TASAWUF HAMZAH FANSURI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kajian Islam di Indonesia. Sejak Islam masuk ke Indonesia, unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakat, bahkan hingga saat ini pun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian muslim
Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini
dan juga melalui gerakan Tarekat Muktabarah yang masih berpengaruh di
masyarakat.[1]
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang
besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Indonesia.
Ia menyebutkan seorang pengembang Arab Syekh Abdullah Arif sebagai pembangun Negara Islam pertama di
Aceh pada tahun 1177 M.[2]
Lebih jauh lagi, ia menjelaskan kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita
akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama Islam masuk ke nusantara, yang
terbesar sekali jasanya adalah para sufi bukan golongan lainnya. Hampir semua
daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari
Animisme, Dinamisme, maupun Budha-isme dan Hindu-isme karena tertarik pada ajaran
sufi itu sendiri.[3]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali
menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf
yang sangat filosofis dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abu
Yazid Al-Busthami), hulul (Al-Hallaj), dan wahdah al-wujud (Ibnu
Arabi).[4]
Para pengarang muslim di Indonesia adalah penyebar Islam sekaligus sufi.
Pelopornya adalah Hamzah Fansuri.[5]
Syekh Hamzah
Fansuri adalah salah satu ulama nusantara yang diakui oleh para ilmuan.
Kepopuleran Hamzah disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya dalam bidang
tasawuf. Berkat usaha Hamzah, tasawuf menjadi terkenal di nusantara.
Hamzah Fansuri bukan hanya dikenal sebagai tokoh sufi,
budayawan, dan sastrawan, tetapi dia juga seorang pembaharu yang memberikan
sumbangsih yang cukup besar dalam perkembangan Islam. Hamzah Fansuri adalah
tokoh yang membawa konsep wujudiyyah Ibnu Arabi ke nusantara.[6]
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Hamzah Fansuri ?
2.
Apa saja ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri ?
3.
Bagaimana konsep wujudiyyah
Hamzah Fansuri ?
4.
Apa saja karya-karya Hamzah
Fansuri ?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan siapa itu
Hamzah Fansuri.
2.
Menjelaskan ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri.
3.
Menjelaskan konsep wujudiyyah
Hamzah Fansuri.
4.
Menjelaskan karya-karya
Hamzah Fansuri.
D.
Manfaat
1.
Mengetahui siapa Hamzah
Fansuri.
2.
Mengetahui ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri.
3.
Mengetahui konsep wujudiyyah
Hamzah Fansuri.
4.
Mengetahui karaya-karya
Hamzah Fansuri.
[1]
Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag., Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf,
Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 241.
[2]
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya
: Al-Ikhlas, 1930, hlm. 10.
[3]
Ibid, hlm. 15.
[4]
Sholihin, Anwar, op.cit., hlm. 242
[5]
Drs. Samsul Munir Amin, M. A., Ilmu Tasawuf, Jakarta: Terun Grafica,
2012, hlm.
[6]
Mira Fauziyah, “Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri”, Jurnal Subtantia,Vol.
