AKIDAH ISLAMIYYAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akidah Islam merupakan akidah penutup bagi agama-agama yang pernah diturunkan sebelumnya oleh Allah, bersamaan dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah yang terakhir. Al-Quran dan Sunnah telah menjelaskan hakikat akidah Islam beserta prinsip-prinsipnya secara lengka dan sempurna dalam bentuk keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan ketentuan-Nya (qadha’ dan qadar).
Akidah ini pada dasarnya merupakan hakikat abadi yang tidak akan pernah mengalami proses perubahan hingga akhir masa. Cakupan operasionalnya meliputi akidah tentang Allah SWT. dan hubungan-Nya dengan alam ini, tentang alam nyata yang diperlihatkan kepada manusia dan alam gaib yang tidak diperlihatkan kepadanya, tentang peran dalam kehidupan ini dan hakikat kehidupannya.
Akidah Islam telah dipaparkan dengan tataran dan nuansa baru sesuai ddengan misi risalahnya dan telah menjadikannya sebagai penutup risalah Ilahiyyah dan tujuan semua umat manusia sampai akhir hidupnya. Segala hal yang terdapat dalam akidah Islam tersebut bertujuan untuk menjrnihkan akidah sebelumnya dari berbagai noda dan penyelewengan, serta memurnikannya dari unsur-unsur asing yang masuk kepadanya oleh berlalunya masa panjang yang mengitarinya.
Pembahasan tentang akidah Islam tersebut telah dikodifikasi dan dihimpun dalam sebuah ilmu, karenanya dikategorikan dalam salah satu disiplin ilmu-ilmu keislaman setelah mengalami perkembangan. Ilmu-ilmu yang membahas tenatng akidah adalah :
a.    Ilmu Kalam, yaitu ilmu yang membahas tenatang keimanan terhadap kalam atau firman Ilahi.
b.    Ilmu ‘Aqaid, yaitu ilmu yang membahas tentang kepercayaan-kepercayaan kepada Allah yang tersimpul di dalam hati.
c.    Ilmu Ushuluddin, yaitu ilu yang membicarakan pokok-pokok atau dasar-dasar agama.
d.   Ilmu Ma’rifat, yaitu ilmu yang membahas tentang pengenalan atau pengetahuan tentang Allah
e.    Ilmu Haqiqah, yaitu ilmu yang membicarakan hakikat Allah dengan segala eksistensi dan kesempurnaan-Nya.
f.     Ilmu Uluhiyyah, yaitu ilmu yang membahas tentang aspek-aspek ketuhanan.
Di samping istilah-istilah tersebut, pembahasan tentang akidah Islam ini dipopulerkan juga dengan teologi Islam, yaitu ilmu yang membahas tentang ketuhanan dalam Islam. Istilah ini dipakai setelah Islam mengalami ekspansi kekuasaannya ke berbagai daerah dan bersentuhan dengan dengan budaya-budaya luar.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi akidah Islamiyyah secara bahasa dan istilah ?
2.      Apa saja ruang lingkup pembahasan akidah Islamiyyah ?
3.      Apa pokok pembahasan akidah Islamiyyah ?
C.     Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah:
1.      Agar mengetahui definisi akidah Islamiyyah baik secara bahasa maupun istilah.
2.      Agar mengetahui ruang lingkup pembahasan akidah Islamiyyah.
3.      Agar menngetahui pokok pembahasan dalam akidah Islamiyyah.
D.    Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah :
1.      Pembaca bisa mengetahui definisi akidah Islamiyyah.
2.      Pembaca bisa mengetahui ruang lingkup pembahasan akidah Islamiyyah.
3.      Pembaca bisa mengetahui pokok pembahasan akidah Islamiyyah.  






