi,
penafsiran-penafsiran yang baru selalu dimungkinkan dan menjadi proses yang
berlanjut.
Selain mengandung kelebihan-kelebihan, tidak
tertutup kemungkinan metodologi hermeneutika Fazlur Rahman ini juga mengandung
kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan metodologi hermeneutika ini adalah
sebagai berikut,
1. Terjadinya
ambiguitas.
Menurut Farid Esack yang dikutip Abd. A’la
metodologi hermeneutika Fazlur Rahman ini mengandung ambiguitas. Di satu sisi,
Fazlur Rahman mendukung pemahaman yang bersifat sementara, namun di sisi yang
lain, ia menganut mazhab hermeneutika objektif yang menganggap arti sebuah
proposisi mengandung kebenaran yang universal.[35]
2. Tampaknya
unsur subjektifitas.
Meskipun hermeneutika yang diusung oleh Fazlur
Rahman adalah upaya menafsirkan Alquran secara objektik, namun kadang kala
unsure subjektifitas pemikirannya terlalu tampak. Menurut Esack, Fazlur Rahman
dalam menafsirkan Alquran selalu menyesuailan dengan nilai-nilai ketakwaan dan
keadilan dan melalui ijtihadnya ia mengaplikasikan prinsip wahyu yang progresif
agar sesuai dengan tema itu.
Di balik kelebihan yang terkandung dalam teori
hermeneutika Fazlur Rahman, terkandung hikmah bagi konsep-konsep pemikiran Islam.
Fazlur Rahman memberikan kontribusi nuansa-nuansa metode hermeneutika yang
sangat berguna dalam menafsirkan Alquran. Hadirnya teori hermenutika Fazlur
Rahman ini memberikan opsi metodologi penafsiran kepada setiap orang yang ingin
menafsirkan Alquran. Orang tidak hanya terpaku kepada satu metodologi saja
dalam menafsirkan Alquran, tetapi juga bisa mencoba metodologi-metodologi yang
lainnya sebagai variasi dalam menafsirkan Alquran, termasuk metodologi yang
ditawarkan oleh Fazlur Rahman.
Di balik kelemahan-kelemahan yang terkandung
dalam metodologi penafsiran Fazlur
rahman, terdapak makna yang tersirat di dalamnya. Dengan terkandungnya
kelemahan-kelemahan dalam metodologinya Fazlur Rahman memberikan pemahaman bahwa
sebuah metodologi tidak bersifat mutlak benar dan tidak bisa diganggu gugat.
Semuanya membutuhkan kajian yang berulang-ulang secara kritis. Namun, hal yang
jauh lebih penting adalah sejauh mana seseorang menyikapi nuansa baru ini
sebagai upaya mendamaikan intelektual pikiran yang bisa diajarkan dan upaya
menenteramkan spiritual hati yang bisa didakwahkan.
E. Kesimpulan
Fazlur rahman adalah salah seorang di antara
para pemikir Islam modern yang berjasa dalam bidang pemikiran Islam. Ia
menggagas sebuah teori penafsiran Alquran yang sangat berguna dalam bidang
pemikiran Islam, yaitu Double Movement Theory sebagai salah satu nuansa
metodologi hermeneutika Alquran. Teori hermenutikanya telah member petunjuka ke
arah membongkar penafsiran-penafsiran lama yang jumud dan tidak berfungsi lagi
di dalam perubahan sosial masyarakat yang sangat berbeda dengan keadaan sosial
masyrakat zaman dahulu.
[1]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), 33.
[2]Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), 256.
[3]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,33-34
[4]Ibid.,
34.
[5]Ibid.,
34.
[6]Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, 256.
[7]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,35.
[8]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam, (Jakarta:
Grasindo, 2003), 147.
[9]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,35.
[10]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam, 147.
[11]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,35.
[12]Ibid.,
36.
[13]Ibid.,
37.
[14]Ibid.,
39.
[15]Ibid.,
40.
[16]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam, 148.
[17]Ibid.,
148-149.
[18]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,45.
[19]Ibid.,
47.
[20]Ibid.,
47.
[21]Ibid.,
49.
[22]Ibid.,
82.
[23]Ibid.,
83.
[24]Alquran
(12): 111.
[25]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,83.
[26]Ibid.,
83-84.
[27]Ibid.,
84.
[28]Ibid.,
84.
[29]Ibid.,
84-85.
[30]Ibid.,
85.
[31]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam, 154.
[32]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,86.
[33]Ibid.,
87.
[34]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam, 154.
[35]Abd.
A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia,89.
DAFTAR
PUSTAKA
A’la., Abd.
Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Wacana Fazlur Rahman dalam Wacana
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. 2003.
Nasution,
Harun, Azra, Azyumardi. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 1985.
Rais,
Amin. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.
Saefuddin,
Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern dalam Islam. Jakarta:
Grasindo. 2003.
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1998.
Comments
Post a Comment