15 No. 2, Oktober, 2013, hlm. 291.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Hamzah
Al-Fansuri
Nama Hamzah Al-Fansuri
di nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing
lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri
dan muridnya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham
dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lain-lain seirama
dengan Al-Hallaj. Syekkh Hamzah Al-Fansuri diakui sebagai salah satu pujangga
Islam yang sangat populer pada zamannya, sehingga namanya menghiasi
lembaran-lembaran sejarah. Kesusastraan melayu dan Indonesia. Namanya tercatat
sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari
abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku mengenai sejarah mengenai Aceh,
namanya selalu diuraikan dengan panjang lebar.[1]
Dede Maurexa pernah mengatakan dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia”
sebagai berikut,
“Memerhatikan ulama-ulama Islam bermunculan pada Zaman
dahulu berasal dari Fansuri juga misalnya Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdul
Murad, Syekh Burhanuddin (murid Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri) semua asal barus,
Syamsuddin Pasai adalah murid dari Hamzah Fansuri. Ini membuktikan, ternyata
dalam abad ke-16 saja telah tergambar dengan jelas tempat para ulama besar itu
berada yang masih masyhur sampai sekarang.”[2]
Para pengkaji seperti
Dorenboos (1933), Al-Attas (1970), Drewes dan Brakel (1986) dan lain-lain tak
dapat menafikan bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan
karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku,
bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Kecermelangan gaya penulisannya diakui sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan
sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi
keilmuan dan filsafat, pembaru keilmuan dan filsafat, serta pembaru keilmuan
pada zamannya.[3]
Meskipun keberadaan
Al-Fansuri diyakini para ahli, tahun dan tempat kelahirannya hingga sekarang
masih belum diketahui. Ketidakjelasan riwayat Al-Fansuri ini disebabkan tidak
dimasukkannya nama Al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yaitu Hikayat
Aceh dan Bustanus Salatin yang ditulis atas perintah Sultan.[4]
Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan tidak
diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Barus pada
akhir abad ke -16 Barus merupakan sebagian dari Kerajaan Aceh. Syekh Muhammad
Naquib al-Attas (1965) dan Teuku Iskandar (1966) menyebutkan bahwa Hamzah
Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur kira-kira pada abad ke-16 Masehi. Kedua
ahli ini mengutip sebagian syair karya Hamzah Fansuri yang menjelaskan kelahiran
tokoh ini sebagai berikut,
“Hamzah Fansuri di negri Melayu,
Tempatnya kapur di dalam kayu . . .
atau Hamzah ini asalnya Fansuri.”[5]
Konon kemudian
nama Fansuri digabungkan di belakang namanya menjadi Hamzah Fansuri.
Penggabungan nama tempat asal sebagai gelar ini lazim pada waktu itu, seperti
Abdul Qadir Al-Jailani, Abdur Rauf As-Singkel, dan Syamsuddin As-Sumatrani.[6]
Ulama berbeda pendapat tentang tempat kelahiran Hamzah Fanshuri pada
penafsiran mereka akan salah satu syair Syekh Hamzah Fansuri berikut :
“Hamzah
nur asalnya Fansuri,
Mendapat
wujud di tanah Syahr Nawi,
Beroleh
khilafat ilmu yang ‘ali,
Daripada
Abdul Qadir Sayyid Jailani.”
Ada yang berpendapat bahwa “Syahru Nawi” (pada bait kedua)
adalah “Bandar Ayuthia”, ibu kota kerajaan Siam pada zaman silam. Pendapat lain
bahwa Syahru Nawi adalah nama lama dari tanah Aceh sebagai peringatan bagi
seorang Pangeran Siam bernama Syahir Nuwi yang datang ke Aceh pada zaman
dahulu, kemudian membangun Aceh sebelum datangnya Islam.[7]
Dalam syairnya yang lain disebutkan bahwa Hamzah
Fansuri hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan
Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H. = 1589-1604 M.) :
“Hamba mengikat syair ini,
Di bawah hadlarat raja wali,
Syah alam raja yang adil,
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi mukammil.”
Dalam sajak yang lain, yang diciptakan Hamzah waktu
sedang berada di kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan
bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh :
“Hamzah gharib Uanggas
Quddusi,
Akan rumahnya Baitul
Makmuri,
Kursinya sekalian kapuri,
Di negeri Fansyuri minal
asyjari.”