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akidah Islamiyyah
Akidah dalam etimologinya berasal dari kata dasar ‘aqada, ya’qidu, ‘aqdan, wa ‘aqidatan yang bermakna simpul, ikatan, perjanjian. Setelah berbentuk mejadi ‘aqidah, maknanya adalah keyakinan.[2] Definisi tersebut sependapat dengan Dr. H. Ali Anwar Yusuf, M. Si. yang menjelaskan bahwa akidah berasal dari ‘aqada yang bermakna ikatan atau keterkaitan, atau dua utas tali dalam satu buhul yang tersambung.[3]
Dalam kamus bahasa Indonesia, akidah (‘aqidah) berarti yang dipercayai hati. Kata akidah juga seakar dengan kata al-‘aqdu (ikatan), al-ibram (pengesahan) al-tawassuq (menjadi kokoh, kuat), al-ihkam (penguatan), al-syaddu bi quwwah (pengikatan dengan kuat), al-tamassuk (pengokohan), dan al-itsbat (penetapan). Di sisi lain juga bermakna al-yaqin (keyakinan). Dengan demikian, akidah bisa dimaknai dengan ketetapan dalam hati yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. 
Sedang dalam terminologinya, akidah didefinisikan dengan perkara yang wajib dibenarkan oleh hati sehingga menjadi kenyataan yang teguh dan kokoh, tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Hasan al-Banna mendefinisikan akidah dengan beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampuri oleh sedikitpun keraguan.
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jayzary, akidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal wahyu dan fitrah yang mana kebenaran itu dimunculkan oleh manusisa dalam hati, diyakini secara pasti, serta menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Mahmud Syaltut, mantan Rektor al-Azhar mendifinisikan akidah sebagai suatu sistem kepercayaan dalam Islam, diyakini sebelum apapun dan sebelum melakukan apapun, tanpa ada keraguan sedikitpun dan tanpa ada unsur yang mengganggu kebersihan keyakinannya.[4]
Jadi, akidah islamiyyah adalah keimanan atau keyakinan seseorang terhadap Allah yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.[5] DR. Nashir Al-Aql mendefinisikan akidah islamiyyah sebagai kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh muatan al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah al-Shahihah berupa pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada Rasulullah dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan mengikutinya.[6]

B.     Ruang Lingkup Akidah Islamiyyah
Akidah Islamiyyah mempunyai ruang lingkup tertentu. Ruang lingkupnya tentu saja berbeda dengan ruang lingkup disiplin ilmu lain. Adapan ruang lingkup akidah Islamiyyah sebagai berikut,
1.      Ilahiyyat, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT dari sifat-Nya, nama-Nya, dan perbuatan-Nya.
2.      Nubuwwat, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan para Nabi dan Rasul dari sifat-sifatnya, ma’shumnya mereka, dan kebutuhan mereka kepada risalahnya.
3.      Ruhaniyyat, yaitu segala sesuatu yang berkaitan alam metafisik, seperti para malaikat, jin, ruh, dan lain-lain.
4.      Sam’iyyat, yaitu segala sesuatu yang berkaitan alam barzakh dan kehidupan akhirat, seperti keadaan kubur, ba’as, hasyr, dan lain-lain.[7]
Sebagian ulama menjelaskan bahwa ruang lingkup akidah Islamiyyah hanya tiga, yaitu ilahiyyat, nubuwwat, dan sam’iyyat. Pembahasan ruhaniyyat dimasukkan ke dalam pembahasan sam’iyyat.[8]
C.    Pokok Pembahsan Akidah Islamiyyah
Sistem keyakinan atau akidah Islam, pada intinya dibangun atas enam dasar keimanan yang lazim disebut rukun iman. Rukun iman tersebut sekaligus menjadi pokok pembahasan dalam akidah Islam.[9]
Iman secara bahasa adalah mengakui dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengamalkan dengan badan. Dalam istilah, iman adalah tashdiq (membenarkan) akan segala sesuatu yang diketahui dengan pasti dalam agama yang datang datang dari Nabi Muhammad SAW baik secara global maupun terperinci.[10] Rukun iman meliputi : Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Rasul, hari akhir, dan ketentuan-Nya (qadha’ dan qadar). Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ   (النساء : 136)
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q. S. al-Nisa’ : 136)[11]
a.      Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah seorang hamba harus mengetahui dan meyakini sifat Allah yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz dengan keyakinan yang pasti. Secara global, seorang hamba harus meyakini bahwa Allah mempunyai sifat yang sempurna, Allah mustahil mempunyai sifat kekurangan dan bagi-Nya hak untuk melakukan sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. [12] Iman kepada Allah mencakup tiga perkara, yaitu :
1.      Iman kepada eksistensi Allah. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa di balik alam ini ada sebuah kekuatan tertinggi yang mengatur, menguasai, dan mengawasinya yang dinamakan dengan “sebab awal”, atau “akal pertama”, atau “penggerak pertama” oleh kaum filosof. Sedangkan al-Qur’an menamakannya dengan nama universal transenden yang mencakup segala sifat-sifat keindahan dan keagungan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. [13]
2.      Iman kepada ke-Esaan Allah. Segala sesuatu yang ada di dalam semesta berupa rancangan keindahan dan keteraturan menunjukkan bahwa perancang dan pengaturnya adalah satu. Kalau di balik alam ini ada Tuhan yang melebihi satu, niscaya  aturannya akan berantakan dan hukumnya kacau balau.[14]
3.      Iman kepada kesempurnaan sifat-sifat Allah. Iman kepada eksistensi Allah dan ke-Esaan-Nya harus disertai dengan keimanan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna yang pantas dan sesuai dengan Dzat-Nya yang mulia dan suci dari kekurangan. Alam yang indah dan teratur, keberadaan fitrah manusia, dan risalah-Nya yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul, merupakan bukti bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna. Karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya itulah, maka tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah.[15]
b.        Iman kepada Para Malaikat
Malaikat adalah makhluk yang lembut yang diciptakan dari cahaya dan mempunyai arwah. Malaikat mempunyai bentuk yang bermacam-macam dalam bentuk yang baik. Tugasnya adalah ta’at dan tempat mereka adalah di langit, tetapi ada dari sebagian mereka yang bertempat di bumi. Allah menciptakannya tanpa perantara ayah dan ibu. Mereka tidak disifati dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.
Seorang muslim wajib beriman akan adanya malaikat dengan keyakinan yang pasti. Orang yang mengingkari akan adanya malaikat, maka dia dihukumi dengan kufur, sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur’an surat Al-Nisa’ (04): 136.[16] Keyakinan terhadap malaikat tersebut, bukan hanya sebatas mengetahui sifat-sifat dan tugas-tugasnya, melainkan harus melahirkan dampak dalam sikap dan perilaku sehari-hari.[17]
c.        Iman kepada Kitab-kitab Allah
Makna iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini bahwa Allah menurunkan kitab kepada Rasul-Nya untuk diajarkan kepada hamba-hamba-Nya, meyakini bahwa kitab Allah adalah kalam Allah, dan meyakini bahwa kitab Allah berisi kebenaran, cahaya, dan petunjuk bagi manusia di dua alam.
Iman kepada kitab Allah mengandung tiga perkara :
1.      Beriman bahwa turunnya kitab benar-benar dari Allah.
2.      Beriman bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa a. s., Injil adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa a. s., dan Zabur adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Daud a. s.
3.      Beriman dengan membenarkan keshahihan isi-isi kitab Allah[18].
d.      Iman kepada Rasul-rasul Allah
Rasul adalah insan yang diberi wahyu oleh Allah tentang suatu syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk, sebagaimana firman Allah berikut,
 !$tBur $uZù=yör& šn=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) ( (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. Ÿw šcqßJn=÷ès? ÇÐÈ (الأنبياء: 7 ) 
Artinya: “Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Q. S. Al-Anbiya’: 7)
Adapun Nabi adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk.[19]
Makna iman kepada Rasulullah adalah harus meyakini bahwa Rasul bukanlah dari usaha sendiri, melainkan anugerah khusus dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Para filosof berpendapat bahwa Rasul bisa diusahakan oleh hamba dengan sebab-sebab tertentu, seperti berkhalwat dengan meninggalkan perbuatan yang tercela berakhlak dengan akhlak yang terpuji, ibadah, dan lain-lain.[20] Allah mengutus para Rasul untuk member kabar gembira dan member peringatan kepada makhluk.[21]
e.    Iman kepada Hari Kiamat (Hari Akhir)
Hari kiamat adalah hari di saat alam akan mengalami kehancuran total dan semua makhluk hidup akan mati musnah. Hari kiamat adalah sesuatu yang pasti terjadinya. Akan tetapi, Allah merahasiakan waktu kejadiannya dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.[22] Hanya saja ada tanda-tanda yang mengindikasikan terjadinya hari kiamat. Ada tanda-tanda yang kecil yang sudah tampak pada zaman sekarang ini dan ada 10 tanda-tanda besar akan terjadinya kiamat. 10 tanda tersebut adalah : tampaknya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa a. s. keluarnya Ya’juj dan Ma’juj keluarnya Dabbah, terbitnya matahari dari barat, tampaknya Dukhan, hancuranya Ka’bah, diangkatnya al-Qur’an, dan dan penduduk bumi semuanya kafir.[23]
f.     Iman kepada Qadha’ dan Qadar   
Setiap muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini dan yang terjadi di kehidupan manusia adalah berdasarkan undang-undang universal yang telah ditetapkan. Implementasi iman kepada qadha’ dan qadar harus didasari dengan pemahaman secara integral antara iman dan ilmu, sebab kalau tidak, maka akan tergelincir kepada akidah dan cara hidup yang buruk dan fatal.[24]
Qadha’ dan qadar mempunyai perbedaan. Qadar adalah mentakdirkan sesuatu sebelum terjadinya sesuatu tersebut, sedangkan qadha’ setelah terjadinya sesuatu itu. Ibnu Atsir berpendapat bahwa keduanya itu dua perkara berbeda, tetapi salah satunya tidak dapat dipisahkan, karena qadar adalah dasar (pondasi) dan qadha’ adalah bangunan.[25]
Iman kepada qadha’ dan qadar bukan berarti harus bersikap fatalis, yaitu sikap menyerah sebelum berbuat dengan menghilangkan usaha terlebih dahulu. Sikap beriman kepada qadha’ dan qadar harus menerima apa yang diusahakan, atau kerelaan hati dalam menerima realitas hidup.  Artinya usaha tetap dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menerima hasilnya walaupun bagaimana bentuk dan hasilnya.[26]