Waktu sedang di rantau (kota Quddus/Palestina), Hamzah
menerangkan bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari
Aceh Darussalam, tegasnya di kampong Oboh Simapng Kiri (Singkel) yang telah
berubah namanya menjadi “Negeri Fansuri”, semenjak Hamzah mendirikan Dayah
(pusat pendidikan Islam) di kampung tersebut.[8]
Tampaknya, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli
bahasa. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahsa
Melayu. Ini dapat diketahui dari kalimatnya,
“Amma Ba’du: Adapun kemudian daripada itu maka ketahui olehmu, hai
saudaraku, bahwa al-faqir al-haqir adh-dhaif al-khalif Hamzah Fanshuri
radhialluhu anhu, hendak menanyakan jalan kepada Allah dengan bahasa jawa dalam
kitab ini saat sampai segala hamba yang tidak tahu bahwa bahasa Arab dan Farsi
memahaminya.”[9]
B. Karya Hamzah
Fansuri
Karya Hamzah Fansuri ditulis dalam bentuk sya’ir dan
prosa. Syair-syair Hamzah Fansuri dianggap sebagai tonggak perkembangan sastra
religius di Nusantara. Penggunaan bahasa melayu dalam syairnya membuat bahasa
ini menjadi bahasa resmi pengembangan ilmu pengetahuan dan perdagangan.[10] Windstet
(1969:141) dan al-Attas (1970:178 ) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Hamzah
Fansuri merupakan orang pertama kali menulis ilmu tasawuf dalam bentuk syair.[11]
Di antara karya Hamzah Fansuri yang berbentuk syair
adalah :
1. Syair Burung
Pingai
2. Syair Dagang
3. Syair Sidang
Fakir
4. Syair Ikan
Tongkol
5. Syair Perahu
6. Syair Burung
Pungguk
7. Thair
al-‘Uryan
Syair Burung Pingai
Syair Burung Pingai bercerita
tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Syair ini
mengibaratkan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah
mengangkat satu masalah yang banyak dibahas
dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dengan banyak. Yang esa adalah Tuhan
dengan alamnya yang beraneka ragam. Syair ini sepertinya dipengaruhi oleh
mantiq al-thair karangan al-Athar. Hamzah menjelaskan hakikat keberadaan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan filsafat sufistik ia
mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk dalam kebersatuannya dengan Tuhan
sehingga Tuhan mewarnai keseluruhan wujudnya.[12]
Syair Perahu
Syair Perahu melambangkan
tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh
marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka
dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.[13]
Syair Dagang
Syair Dagang berbeda dengan
syair-syair Hamzah lainnyayang bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan
dan manusia. Syair dagang menceritakan tentang kesengsaraan seorang anak yang
hidup di rantau.[14]
Karangan-karangan Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa
(kitab ilmiyah) adalah:
1. Asrar
al-Arifin fi Bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tauhid
2. Syarab
al-‘Asyiqin
3. Al-Muntari
4. Al-Muhtadi
5. Ruba’I Hamzah
Fansuri
Asrar al-Arifin fi Bayan ‘ilmu
al-Suluk wa al-Tauhid
Dalam pendahuluan kitab ini,
dinyatakan bahwa manusia dijadikan Allah dari tiada dan diberi rupa lengkap
dengan telinga, hati, serta nyawa dan budi. Oleh karena itu, manusia hendaknya
mencari Tuhan dengan mengenal makrifat kita. Dalam upaya menolong umat agar
mengenal makrifat Allah, sifat, dan asma-Nya, Hamzah Fansuri mengarang 15 bait
syair serta dengan syarahnya. Hamzah Fansuri, dalam syair itu, menjelaskan
bahwa Tuhan kitalah yang mempunyai zat. Zat iru tidak berpisah dengan
sifat-Nya. Selanjutnya, disebutkan bahwa di antara sifat-Nya yaitu hayat, ilmu,
iradat, kodrat, kalam, sami’ (mendengar), dan bashir (melihat).
Dijelaskan pula bahwa makrifat Allah itu sama dengan haqiqah Muhammad yang
juga disebut dengan nur Muhammad. Setelah smpurna mengetahui dan mengenal
Dia, perlu mengajarkan syariat.[15]
Syarab al-‘Asyiqin
Kitab ini juga dikenal dengan Zinat
al-Muwafidin (perhatian segala orang yang muwahidi). Syarab al-‘Asyiqin terdiri
atas tujuh bab. Hamzah Fansuri mengarang kitab ini dalam bahasa Jawi (melayu) bagi
orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan Persi. Bab 1 menyatakan perbuatan
syariat. Bab 2 menyatakan bahwa tarekat tiada lain daripada hakikat karena
tarekat itu permulaan hakikat. Bab 3 menyatakan bahwa hakikat adalah kesudahan
jalannya. Bab 4 menyatakan bahwa manusia yang sudah mencapai tataran makrifat
mengetahui rahasia nabi serta sifatnya. Bab 5 menyatakan kenyataan zat Tuhan
yang maha tinggi dan tidak dapat dipikirkan. Bab 6 menyatakan sifat Allah SWT
yang sudah dijelaskan dalam bab 4. Bab 7 menyatakan berahi dan syukur.[16]
Al-Muntahi
Al-muntahi merupakan pedoman bagi manusia yang
sudah arif dalam ajaran wujudiyyah. Dalam kitab ini, Hamzah Fansuri
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, hadis, ucapan para sufi, dan penyair untuk
menjelaskan Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu (Barang siapa yang
mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya).[17]
Karya-karya
Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik
perhatian para sarjana. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri adalah
Prof. Muhammad Naquib Al-Attas dengan beberapa judul bukunya yang berkaitan
dengan Fansuri. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Muhammad Naquib Al-Attas
mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph. D
masing-masing. Karya prof. Muhammad Naquib di antaranya :
1. The Misticism
of Hamzah Fansuri (disertasi
1996), University of Malaya Press 1970.
2. Raniri and
Wujudiyyah, IMBRAS,
1966.
3. New Light on
Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967.
4. The Origin of
Malay Shair, Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1968.
Adapun
J. Doorenbos pernah menyalin Syair Perahu dari De Geschriften dan Hamzah
Fansuri kemudian dikumpulkan oleh Sultan Taqdir Ali Syahbana yang dimuatnya
dalam buku “Puisi Lama”.[18]
C.
Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri tentang Tasawuf
banyak banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dalam paham Wahdah Al-Wujudnya.[19] Hamzah
Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia
lainnya yaitu Abu Yazid
Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd Al-Baghdadi, Ahmad
Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan
Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola
Hamzah Fansuri dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga
sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn Arabi dan Al-Iraqi untuk
menopang pemikiran tasawufnya.[20] Di
antara ajaran-ajarannya adalah :
a. Allah. Allah adalah Dzat yang mutlak dan qadim,
sebab Dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada
leher mausia sendiri, dan bahwa Allah sendiri tidak bertempat, sekalipun sering
dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainnama
tuwallu fa tsamma wajhu’llah” ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang
wajah Allah SWT. di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi
menafsirkan “wajah Allah SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan, seperti Pengasih,
Penyayang, Jalal, dan Jamal. Dalam salah satu syairnya Al-Fansuri berkata,
“Mahbubmu itu tiada
berha’il,
Pada ayna ma tuwallu jangan
kau ghafil,
Fa tsamma wajhullah sempurna
wasil,
Inilah jalan orang yang
kamil.”
Hamzah Fansuri menolak
ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian
tertentu dari tubuh, seperti ubun- ubun yang dipandang sebagai jiwa dan
dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.[21]
b. Hakikat wujud
dan penciptaan. Menurutnya,
wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada
yang merupakan kulit (mazzhar, kenyataan lahir) dan ada yang merupakan
isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi
dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan
wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta
merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini
diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan , kemudian menjadi
dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la
ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu
kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap,
awan, lalu hujan, sungai, dan kembali ke lautan.
Penggambaran yang pernah dilakukan Fansuri berupa jasad dan rohani
diungkapkannya dengan syair,
“Hamzah Fansur di dalam Mekah,
Mencari Tuhan di Baitul Kabah,
Di Barus Kudus terlalu payah,
Akhirnya dapat di dalam rumah.”