BAB III
PENUTUPAN 

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas bisa diambil beberapa benang merah sebagai berikut,
1.      Akidah Islam merupakan akidah penutup bagi agama-agama yang pernah diturunkan sebelumnya oleh Allah.
2.      Ilmu-ilmu yang membahas tenatng akidah adalah : Ilmu Kalam, Ilmu ‘Aqaid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Ma’rifat, Ilmu Haqiqah, Ilmu Uluhiyyah, dan teologi Islam.
3.      Akidah dalam etimologinya berasal dari kata dasar ‘aqada, ya’qidu, ‘aqdan, wa ‘aqidatan yang bermakna simpul, ikatan, perjanjian. Setelah berbentuk mejadi ‘aqidah, maknanya adalah keyakinan. Sedangkan menurut istilah akidah didefinisikan dengan perkara yang wajib dibenarkan oleh hati sehingga menjadi kenyataan yang teguh dan kokoh, tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
4.      Akidah islamiyyah adalah keimanan atau keyakinan seseorang terhadap Allah yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
5.      Ruang lingkup pembahasan akidah Islamiyyah adalah : ilahiyyat, nubuwwat, ruhaniyyat dan sam’iyyat.
6.      Pokok pembahsan akidah Islamiyyah adalah rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari kiamat dan qadha’ dan qadar.
B.     SARAN
Penjelasan tentang akidah telah teruraikan dalam pembahasan di atas, meskipun tidak panjang lebar dan rinci. Dari penjelasan tersebut, semoga pembaca bisa mengambil manfaat dari isi yang ada, terutama memiliki akidah yang kuat, karena akidah adalah pondasi utama manusia dalam menjalankan syari’at.




DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Ali Anwar Yusuf, 2003, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Syafaq, Hammis, dkk, 2011, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Al-Aql, Nashir, Mabahith fi Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah.  
Al-Mannan, Romzi Al-Amiri, 2012, Al-Tsamrah Al-Yani’ah, Probolinggo: Al-Amiri Press.


[1]  Dr. H. Ali Anwar Yusuf, M. Si., Studi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2003, hlm. 109-110.
[2]  Dr. H. Hammis Syafaq, et al., Pengantar Studi Islam, Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 57.
[3]  Yusuf, M. Si., op.cit, hlm. 110-111.
[4]  Syafaq, op. cit., hlm. 57-59.
[5]  Yusuf, op. cit., hlm. 111.
[6]  Syaikh DR. Nashir Al-Aql, Mabahith fi Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah, hlm. 9.  
[7]  KH. Moh. Romzi Al-Amiri Mannan, Al-Tsamrah Al-Yani’ah, 1433, hlm. 23-24.
[8] Ibid, hlm. 23.
[9] Yusuf, op. cit., hlm. 113.
[10]  Al-Mannan, op. cit., hlm. 41.
[11] Yusuf, op. cit., hlm. 113-114.
[12] Al-Mannan, op. cit., hlm. 56-57.
[13] Yusuf, op. cit., hlm. 114.
[14] Ibid, hlm. 116.
[15] Ibid, hlm. 117-118.
[16] Al-Mannan, op. cit., hlm. 128.
[17] Yusuf, op. cit., hlm. 121.
[18] Al-Mannan, op. cit., hlm. 133.
[19] Ibid, hlm. 96.
[20] Ibid, hlm. 97.
[21] Ibid, hlm. 98.
[22] Yusuf, op. cit., hlm. 126.
[23]  Al-Mannan, op. cit., hlm. 158-160.
[24]  Yusuf, op. cit., hlm. 130-131.
[25]  Al-Mannan, op. cit., hlm. 145.
[26]  Yusuf, op. cit., hlm. 131.

Comments

Popular posts from this blog

TASHBIH DAN ISTI'ARAH (ILMU BALAGHAH)

Mutlaq dan Muqayyad (Ushul al-Fiqh)

MUSHAF ALI BIN ABI THALIB