Syair Fansuri
yang lain adalah,
“Hamzah
gharib,
Akan rumahnya baitul ma’muri,
Kursinya sekalian kafuri,
Di negeri Fansur minal asyjari.”[22]
Kata-kata
Fansuri ini merupakan sindiran terhadap Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan
bahwa Tuhan berada di dalam jubahnya.[23]
c. Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat
terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan
penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran
langsung dari Dzat yang mutlak. Ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara
Allah dan Manusia.
d. Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan
yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil (manusia
sempurna), tetapi karena ia lalai, pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh
alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[24]
D. Konsep Wujudiyah
Hamzah Fansuri
Pokok
pemikiran Hamzah Fansuri yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah
suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi
yang memandang bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan , yang
berarti yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan Tuhan
pada hakekatnya tidak mempunyai wujud.[25]
Hamzah
Fansuri pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memperkenalkan ajaran tasawuf
wujudiyyah. Disebut wujudiyyah karena membicarakan wujud Tuhan
dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lain. Ajaran ini mendapat tantangan
dari banyak ulama yang hidup pada masa itu, karena dianggap sesat dan
menyimpang dari ajaran syari’at. Hamzah Fanzuri mendapat perlindungan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), sehingga ajarannya sempat berkembang di masa Aceh.
Ajaran tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah Fansuri ini terlebih dahulu muncul
di Arab dan sekitarnya. Menurut Canon Sell, ajaran tasawuf yang ekstrem ini
muncul sekitar abad kesembilan dan permulaan abad kesepuluh. Ajaran ini
dipelopori oleh Al-Bayazid dari Bistam dan Al-Junayd dari Baghdad. Pengikut
Al-Junayd yang terkenal adalah Al-Hallaj yang terkenal dengan ucapannya “anna
alhag” (saya yang benar atau saya Tuhan). Ucapannya ini mendapat tantangan
keras dari ulama ortodoks dan dianggap sebagai ucapan sesat. Sebagai
konsekuensi dari ucapannya ini, Al-Hallaj dibunuh secara kejam. Walaupun sudah
dibunuh, ajaran Al-Hallaj masih diikuti dan dipelajari. Di antara pengikutnya
adalah Ibnu Arabi. Melalui Ibnu Arabi inilah Hamzah Fansuri mempelajari konsep wujudiyyah.[26]
Dalam
ajaran tasawuf wujudiyah, ditemukan adanya aspek-aspek yang sama dengan
konsep wahdah al-wujud dari Husin bin Umar Al-Hallaj dan Abu Bakar
Muhammad bin Ali Muhyi Al-din Al-Hatimi Al-Andalusi atau yang lebih dikenal
dengan nama Ibnu Arabi. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan seolah-olah sama dengan
makhluk-Nya (ittihad) atau Tuhan dapat menitis dan menjelma kepada semua
benda ciptaan-Nya. Berdasarkan pandangan ini, banyak peneliti barat yang
mengartikan wahdah al-wujud kedua tokoh tersebut dengan panteisme.
Panteisme merupakan paham yang menganggap bahwa Tuhan adalah semua benda atau
sebaliknya semua benda adalah Tuhan.[27] Dengan
demikian, menurut paham ini, makhluk sama dengan Tuhan. Akan tetapi,
akhir-akhir ini banyak sarjana yang tidak menyetujui bahwa konsep wahdah
al-wujud sebagai paham panteisme karena paham keesaan dianut pengikut wahdah
al-wujud itu mempunyai arti yang lebih, yaitu aspek rohaniah yang amat
tinggi, (al-sir fi al-sir). Bagi seseorang yang menjalani taswuf yang
sempurna memang dapat merasakan hakikat rantai-rantai rohaniah dengan Tuhan,
tetapi manusia bisa sulit memikirkan hal itu karena kebenaran yang ada
merupakan kebenaran rasa dzauq dan kasyaf yang merupakan hasil pencapaian dari amalan
tasawuf seseorang itu.[28]
Walaupun
banyak dipengaruhi tokoh tasawuf yang ekstrem, baik yang berasal dari Parsi
maupun Arab, Hamzah Fansuri dianggap sebagai seorang ahli tasawuf yang berhasil
menjalani tasawufnya. Sebagian besar renik-renik ajarannya merupakan pengalaman
pribadi. Dalam membicarakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, Hamzah
Fansuri selalu menggunakan kias dan ibarat, seperti kutipan berikut,
“Ada ahli hakikat dua bagi : setengah beranak Beristri
dan berumah bertanaman, tetapi tiada hatinya lekat kepada tanaman dan pada anak
istrinya di rumah. Apabila hatinya tiada lekat kepada sekalian itu, tiada hijab
paddanya sungguh pun ia beranak beristri berumah bertanaman. Jikalau rumahnya
dan tanamannnya, tiada ia duka. Jika kerajaan Sulaiman dan Iskandar diberi
Allah Taala akan dia pun tiada ia suka, karena hina dan mulia sama padanya,
tiada ia melihat dirinya melainkan Allah Subhanahu wa Taala juga, karena pada
ahli hakikat, wujud sekalian alam, wujud Allah. Apabila sekalian Allah, niscaya
daripada-Nya.
Seperkara lagi ketika ia memandang di luar dirinya,
barang dilihatnya dirinya. Jika dilihatnya barang dipandangnya dirinya juga
dipandangnya karena pada ahli hakikat alam dengan dirinya esa juga, tiada dua
tiga,. Apabila alam sekalian dengan dirinya esa, niscaya baraang dilihatnya,
seperti sabda Rasulullah SAW “Ra’aitu rabbi bi ‘ainirabbi” artinya
kulihat Tuhanku dengan mata rahmat Tuhanku.”[29]
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan di mata Hmazah
Fansuri sanngat erat seperti hubungan dua orang kekasih. Pandangan ini memiliki
kesamaan dengan pandangan Al-Hallaj, yang menganggap Tuhan sebagai kekasihnya.[30]
Orang
banyak menyanggah Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya
sehingga mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya.[31] Akan
tetapi, Tuduhan bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan sesat telah
dibuktikan oleh beberapa ahli bahwa tuduhan itu tidak benar. Di antaranya
disebutkan dalam sajak-sajaknya. Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu
atau pengikut-pengikutnya yang menyelewengkan ajaran tasawuf yang benar.[32]
Pencarian
terhadap Tuhan yang dilakukan olah Hamzah Fansuri menujukkan bahwa seorang sufi
lebih meletakkan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Seorang sufi menginginkan
agar manusia itu berdaulat pada dirinya, bebas melakukan pilihan dengan segala
resikonya. Keinginan ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia itu
ditakdirkan Tuhan untuk menjadi khlafiah di muka bumi ini. Perjumpaan dengan
Tuhan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus direalisasikan melalui
pembentukan diri dan pencarian diri. Hamzah Fansuri mengatakan bahwa “Wujud
dirinya esa juga”. Ungkapan ini harus diartikan sebagai tahap terakhir
perjalanan seorang sufi, yakni makrifat. Dalam makrifat, kehendak Tuhan dan
kehendak manusia telah menyatu. Kata “wujud” tidak dapat diartikan sebagai ada
secara fisik, mealinkan keberadaan atau eksistensi. Seseorang yang telah
mencapai tahap makrifat akan mampu memancarkan sifat-sifat ilahi yang diberikan
kepadnya. Kehendak Tuhan telah menyatu dengan kehendak dirinya dan tidak
berpisah dengan Tuhan.[33]
Kesalahan
dalam melihat paham wujudiyyah yang diajarkan Hamzah Fansuri sebagai
menyimpang dari ajaran Islam agaknya bersumber dari kenyataan bahwa paham itu
melahirkan kaum zindiq yang menyimpang dari ajaran agama. Dalam
sajak-sajaknya, Hamzah Fansuri menunjukkan bahwa ia tidak sepaham dengan kaum zindiq,
yakni golongan wujudiyyah yang berhaluan mulhidah (menyimpang
dari kebenaran). Hamzah Fansuri tetap berpegang pada wujudiyyah murni
dan belum menyimpang muwahhidah (kesatuan dengan Tuhan).[34]
Beberapa
bait yang dikutip dan dipetik dari Syair Perahu akan menunjukkan bahwa
Hamzah Fansuri tidak meninggalkan rukun iman dan tauhid,
“Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan suatu syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah I’tikad dibetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
ialah perahumu tamsil dirimu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akherat jua bekal hidupmu
Hai muda arif budiman
hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan
itulah jalan membetuli insan
Ingati sungguh siang dan malam
lautnya bertambah deras dalam
angin pun keras ombaknya rencam
ingati perahu jangan tenggelam
Sampailah ahad dengan masanya
datanglah angin dengan paksanya
berlayar perahu sidang budimannya
berlayar itu dengan kelengkapannya
Wujud Allah nama perahunya
ialah Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudianya
yakin akan Allah nama pawangnya
Tuntuti ilmu jangan kepalang
di dalam kabur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang
menanyakan jikalau ada sembahyang
Kenal dirimu hai anak Ada
tatkala di dunia terangnya alam
sekaranng di kubur tempatu kelam
tiadalah berbeda siang malam.”[35]
Dalam petikan
sajak yang indah ini, Hamzah Fansuri dengan tepat memilih imaji simbolik di
samping pertualangan yang mampu membawa pembaca ke suasana ektase seperti dalam
zikir.[36]
Ajaran
wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut :
1.
Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat
dan wujud alam.
2.
Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur
Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3.
Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan
Tuhan ), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4.
Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai
kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan
keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5.
Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang
berilmu sempurna.
6.
Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan
Tuhan adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya,
yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).[37]
[1]
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak
Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010, hlm. 340.
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf
dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas, 1930, hlm. 35.
[3] Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag. Dan Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm.
244.
[4] Abdul Hadi W. M., Hamzah Al-Fansuri, Bandung
: Mizan, 1995, hlm. 14.
[5]
Dr. Edward Jamaris dan Drs. Saksono
Prijanto, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta: Booklet
budaya, 1995/1996, hlm. 1.
[6] Ibid.;
[7] Abdullah, op. cit., hlm. 36.
[8]
Abdul Hadi W. M. dan L. K. Ara, Hamzah
Fanshuri Penyair Sufi Aceh, Jakarta : Lotkala, 1984, hlm. 6-7.
[9] Abdullah, op. cit., hlm. 38.
[10]
Fauziah, op. cit., hlm. 298.
[11]
Solihin dan Anwar, op. cit. hlm. 244.
[12]
Fauziah, op. cit., hlm. 299.
[13]
Ibid, hlm. 300.
[14]
Ibid, hlm. 300.
[15]
Djamaris, Prijanto, op. cit., hlm. 4.
[16]
Ibid, hlm. 4-5.
[17]Ibid,
hlm. 5.
[18]
Abdullah, op. cit., hlm. 37-38.
[19] Anwar, op. cit., hlm. 342.
[20] Abdul Hadi W. M, Hamzah Fansuri: Risalah
tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 20-21.
[21] Anwar, op. cit., hlm. 342-343.
[23] Anwar, op. cit., hlm. 343-344.
[24] Solihin dan Anwar, op. cit. hlm.
248-249.
[25] Mira Fauziyah, “Pemikiran Tasawuf Hamzah
Fansuri”, Jurnal Subtantia,Vol. 15 No. 2, Oktober, 2013, hlm.
293.
[26] Djamaris dan Prijanto, op. cit., hlm.
6-7.
[27] Ibid., hlm. 7.
[28] Ibid.;
[29] Ibid., hlm. 8
[31] Anwar, op. cit., hlm. 341
[32] Djamaris dan Prijanto, op. cit., hlm.
9.
[33] Ibid., hlm. 9-10.
[34] Ibid., hlm. 10.
[35] Ibid., hlm. 10-11.
[37] Mira Fauziah, op. cit., hlm. 293.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah salah seorang tokoh sufi di
Indonesia. Fansuri juga melahirkan banyak karya-karya yang berkaitan dengan
tasawuf. Dari penjelasan yang sudah dikemukakan di makalah ini, bisa dapat
diambil beberapa benang merah sebagai berikut,
1. Tasawuf menjadi
bagian penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dengan bukti-bukti yang
ada. Bahkan, orang Indonesia yang awalnya non-Islam bersedia masuk Islam karena
tertarik dengan ajaran tasawuf.
2. Salah satu ulama
sufi Indonesia yang terkenal adalah Hamzah Fansuri.
3. Waktu dan tempat
Hamzah Fansuri dilahirkan masih belum diketahui dengan pasti, karena riwayat
tentang Fansuri tidak dimasukkan ke dalam dua sumber penting sejarah Aceh,
yaitu Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin.
4.
Ulama berbeda pendapat
tentang tempat kelahiran Hamzah Fansuri karena berbedanya penafsiran mereka
terkait salah satu syair Hamzah Fansuri.
5.
Hamzah Fansuri adalah
seorang ahli bahasa, yaitu bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu,
seorang sufi dan seorang pembaharu Islam di Indonesia.
6.
Pemikiran-pemikiran tasawuf
Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh Abu Yazid Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar,
Junayd Al-Baghdadi, Abu Hamid Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi,
Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan
Al-Hallaj adalah idola Fansuri.
7.
Ajaran-ajaran Hamzah
Fansuri di antaranya adalah yang berkaitan dengan Allah, hakikat wujud dan
penciptaan, manusia, dan kelepasan. Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang terkenal
adalah wujudiyah.
8.
Konsep wujudiyah Fansuri
mendapat banyak tantangan dari ulama yang semasa dengannya, karena ajarannya
dianggap menyimpang dari ajaran syari’at. Akan tetapi, Hamzah Fansuri bisa
membuktikan bahwa ajarannya tidak menyimpang dengan mengarang beberapa syair.
9.
Hamzah Fansuri memiliki
banyak karangan, baik yang berbentuk prosa maupun syair. Karangan yang berbentuk prosa adalah Asrar
al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilmu Suluk wa al-Tauhid, Syarab al-‘Asyiqin, Al-Muntari,
Al-Muhtadi, dan Ruba’I Hamzah Fansuri. Karangan yang berbentuk syair adalah
Syair Burung Pingai, syair Dagang, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol,
Syair Perahu, Syair Burung Pungguk, dan Thair al-‘Uryan.
B.
Saran
Penjelasan tentang
Hamzah Fansuri, ajaran-ajarannya, dan karya-karyanya sudah dijelaskan dalam
makalah ini. Dari adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa mendapat
pencerahan siapa Hamzah Fansuri, apa karya-karya, dan bagaimana
ajaran-ajarannya, sehingga tidak ada salah pemahaman tenatang Hamzah Fansuri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1930.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Hadi W.M, Abdul, L.K, Ara, Hamzah Fansuri Sang Penyair Sufi Aceh, Jakarta: Lotkala, 1984.
Djamaris, Edwar, Prijanto, Saksono, Hamzah Fansuri dan Nuruddin
Ar-Raniri, Jakarta: Bokklet Budaya, 1995.
Munir Amin, Samsul, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amza, 2012.
Sholihin, Muhammad, Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka
Setia, 2013.
Fauziah, Mira, “Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri”, Jurnal Subtansia, Vol.
15 No. 2, 2013.
Comments
Post a Comment